Soal Drake dan Logika yang Harus Dirawat di Sepakbola

Sebuah tren yang sempat heboh membuat AS Roma ketakutan. Akhirnya, dalam cuitannya di media sosial, mereka mengumumkan satu hal. Sesuatu yang mungkin sulit diterima nalar: dilarang berfoto bersama Drake.

Hah? Apa pasal? Kenapa sampai dilarang berfoto bersama penyanyi rap kenamaan tersebut? Apakah ia melakukan sesuatu yang sedemikian buruk? Apalagi, para pesepakbola kenamaan Eropa tampaknya mengidolai Drake. Sampai-sampai ketika Drake mengadakan tur ke Eropa, mereka rela menghampiri Drake dan berfoto dengannya.

Larangan yang dikeluarkan AS Roma tersebut bukan tanpa alasan. Sebuah tren yang merebak belakangan membuat mereka khawatir. Ya, ketika ada pemain yang berfoto bersama Drake, dipastikan klub tempat pemain tersebut bernaung akan kalah. Berikut adalah contoh-contohnya.

Pertama, Layvin Kurzawa. Sebelum Paris Saint-Germain (PSG) melawan Lille di Ligue 1, Kurzawa berfoto bersama Drake. Hasilnya, PSG dihancurkan Lille dengan skor telak 1-5. Mereka pun gagal mengunci gelar Ligue 1, dan hasil ini mengancam posisi Thomas Tuchel selaku pelatih kepala tim asal Paris tersebut.

Kedua, Paul Pogba. Sebelum Manchester United berhadapan dengan Wolverhampton Wanderers di babak perempat final Piala FA, Pogba sempat berfoto bersama Drake. Perbuatannya ini dianggap membawa sial, karena akhirnya United kalah dari Wolves dengan skor 1-2. Mereka gagal melaju ke semifinal Piala FA.

Ketiga, Pierre-Emerick Aubameyang. Sebelum Arsenal menghadapi Everton di ajang Premier League, Aubameyang sempat menyaksikan konser Drake di O2 London. Ia juga sempat berfoto bersama Drake, dan hal itu berujung pada kekalahan Arsenal atas Everton dengan skor tipis 0-1. Kekalahan yang menghentikan tren positif Arsenal.

Sebenarnya, bukan hanya mereka saja. Beberapa kekalahan yang dialami tim-tim Eropa belakangan ini, acap dikaitkan dengan Drake. Kekalahan Juventus dari Ajax dikaitkan dengan salah satu pemainnya yang berfoto bersama Drake. Hal sama juga berlaku ketika Manchester City kalah dari Tottenham Hotspur di babak 8 besar Liga Champions.

Lalu, apakah Drake patut dipersalahkan? Apa hanya karena turnya bertajuk Assassination Vacation (seram juga namanya), membuat turnya ini harus memakan korban klub Eropa? Secara mistis, hal ini tentu saling berkesinambungan.

Namun, sekali lagi, sepakbola bukan hanya sekadar telur busuk di pinggir gawang atau air kencing dicampur air kopi hitam di pinggir lapangan. Ya, sepakbola lebih dari hal-hal klenik seperti itu.

Coincidence is Logical

Seperti kata Johan Cruyff, legenda sepakbola dari Belanda, kebetulan itu adalah hal yang logis dalam sepakbola. “Coincidence is Logical”. Setiap hal yang terjadi di atas lapangan, entah itu kekalahan atau kemenangan sebuah tim, adalah hal logis yang bisa dijelaskan. Ada penyebab di balik itu.

Nah, frasa di atas bisa kita kaitkan dengan kejadian kutukan Drake yang ramai belakangan ini. Jika merunut teori pembentukan mitos Roland Barthes, apa yang terjadi belakangan ini, dengan banyaknya konotasi kekalahan klub karena berfoto bersama Drake, maka hal tersebut sudah berkembang jadi sebuah konotasi kuat.

Menilik proses yang terjadi, kutukan Drake sudah berubah menjadi denotasi. Ia seakan tak tergoyahkan, dan menjadi sebuah kepercayaan. Tapi, menjadi mitos? Hal ini masih harus diperdebatkan terlebih dahulu. Pada dasarnya, kekalahan yang dialami tim-tim tersebut bisa dijelaskan secara logis.

Mari melihat laga PSG lawan Lille. Di laga tersebut, bisa dibilang PSG memegang kuasa laga atas Lille. Mereka bahkan melepas beberapa tekanan berbahaya, dengan total 10 tembakan, penguasaan bola mencapai angka 56% berbanding 41%. Namun, mereka hanya mampu mencetak satu gol.

Di sisi lain, Lille yang jarang menguasai bola malah mampu mencetak 15 tembakan dan menorehkan 5 gol. Bukan cuma itu, mereka juga mampu menyajikan serangan-serangan berbahaya bagi lini pertahanan PSG. Akhirnya, mereka mampu menang 5-1. Lalu, apakah itu semata karena kutukan Drake?

Jika memerhatikan dengan seksama permainan Lille vs PSG, bisa dilihat bahwa Lille mampu memanfaatkan ruang-ruang kosong di lini pertahanan PSG. Keempat pemain di lini serang mereka, Loic Remy, Nicolas Pepe, Jonathan Ikone, dan Jonathan Bamba, mampu mengeksploitasi area sepertiga akhir PSG yang kerap ditinggal para pemainnya yang terlalu maju.

Apiknya keempat pemain itu juga bisa dilihat dari catatan 2 gol dan 4 asis yang sukses mereka kumpulkan. Ya, memang pada akhirnya Lille pantas menang karena mereka mampu memanfaatkan celah yang muncul di PSG.

Serupa dengan PSG, Wolves juga sanggup mengalahkan United bukan karena kutukan Drake semata. Di balik kemenangan mereka, ada skema taktikal apik yang diperlihatkan Nuno Espirito Santo. Ia membiarkan para pemain United dominan memegang bola, tapi, ketika ada kesempatan menyengat, hal itu akan dimaksimalkan sebaik mungkin.

Itulah kenapa meski Wolves kalah dari segi penguasaan bola (38% berbandung 62%), mereka mampu menorehkan 17 tembakan (unggul dari United) di laga tersebut. Kredit juga perlu diberikan kepada Raul Jimenez dan Diogo Jota di lini depan, serta Joao Moutinho dan Ruben Neves di tengah. Saat menyerang balik, Moutinho dan Neves mampu mengalirkan bola dengan baik pada Jota dan Jimenez.

Alhasil, Jota dan Jimenez mampu menjadi penyumbang gol bagi Wolves di laga tersebut. Selain itu, kepiawaian mereka memanfaatkan ruang dan mengelabui Chris Smalling dan Victor Lindeloef, menjadi faktor yang membuat mereka mampu membobol gawang Sergio Romero.

Lihat? Ada penjelasan logis kok, di balik kekalahan United dan PSG tersebut. Ya, mereka kalah karena mereka gagal menerapkan taktik dengan baik.

Tentang Mental dan Momentum

Meski sepakbola mengandung hal logis, tapi, ada juga hal-hal tidak logis yang tak bisa ditakar di sepakbola. Beberapa di antaranya adalah mental dan momentum. Dua hal itu tak bisa ditakar, dan pada akhirnya tak ada ukuran yang pas untuk menakar kekuatan mental pemain dan momentum dari sebuah tim.

Inilah yang menjadikan sepakbola menarik. Ada hal yang bisa ditakar dan tak bisa ditakar di dalamnya. Namun, jika terlalu percaya kepada hal mistis, pada akhirnya itu mengalahkan logika, yang berujung pada telur busuk di pinggir gawang dan air kencing serta kopi hitam pahit di pinggir lapangan.

Ya, semoga saja cuitan AS Roma itu hanya bercanda saja. Sebab, kalau itu sampai ditanggapi serius, berarti ada sebuah kemunduran tersendiri di sepakbola Eropa.