SPL: Strategi Saudi “Membangun” Negara Modern Lewat Pesepakbola Muslim Terbaik

Keputusan Karim Benzema untuk pindah dari klub terbaik dunia, Real Madrid, menuju Al Ittihad adalah salah satu pernyataan dari Saudi kalau mereka benar-benar serius. Mendatangkan Cristiano Ronaldo adalah langkah monumental, tapi membawa Benzema ke Saudi adalah sebuah pernyataan. Mengapa demikian?

“Itu (Saudi) tempat yang saya inginkan. Penting bagi saya untuk berada di negara Muslim, di mana saya merasa orang-orang (juga) seperti saya. Ini akan memungkinkan saya untuk memiliki kehidupan baru dan saya tidak sabar untuk tinggal di sana,” kata Benzema.

Negara Muslim. Sebuah kata kunci. Pernyataan Karim Benzema tersebut keluar saat dirinya memastikan untuk hijrah ke Arab Saudi, negara di mana setiap muslim waijb untuk melakukan ibadah haji –terdapat pada dalam rukun Islam– yang kini menjadi salah satu kekuatan finansial terbesar di sepakbola.

Berpekan-pekan setelah kepindahan Benzema, pindahnya para bintang top Eropa menghiasi pemberitaan. Menariknya, 7 (tujuh) pemain bintang tersebut merupakan muslim: N’Golo Kante, Edouard Mendy, Kalidou Koulibaly, Seko Fofana, Moussa Dembele, Riyad Mahrez dan Sadio Mane.

Pernyataan seorang Karim Benzema, juga fakta bahwa para pesepakbola muslim ini memutuskan mencari tantangan baru ke Saudi Pro League seolah membuat kita semua menyimpulkan bahwa itu hal tersebut adalah bagian dari cara PIF (Saudi Public Investment Fund) mendongkrak popularitas juga kualitas kompetisi mereka. Benarkah fakta tersebut?

Bersumber dari The Athletic, seorang informan yang tidak mau disebutkan namanya, mengungkapkan bahwa hal tersebut benar adanya: merekrut talenta elit beragama Islam adalah bagian dari strategi PIF dalam “membangun” negara modern lewat jalan sepakbola.

Sepakbola sebagai penggerak “Refolusion”

Dag Henrik Tuastad, seorang profesor Studi Timur Tengah di Oslo University mengungkapkan bahwa sepakbola di Timur Tengah memiliki kultur sepakbola yang paling dipolitisasi di dunia. Menurutnya, kultur di sana masih mengedepankan struktur patriarki, juga kontrol generasi tua kepada generasi muda. Di saat itulah, sepakbola menjadi “titik temu” bagi para generasi muda untuk melakukan “pemberontakan sosial” atau sekadar bertemu melepaskan belenggu keluarga masing-masing.

Sepakbola di Arab Saudi juga seakan menjadi satu-satunya tempat yang memiliki “demokrasi”. Contohnya bisa dilihat ketika pada 2012 silam, sala satu anggota kerajaan, Pangeran Nawaf bin Faisal merasa berkewajiban untuk mundur sebagai ketua SAFF (Federasi Sepak Bola Arab Saudi) setelah diprotes pendukung timnas Saudi karena gagal lolos ke Piala Dunia Brasil 2014.

Sementara pemilihan bebas jarang terlihat di tempat lain di negara itu, SAFF kemudian memilih Abdullah Ahmed Eid Al-Harbi, mantan kiper timnas The Green Falcons yang merupakan orang di luar keluarga kerajaan sebagai ketua federasi.

Masih menurut Tuastad, keadaan sosial masyarakat di Saudi mulai merasakan adanya reformasi sosial di berbagai bidang, terutama untuk mengatasi gap antar generasi. Hal itulah yang sebenarnya yang coba dilakukan putera mahkota, Pangeran Mohammed Bin Salman (MBS) sejak diangkat pada 2017 silam. Menaikkan profil olahraga di Arab Saudi adalah salah satunya.

Di bawah MBS, Arab Saudi memiliki apa yang disebut “Refolution” yaitu istilah campuran antara reforms (reformasi) dan revolution (revolusi). Di bawah rezim MBS yang berusia muda –tahun ini berusia 38 tahun– sang penguasa Saudi de facto tersebut coba mendobrak batasan-batasan yang sebelumnya belum pernah dicoba. Apalagi dengan adanya kesenjangan generasi dan perubahan di generasi muda.

Tentu anggapan ini akan dianggap isapan jempol belaka oleh beberapa pihak, terutama setelah kasus yang menyorot Saudi atas pelanggaran Hak Asasi Manusia. Langkah yang diambil kerajaan Saudi melalui badan investasi mereka PIF dinilai hanyalah aksi pengalihan dan pembersihan nama baik atau yang disebut “sportwashing”.

Bila mengutip Greenpeace, sportswashing adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan praktik individu, kelompok, perusahaan, atau pemerintah yang menggunakan olahraga untuk memperbaiki reputasi yang tercoreng oleh perbuatan yang menyalahi aturan. Sebagai bentuk propaganda, sportwashing dapat dilakukan dengan menyelenggarakan acara olahraga, membeli, atau mensponsori tim olahraga, atau berpartisipasi dalam segala kegiatan olahraga.

Digunakannya sepakbola sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosio-kultural di suatu negara bukan merupakan hal yang baru, namun bisa dikatakan bahwa Arab Saudi memiliki akar yang cukup kuat untuk menggunakannya.

Mungkin inilah yang menjadi pembeda antara Arab Saudi dengan Cina dan India yang lebih dulu mencoba membangun sepakbola dengan cara mendatangkan pemain Eropa berlabel mahal. Arab Saudi memiliki akar sepakbola yang kuat di masyarakat dan juga memiliki prestasi yang gemilang untuk level Asia. Kesebelasan tim nasional berjuluk Green Falcons sudah meraih 3 kali Piala Asia dan tampil 6 kali di Piala Dunia sejak memulai debut pada Piala Dunia AS 1994.

Di level klub, kesebelasan asal Arab Saudi juga mampu berbicara banyak di level kontinental seperti AFC Champions League. Saat ini, Al Hilal adalah pemegang juara terbanyak ACL dengan 4 titel. Kesebelasan lainnya, Al Ittihad mampu memenangkan gelar bertutur pada 2004 dan 2005. Silakan bandingkan dengan prestasi yang dimiliki Cina atau India.

Bila membicarakan kultur kesebelasan sepakbola, Arab Saudi memang memiliki stereotip tersendiri dalam hal tersebut. Misalnya, kesebelasan baru Karim Benzema, Al Ittihad. Sebagai klub sepakbola, Al Ittihad yang didirikan di kota pelabuhan Jeddah pada 1927, memiliki cap sebagai “people’s club” atau klubnya rakyat – Nadi Al-Sha’ab dalam bahasa Arab–  juga memiliki basis pendukung imigan asal Afrika Utara.

Kesebelasan lain seperti Al Wehda, juga memiliki kaitan dengan dengan para pendatang asal tanah Jawa yang memperkenalkan masyarakat sekitar pada sepakbola hingga warna merah putih digunakan sebagai warna kebesaran klub yang didirikan pada 1935 tersebut. Hal ini menandakan bahwa sepakbola di Saudi telah masuk ke dalam masyarakat sebelum era sepakbola modern datang.

Pangeran MBS dengan Vision 2030-nya, Saudi seperti negara yang “tertinggal” dalam bidang rekreasi. Banyak dari anak muda rela pergi ke belahan dunia lain untuk mencari kesenangan dan berekreasi.  Saudi Vision 2030 adalah program pemerintah yang diluncurkan oleh Kerajaan Arab Saudi pada 2016 lalu yang bertujuan untuk mencapai tujuan peningkatan diversifikasi ekonomi, sosial dan budaya. Dalam hal ini, Saudi menjadikan sepakbola sebagai contoh bahwa mereka adalah negara yang bagus untuk “bersenang-senang”.

Menggunakan Privilege Tanah Suci sebagai daya tarik

Memiliki sumber daya finansial yang ”tak terbatas” adalah salah satu modal penting bagi Arab Saudi untuk mendatangkan para pemain terbaik di dunia, namun ada hal lain yang tak mampu disamai oleh negara manapun di dunia: Arab Saudi memiliki Mekah dan Madinah yang merupakan tanah suci bagi pemeluk agama Islam.

Bagi muslim (termasuk para pesepakbola ini) tentu sangat penting memiliki lingkungan yang mendukung mereka untuk menjalankan perintah agamanya. Di Eropa, tak banyak masjid untuk melakukan ibadah salat 5 waktu atau mendapatkan kemudahan memakan makanan halal. Di Arab Saudi, hal itu tak akan jadi persoalan. Apalagi, mereka akan dibayar berkali-kali lipat dari gaji mereka ketika merumput di Eropa.

Hal ini bisa dibuktikan dengan sepekan setelah bergabungnya N’Golo Kante ke Al Ittihad yang bermarkas di Jeddah –sekitar 40km dari Mekah–, gelandang timnas Prancis ini terlihat sedang melakukan ibadah haji bersama gelandang AC Milan berdarah Maroko, Ismael Bennacer.

***

Tentu saja gelimang bintang di sepakbola Saudi akan juga dinantikan para penikmat gim sepakbola di seluruh dunia. Akan ada sensasi lain ketika memainkan tim yang bahkan setahun lalu belum pernah didengar namanya, baik di telinga penggemar sepakbola juga para pemain yang datang ke sana.

Kedatangan Neymar Jr. ke Al Hilal juga mempertegas ambisi Saudi untuk menjadikan kompetisi mereka bukan hanya sekadar langkah beraroma gimmick belaka. Lebih gilanya lagi, mereka juga menginginkan tim yang juara di SPL musim ini berlaga di Champions League musim 2024/2025!

Bursa transfer Liga Pro Saudi masih akan berjalan hingga 20 September mendatang, namun sejauh ini sudah banyak pihak-pihak yang meradang. Mereka menuding dengan sumber daya yang bergelimang, Arab Saudi bermain curang. Bagi Saudi, inilah cara mereka untuk bisa dipandang, dan berharap inilah ajang untuk menang. Apa lagi kalau bukan dengan uang?