Louis van Gaal tengah mempersiapkan kesebelasan negara Belanda, saat Manchester United menyiapkan kontrak untuknya. Sebulan sebelum Piala Dunia 2014 digelar, Van Gaal resmi diperkenalkan sebagai manajer baru The Red Devils menggantikan Ryan Giggs sebagai pelatih sementara.
Di Piala Dunia, tidak ada yang aneh dengan Belanda. Penunjukan Van Gaal sebagai manajer baru MU seperti tak berpengaruh. Mereka malah bikin kejutan dengan membantai Spanyol 5-1 di pertandingan pertama. Robin van Persie dan kolega pun lolos dengan mudah ke babak 16 besar. Langkah mereka baru terhenti di semifinal usai kalah adu penalti melawan Argentina.
Namun, Van Gaal pantas bergembira karena mereka mengunci posisi di tempat ketiga. Belanda mengalahkan tuan rumah Brasil dengan skor yang amat pantas: tiga gol tanpa balas!
Pelatih seperti Louis van Gaal lebih banyak makan asam garam kehidupan sebagai pelatih di klub, bukan di timnas. Buat sebagian orang, termasuk Julen Lopetegui, melatih timnas bisa saja membosankan. Dalam dua-tiga bulan, ia cuma melatih tim selama seminggu dan menjalani dua-tiga pertandingan. Sisanya dihabiskan dengan berkeliling menyaksikan para pemain yang bisa dimasukkan ke dalam skuat.
Soal Ambisi
Pelatih mana yang bisa menolak saat ditawari pekerjaan oleh Real Madrid? Pun buat Julen. Karier kepelatihannya di level klub, mentok di FC Porto. Tidak ada prestasi yang bisa ia berikan buat kesebelasan besar Portugal tersebut selama dua musim di sana.
Menangani kesebelasan negara Spanyol adalah berkah lain buat Julen. Komposisi skuat yang ideal ditambah dengan pemahaman taktiknya, membuatnya membawa Spanyol ke Piala Dunia 2018 dengan mulus. Di tangannya, kesebelasan negara Spanyol tak pernah kalah. Dari 20 pertandingan, 14 di antaranya adalah kemenangan.
Wajar apabila Julen merasa kalau Piala Dunia 2018 akan menjadi ajang terakhirnya bersama kesebelasan negara Spanyol. Itu adalah haknya untuk menentukan masa depannya sendiri. Dengan bangga, Julen diperkenalkan sebagai pelatih baru Real Madrid. Ada tugas berat yang menantinya di depan sana, untuk meneruskan kesuksesan Zinedine Zidane.
Namun, semuanya berubah usai Federasi Sepakbola Spanyol memutuskan untuk memecatnya tepat sebelum Piala Dunia digelar. Posisinya digantikan oleh sesama mantan pemain Real Madrid, Fernando Hierro.
48 Jam yang Mengubah Segalanya
48 jam sebelum Spanyol menghadapi Portugal di Piala Dunia 2018, Real Madrid mengumumkan kalau Julen telah dikontrak tiga tahun efektif sejak Piala Dunia berakhir. Penunjukkan ini sendiri terbilang mengejutkan, karena selain waktunya tidak terduga, nama Julen juga sedari awal tak ada dalam calon pelatih baru El Real.
Apa yang dilakukan Julen, juga mirip dengan yang terjadi pada Antonio Conte saat ia diumumkan menjadi manajer baru Chelsea. Kala itu, Conte tengah membawa Italia berjuang di Piala Eropa 2016.
Akan tetapi ternyata Federasi Sepakbola Spanyol (RFEF) punya cara pandang yang berbeda dengan Federasi Sepakbola Italia dan Federasi Sepakbola Belanda. RFEF dikabarkan marah dengan negosiasi tersebut. Gara-garanya, Julen baru memberitahu Presiden RFEF, Luis Rubiales, lima menit sebelum konferensi pers Real Madrid. Selain itu, Julen juga dikabarkan sudah menandantangani kontrak baru dengan timnas, tiga pekan sebelumnya.
“Aku tahu (kepergian Lopetegui) lewat satu atau dua telepon lima menit sebelum pengumuman resminya. Real Madrid mencari seorang pelatih dan mencari yang terbaik, itu normal. Aku tak akan bicara soal itu.”
“Timnas itu milik semua orang dan kami mesti mengirimkan pesan yang jelas ke semua pekerja di federasi kalau ada cara untuk berperilaku, kalau di sana ada etikanya. Julen bekerja dengan baik. Aku tak akan mengeluh soal itu. Tapi cara hal ini terjadi membuatku bikin pilihan ini. Ini adalah hari yang sulit dan kini kami harus membuat keputusan dua hari sebelum Piala Dunia dimulai.”
“Aku tak merasa dicurangi. Masalahnya dalah kurangnya kejelasan dengan RFEF, itu sesuatu yang tak bisa terjadi. Lopetegui adalah seorang profesional yang sempurna, tapi tindakan itu penting,” tegas Rubiales.
Soal Etika yang Dilanggar
Rubiales mengklaim kalau sudah ada kontrak baru dengan Julen. Semestinya, kontrak tersebut juga mengatur bagaimana apabila satu pihak mengakhiri kontrak. Kalau hal tersebut diatur, secara hukum mestinya Rubiales, melalui RFEF bisa saja menggugat Julen, karena wanprestasi.
Dengan tidak adanya gugatan pada Julen, bisa saja dalam kontrak tersebut memang tidak diatur apabila ada pihak yang memutuskan kontrak. Sehingga apa yang terjadi pada Julen, tidak melanggar kontrak, tapi tidak etis untuk dilakukan.
Namun, pertanyaannya, perlukah mengganti Julen di momen penting seperti Piala Dunia? Memecat Julen mungkin merupakan bagian dari hukuman federasi padanya. Akan tetapi segenting itukah sampai mesti diganti?
Ini yang membuat banyak publik Spanyol mengkambinghitamkan Luis Rubiales, utamanya di media sosial.
Who benefits from Rubiales’ decision? Not the players, not the coaching staff, definitely not the fans, and obviously not the NT as a whole. The fat bald people in charge are eating good though
— 13 (@Asensiazo) July 1, 2018
The Spanish media will make Luis Rubiales the scapegoat for all of this
— Matteo Bonetti (@TheCalcioGuy) July 1, 2018
Questions will be asked of the Spanish Federation too. Did they overreact in sending Lopetegui home early. No way they can say it didn’t impact the team.
— Godfred Akoto Boafo (@eastsportsman) July 1, 2018
Serves Spain right. Tiki taka was dead in 2013 when Bayern battered Barca and Brazil battered Spain. Awful, slow, sideways passing all game. No shots from outside box, no crosses. Can’t blame Russia’s negativity. As for Hierro, why the hell did he play 2 DMCs all game? #SPNRUS
— Carlo Garganese (@carlogarganese) July 1, 2018
Masalahnya adalah RFEF seperti menganggap pekerjaan melatih sebagai sesuatu yang bisa dilakukan oleh semua orang. Mengapa mereka menunjuk Hierro yang jelas-jelas tak punya pengalaman untuk menangani kesebelasan negara Spanyol?
Ini terbukti di Piala Dunia 2018 di mana kritik berhamburan buat taktik dan pilihan Hierro. Mulai dari memainkan dua gelandang bertahan, sampai tidak memainkan Andreas Iniesta sejak awal di pertandingan melawan Rusia.
Psikologis pemain pun bisa saja terpengaruh dengan disingkirkannya Lopetegui. Beberapa yang dekat secara psikologis dengan Lopetegui mungkin tak bisa berkonsentrasi 100 persen, sekalipun mereka pemain profesional. Selain itu, Hierro pun tak bisa memilih pemain yang benar-benar ia butuhkan dan sukai untuk memenuhi taktik pilihannya.
Intinya, para pemain maupun Hierro mesti kembali beradaptasi dengan gaya kepelatihan yang baru, taktik baru, dan kebiasaan lainnya. Dengan waktu dua hari bisakah semuanya berjalan mulus? Tentu itu mustahil.
Hal serupa juga pernah terjadi pada timnas Skotlandia. Kala itu, Jock Stein terkena serangan jantung saat Timnas Skotlandia merayakan keberhasilan lolos ke babak play-off Piala Dunia 1986. Stein pun meninggal dunia tak lama kemudian.
Federasi Sepakbola Skotlandia memutuskan untuk menunjuk asisten Stein, Alex Ferguson, untuk menangani Skotlandia di Piala Dunia 1986. Akan tetapi, resistensi mulai muncul. Mulai dari kesebelasan Skotlandia yang enggan meminjamkan para pemainnya, sampai dari ruang ganti itu sendiri.
Resistensi macam ini yang mungkin juga ditemukan Hierro di timnas. Belum lagi soal pengetahuan taktik yang tentu akan berbeda dengan pelatih sebelumnya. Meskipun para pemain sudah punya ribuan menit bermain, tapi mereka mesti diarahkan. Akan sulit buat sebuah tim, kalau instruksi pelatih cuma: bermain menyerang dan mencetak gol! Apalagi kalau lawan yang dihadapi punya kemampuan teknis dan taktikal yang lebih baik.
Dari contoh Lopetegui, bisa dilihat bagaimana RFEF lebih memilih menjunjung tinggi etika ketimbang logika. Emosi yang kelewat tak bisa ditahan, justru berbalik arah menyerang Spanyol itu sendiri. Para pemain bermain tak seperti biasanya. David De Gea yang bermain hebat musim lalu bersama Manchester United, justru menjadi sosok yang disalahkan karena gagal menahan sejumlah tendangan mengarah ke gawang. Mungkinkah hal tersebut juga terjadi kalau Lopetegui masih jadi pelatih? Belum tentu.
RFEF mestinya punya prioritas yang jelas. Kesebelasan Negara Spanyol bukan cuma milik RFEF, tapi juga seluruh masyarakat Spanyol. Biarlah mereka disakiti, yang penting Spanyol berprestasi. Sayangnya, di Spanyol, etika berhasil mengalahkan logika.