Sudah Treble Domestik, Selanjutnya Apa Lagi, Guardiola?

Pep Guardiola menjelma legenda di Manchester City. Selama tiga musim masa kepelatihannya, sudah banyak trofi yang ia persembahkan bagi The Citizens.

Memang, pada musim pertama kedatangannya, tak ada satu pun gelar yang sukses ia daratkan. Namun seiring berjalannya waktu, memasuki musim kedua ia mendatangkan pemain-pemain yang menurutnya cocok dengan skemanya. Guardiola juga mulai memupuk kesadaran akan perubahan taktikal di tubuh City pada pemain-pemain lama.

Usai melalui proses transisi tersebut pada musim 2016/2017 dan awal musim 2017/2018, ditambah lagi dengan mulai pahamnya Guardiola akan atmosfer Premier League, City mulai bertransformasi. Mereka mulai menggebrak, dengan permainan yang tetap agresif sekaligus atraktif. Ada kalanya menekan, ada kalanya juga mereka bermain menunggu dan menyengat perlahan.

Hasil dari perubahan permainan ini tampak pada musim 2017/2018, kala City sukses menggondol trofi Premier League dan Piala Liga Inggris. Berlanjut pada musim 2018/19, dominasi yang mampu dipertahankan City membuat trofi Premier League dan Piala Liga kembali mendarat di Etihad.

Bukan hanya dua trofi itu saja, City juga sukses menggondol trofi Piala FA pada musim 2018/2019. Cara mereka mendapatkan trofi itu juga cukup elegan: menaklukkan Watford dengan enam angka tanpa balas di final, berbalut permainan yang agresif nan atraktif khas Guardiola.

Nah, setelah meraih beragam trofi domestik, apa selanjutnya yang mesti dilakukan Guardiola? Jika menilik catatannya dalam tiga musim ke belakang, ada satu pekerjaan rumah lain yang harus ia selesaikan. Ada satu trofi yang belum ia daratkan ke City sejauh ini, yang juga masih jadi hutangnya pada Bayern Muenchen sampai sekarang.

Trofi itu bernama trofi Si Kuping Besar, atau, lebih dikenal dengan trofi Liga Champions. Apakah Guardiola bisa meraihnya?

Kerap Gagal di Liga Champions

Perjalanan City di ajang Liga Champions pada era Guardiola ini memang tidak begitu manis. Setelah terakhir kali mampu menjejak partai semifinal pada musim 2015/16–saat itu mereka masih ditangani Manuel Pellegrini–, ‘Manchester Biru’ tidak lagi menggigit di Liga Champions. Tiga musim di bawah Guardiola berlalu dengan kekecewaan.

Pada musim 2016/17, City-nya Guardiola luluh lantak di tangan AS Monaco yang diasuh Leonardo Jardim. Laga itu seolah jadi cara Kylian Mbappe dan beberapa pemain muda Monaco lain untuk unjuk gigi. Tapi, pada akhirnya, beberapa di antaranya macam Benjamin Mendy dan Bernardo Silva, membelot ke City juga.

Berlanjut pada musim 2017/18, berbalut persiapan yang lebih matang, City menatap Liga Champions dengan percaya diri. Babak perempat final sukses mereka capai. Sayang, mereka justru takluk dari sesama klub Inggris, Liverpool, yang akhirnya melenggang ke partai final.

Musim 2018/19, City kembali menatap Liga Champions dengan optimis. Lolos dari fase grup, mereka tampil menggila di babak 16 besar dengan menggilas Schalke 04 (total agregat 10-2). Namun, yang terjadi mereka justru takluk dari Tottenham Hotspur di babak perempat final. Mereka kalah agresivitas gol tandang dari Spurs.

Menilik catatan City di atas, dapat dikatakan bahwa selama tiga musim di bawah asuhan Guardiola, City gagal di ajang Liga Champions. Situasi serupa juga pernah terjadi ketika Guardiola menangani Bayern Muenchen sejak musim 2013/14 sampai musi 2015/16.

Selama tiga musim, Guardiola hanya mampu mengantarkan Bayern sampai babak semifinal. Tiga lawan dari Spanyol: Barcelona, Real Madrid, dan Atletico Madrid, menjadi pengganjal Guardiola dalam upayanya mengantarkan Bayern juara Liga Champions, sesuatu yang terakhir kali dilakukan Jupp Heynckes.

Akibat dari semua kegagalan ini, Guardiola sampai melabeli dirinya sebagai sosok yang gagal di Liga Champions. Setelah terakhir kali menjuarai Liga Champions saat masih menukangi Barcelona-yang diperkuat sosok Lionel Messi tentunya–Guardiola belum lagi menjuarai Liga Champions.

“Jika tim saya gagal memenangi Liga Champions, berarti kami gagal. Liga Champions itu berat, karena banyak tim bagus di situ. Kami harus melakukan pendekatan yang tepat di ajang itu,” ujar Guardiola dilansir AP.

“Ketika saya di Bayern Muenchen, seperti halnya klub besar lain, jika tiga musim gagal memenangi Liga Champions, maka itu adalah kegagalan. Saya menerima itu, dan saya tahu. Saya harus hidup dengan itu,” tambahnya.

Lalu, apa yang membuat Guardiola bisa gagal dalam beberapa musim ke belakang, sedangkan di Barcelona ia sukses juara dua kali?

Apakah Memang Guardiola Kurang Beruntung?

Jonathan Wilson, dalam tulisannya di laman The Guardian yang berjudul Pep Guardiola will be seen as a Champions League failure. But is it fair?, menyebut bahwa banyak sebab yang membuat Guardiola gagal di Liga Champions sejak musim 2011/12.

Dari sekian banyak sebab tersebut, selain karena taktik, Wilson menyebut bahwa banyak ketidakberuntungan yang menaungi Guardiola. Bayangkan saja, Guardiola gagal sebanyak sembilan kali di Liga Champions. Tiga karena aturan gol tandang, tiga kali karena pemainnya gagal penalti, serta tiga kali karena lawannya mendadak bangkit di leg kedua.

Namun, jika merunut adagium bahwa ‘segala kebetulan itu logis di sepak bola’, tidak layak rasanya menyebut Guardiola tidak beruntung di ajang Liga Champions ini. Apalagi, sosok Guardiola dikenal sebagai sosok yang lihai melakukan analisis dan selalu berusaha menjelaskan kekalahan yang dialami timnya secara logis.

Yang terjadi mungkin seperti ini: rencana Guardiola dalam suatu pertandingan acap rusak di ajang Liga Champions ini. Sosok asal Spanyol itu dikenal sebagai pelatih yang rapi perkara rencana pertandingan. Ketika rencananya dikacaukan oleh skema apik lawan atau penampilan apik pemain lawan, terkadang Guardiola gelagapan.

Mungkin, Guardiola tidak menyangka jika Ramires bisa melakukan tendangan lob sebegitu apik di musim 2011/12. Ia juga mungkin tidak akan menduga Saul Niguez bisa mengacak-ngacak lini pertahanan Bayern seorang diri pada musim 2015/16 silam.

Alhasil, segala hal yang tidak terduga, sekaligus merusak rencana inilah yang membuat Guardiola gagal. Siapa juga bisa menduga kalau Tottenham dan Liverpool bisa tampil menggila dengan skema yang rapi saat bersua City di dua laga perempat final yang berbeda?

Selain kurang beruntung, ya, bisa dibilang juga jika Guardiola kurang rapi dalam soal persiapan. Apalagi di Bayern dan City, ia tak punya sosok Messi yang punya magis tersendiri.

***

Guardiola boleh melabeli dirinya gagal di Liga Champions, karena faktanya memang demikian. Sembilan musim ia gagal, bahkan sekadar untuk menjejakkan kaki di partai final. Bayern dan City boleh meraja di kompetisi domestik. Tapi, ketika bicara Liga Champions, mereka gagal selama ditangani sosok eks pemain Barcelona tersebut.

Nah, dari semua kegagalan ini, setidaknya Guardiola bisa belajar bahwa untuk mengarungi turnamen seperti Liga Champions, rencana dari A sampai Z mesti ia siapkan. Ini untuk menanggulangi segala kejutan yang terjadi, termaasuk kejutan yang mungkin tidak ia duga sebelumnya. Daya analisa Guardiola yang kuat mestinya memungkinkan untuk melakukan hal tersebut.

Jadi, selanjutnya apa yang akan Guardiola lakukan di City? Tentunya memenangi trofi Liga Champions yang sudah lepas dari genggamannya beberapa kali.