Suatu Masa Ketika Manchester City Menjadi Pilihan Hipster Sepakbola

Ada kalanya menjadi hipster sepakbola adalah hal yang menyenangkan. Berbagai bentuk untuk menjadi hipster sepakbola bisa bermacam-macam bentuknya. Mulai dari mencari “second team” sekadar seru-seruan karena tim jagoan berada di liga negara lain, atau bahkan sudah terlalu bosan mendukung tim yang juara. Alasan yang biasanya kerap ditemukan adalah: mencari tim yang potensial juara di masa depan, sehingga ketika tim tersebut kelak menjadi juara, fans tersebut tidak terlihat “glory hunter” amat.

Mari menoleh sedikit ke dua dekade silam, tepatnya tahun 1998 hingga 2001. Periode ketika sebuah kesebelasan bernama Manchester United baru saja memenangkan gelar treble. Di kota yang sama, sebuah kesebelasan yang biasanya gemar naik dan turun divisi juga memulai revolusi klub. Ya, klub tersebut tidak lain adalah Manchester City. Klub yang kala itu memiliki banyak alasan untuk menjadi pilihan kedua para hipster sepakbola, meski istilah tersebut baru dikenal luas satu dekade kemudian.

Berikut adalah penjelasan apa saja yang membuat Citizens kala itu layak menjadi pilihan hipster sepakbola.

Simbol “Perlawanan” Kedigdayaan Manchester United

Kejayaan Manchester United sudah tentu menimbulkan kecemburuan dari fans klub lain. Pada umumnya orang-orang berbondong-bondong untuk mendukung Setan Merah, namun ada saja yang membencinya. Paling tidak, untuk mencari “klub kedua” mereka. Inilah yang menjadi salah satu alasan yang menjadikan Manchester City sebagai “everyone’s second club”.

Seorang jurnalis senior Inggris yang pernah bekerja untuk majalah NME dan juga BBC, Paul Morley pernah berkata: “Mendukung (Manchester) United terlalu mudah. Itu membuat hidup terlalu mudah. Tidak ada tantangan. Ini adalah bentuk pelarian dari pengecut, penjualan untuk kekuatan jahat. Penggemar United tidak memiliki jiwa dan akan menghabiskan leher kekekalan mereka jauh di dalam muntah mendidih.”

Kehadiran kembali Manchester City dari Divisi Satu saat itu mampu mewakili pembenci Manchester United dan berharap tetangganya bisa berbicara banyak, apalagi City saat itu kembali ke Premier League dengan rekor cukup fantastis: juara First Division dengan 99 poin. Hanya kalah 1 kali di kandang sepajang musim.

Bergabungnya Alf Inge Haaland ke Man City dari Leeds United saat itu juga menjadi salah satu alasan mengapa mendukung Manchester City adalah bentuk resistensi. Haaland adalah musuh abadi kapten Manchester United, Roy Keane. Keane pulalah yang kelak mengakhiri karier sepakbola gelandang timnas Norwegia tersebut.

Strategi Manchester City dalam Bentuk Gim

Berubahnya status Manchester City dari klub “yo-yo” dan memiliki ambisi besar saat itu membuat manajemen klub mengambil pendekatan public relations yang diluar biasanya. Manchester City saat itu merilis permainan simulasi manajer resmi klub “Manchester City Official Manager” bekerjasama dengan sebuah pengembang gim, Just Football.

Persis seperti gim yang saat itu sedang booming, Championship Manager, Manchester City Official Manager memungkinkan kita untuk mengatur strategi, formasi, jual-beli pemain, juga berinteraksi dengan jajaran direksi. Pada setiap loading, pemain gim ini seakan-akan melakukan tur stadion berkat ditampilkannya foto-foto stadion Maine Road, ruangan manajeman, ruang ganti, bahkan foto-foto komunitas yang terlibat didalam klub Manchester City.

Penulis yang saat itu masih duduk di bangku SD pernah menjajal gim tersebut dan sempat kagum karena tampilannya yang lebih seru ketimbang Championship Manager.

Hubungan Erat Manchester City dan Musik Populer

Dalam dunia perhipsteran sepakbola, salah satu unsur yang membuat suatu klub sepakbola menjadi layak dilabeli klub hipster adalah hubungannya dengan musik populer.

Dekade 90-an adalah surga bagi penikmat musik Brit Pop. Salah satu pionir subgenre musik tersebut adalah Oasis, band yang dimotori Gallagher bersaudara, Liam dan Noel. Keduanya merupakan fans berat dari Manchester City. Bagi Liam dan Noel, The Citizens adalah separuh dari diri mereka. Keduanya bahkan menjadi model klub untuk seragam baru, juga melakukan sesi foto band di dalam markas Manchester City kala itu, stadion Maine Road.

Ditambah, anthem dari fans Manchester City adalah “Blue Moon”.  Sebuah lagu yang diciptakan tahun 1934 dan pernah dipopulerkan oleh musisi legendaris seperti Frank Sinatra, Billie Holiday, Elvis Presley, Dean Martin, serta Bob Dylan.

Akan ada sensasi tersendiri mendengarkan lagu-lagu dari Oasis sembari mengenakan jersey Manchester City, percayalah.

Skuat Terdapat Pemain “Cult Hero”

Skuat Manchester di era akhir 90 dan awal 2000-an terdapat nama-nama pemain berbakat yang tidak mendapat pengakuan publik mainstream atau disebut cult hero. Nama Georgi Kinkladze adalah salah satunya. Kinkladze adalah playmaker terbaik yang dimiliki Liga Inggris saat itu. Perdebatan fans sepakbola di Inggris saat itu sering mengarah kepada: “siapa yang lebih baik, Juninho atau Kinkladze?”

Omar Saleem, managing editor thesefootballtimes menulis, “Dalam saat terbaiknya, Kinkladze memiliki akselerasi yang luar biasa dari awal, dengan kontrol bola yang jarang memiliki kesulitan… ia sangat berkaki satu, jarang berpindah ke kaki kanan. Semuanya berada di kaki kiri, seperti Lionel Messi atau Arjen Robben saat ini, ia sulit sekali dihentikan saat itu.”

Selain nama Kinkladze, Manchester City juga memiliki seorang Shaun Goater. Goater adalah legenda City, jauh sebelum kini memiliki bomber ganas seperti Kun Aguero. Striker timnas Bermuda ini menjadi pencetak gol terbanyak City selama 4 musim berturut. Sejak 1998 hingga 2003, Goater mencetak 103 gol dalam 212 penampilan.

Karena seorang hipster sejati tidak akan menjawab Aguero atau David Silva sebagai pemain terbaik Manchester City.

***

Pondasi revolusi Manchester City di tahun 1998 hingga awal 2000-an lah yang menyebabkan The Citizens tampil stabil di Premier League. Bahkan, kepindahan City dari stadion Maine Road ke City of Manchester Stadium (kini Etihad) menjadi gerbang bagi investor Asia seperti Thaksin Shinawatra dan terkhir Syeikh Mansoor untuk mengubah Manchester City menjadi klub kaya raya dan menjadi tim papan atas Premier League. Maka, Manchester City pada era tersebut pantas dikenang sebagai salah satu tim pilihan para hipster sepakbola.