Hingga awal 2000-an, barangkali nama Ahn Jung-hwan adalah satu-satunya pemain Korea Selatan paling populer. Kegemilangan Cha Bum-kun di era 70-an sebagai bintang Asia pertama yang gemilang di Eropa tak banyak diketahui publik.
Lalu muncul sosok fenomenal Park Ji-sung alias “Manusia Tiga Paru-paru” yang melejit bersama Manchester United: Meraih 4 gelar Premier League, 3 Piala Liga, dan 1 gelar Liga Champions. Hingga ia pensiun di 2014, Ji-sung bisa disebut pemain Korea Selatan juga Asia yang paling gemilang dan takkan tergantikan hingga beberapa dekade ke depan.
Namun siapa sangka, kemunculan pemain Korea Selatan lainnya bernama Son Heung-min di Tottenham Hotspur pada 2015 silam, setidaknya memiliki potensi untuk menjadi yang terbaik.
Banyak yang mengira bahwa karier Son cukup mulus untuk ukuran pemain Asia yang berlaga di kancah sepakbola Eropa. Tak banyak pula yang mengetahui bagaimana sulitnya ia beradaptasi dengan iklim sepakbola Benua Biru.
Karier sepakbola profesional Son bermula di klub Jerman, Hamburg SV. Ketika itu, pemain bertinggi tubuh 183cm ini baru saja lulus dari Dongbuk High School dan mencari klub profesional Eropa sebagai titian karier sepakbolanya. Ternyata, sebelum Son pindah ke Jerman, ia pernah mengikuti trial di 2 kesebelasan Inggris, Blackburn Rovers dan Portsmouth yang kala itu bermain di divisi Championship.
Ternyata, ia gagal menarik hati pencari bakat dan pelatih. Trial yang tak berujung sukses di sana sempat memunculkan keraguan di dalam diri Son. Inggris sempat menjadi tempat yang membuat dirinya trauma.
“Diselamatkan” Program Korea FA
“Saya tak bisa berbicara bahasanya (Inggris), bahkan satu kata pun. Saat itu saya hanya seorang diri dan sangat takut. Kenangan saya tentang Inggris bisa dibilang buruk,” ucap Son dikutip HubfootballUK.
Beruntung, Asosiasi Sepakbola Korea Selatan (KFA) memiliki program Korean FA Youth Project. Program yang pernah dilakukan Korean FA dari 2002 hingga 2009 tersebut bertujuan mengirimkan pemain-pemain muda terbaik dari berbagai sekolah SMA se-Korea Selatan menuju berbagai klub di Eropa dan Amerika Selatan. Walhasil, karena talenta dan kerja kerasnya, Son Heung-min lalu bergabung di tim junior Hamburg SV.
Seperti pepatah lama yang mengatakan: “Kerja keras tak akan mengkhianati hasil”. Kiranya itulah yang tercermin dari sosok Son Heung-min. Sang agen, Thies Bliemeister yang bekerja dengan Son sejak remaja, mengatakan bahwa Son adalah tipikal pemain yang selalu bekerja keras dan itu membuatnya sangat terkesima.
Menurut penuturan Bliemeister, selama “menimba ilmu” di Jerman, ia tak pernah melihat Son melakukan apa yang lazim dilakukan pemain muda kebanyakan seperti berada di dalam ruangan dan bermain PlayStation, misalnya. Ia selalu melihat Son berlatih di lapangan seorang diri, melatih akurasi tembakan dengan kedua kakinya, dan dari sudut manapun.
Selayaknya pemain Asia lainnya, bahasa selalu menjadi kendala. Bliemeister mengungkapkan “rahasia” Son untuk mempelajari bahasa Jerman dengan cepat: Menonton SpongeBob Squarepants di kamarnya.
Menjadi Superstar Asia dan Mengikis Stereotipe
Skeptisme Eropa terhadap pemain sepakbola Asia (terutama Korea & Jepang) bahwa mereka pekerja keras sekaligus pendulang uang dari iklan dan merchandise, masih tertanam hingga sekarang.
Kepindahan Son dari HSV ke Bayer Leverkusen pada jendela transfer musim 2013/2014 turut menghadirkan hubungan antara pemain Asia dan urusan sponsor.
Ceritanya bermula ketika Leverkusen kehilangan sponsor utama mereka, Sunpower yang memilih tidak memperpanjang kontrak. Alhasil, pada peluncuran seragam terbaru Leverkusen oleh merek perlengkapan olahraga Adidas, Leverkusen menampilkan seragam polos.
Kedatangan Son ke Leverkusen ternyata menarik minat perusahaan elektronik Korea Selatan, LG Electronics untuk menjadi sponsor pada dada seragam. Mengutip laman sponsor.de, LG ketika itu menyepakati kontrak selama 3 tahun sebagai sponsor dada Leverkusen dengan nilai 5 juta Euro.
Kepindahan Son dari Leverkusen juga berdampak secara bisnis. LG memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya bersama Leverkusen. Namun, klub baru Son, Tottenham Hotspur kali ini yang merasakan dampak dari pembelian ini. Perusahaan asuransi asal Hongkong, AIA, yang telah bekerja sama dengan Spurs sejak 2013, terus memperpanjang kontraknya dengan klub London Utara. Berapa lama durasi kontraknya? Hingga musim 2026/2027!
Hal ini tentu saja terjadi karena Son bukan didatangkan karena pertimbangan bisnis belaka, melainkan karena bakat dan kerja kerasnya. Prestasinya yang terus menanjak di Premier League juga sekaligus mengikis anggapan dan stereotipe: Pemain Asia cuma bisa lari-lari dan ngejar bola doang selama pertandingan.
Tentu kita masih ingat bahwa fenomenalnya Park Ji-sung bersama Manchester United adalah contoh nyata bagaimana kerja keras pemain Asia menguatkan stigma bahwa pemain Asia dikenal punya determinasi tinggi, disiplin, tak banyak tingkah, tapi punya kekurangan: Kalah skillful dan jago urusan mencetak gol dibanding pemain Eropa, Amerika Selatan, maupun Afrika.
Son Heung-min lambat laun mengikis anggapan tersebut. Konsisten mencetak lebih dari 10 gol tiap musim (kecuali musim debutnya) adalah bukti konkret bagaimana Son kini masuk jajaran gelandang serang/penyerang top dunia. Dirinya pun masuk ke dalam nominasi Balon d’Or 2019, meraih FIFA Puskas Awards 2020, dan tentunya menjadi Pemain Terbaik Asia sebanyak 6 kali dari 2014 hingga 2020.
Urusan luar lapangan, pemain yang kini punya nama panggilan baru: Sonny, dari rekan-rekannya di Spurs, lebih terlihat selebritis ketimbang pemain asal Asia lainnya. Desember 2020, Sonny dikontrak agensi ternama asal Hollywood, CAA Sports, dibawah naungan CAA (Creative Artist Agency). Sonny juga pernah berpacaran dengan selebritis penyanyi serta aktris K-pop, Bang Min-ah dan Yo Soo-young.
Mungkin stereotipe terhadap para pemain Asia akan terus ada. Setidaknya, Sonny bisa memberikan pandangan baru kepada masyarakat sepakbola Eropa bahwa pemain asal Asia tak sekadar “kerja keras”, tak lelah lari kesana-kemari, juga gak neko-neko. Sonny membuktikan bahwa dirinyalah pionir superstar sepakbola pertama asal Asia yang bisa menjadi selebritis namun tetap berprestasi di lapangan hijau.