Kembali ke tahun 2003. Tepat satu tahun selepas saya benar-benar secara reguler menonton sepakbola. Timnas usia muda Indonesia akan berlaga di ajang SEA Games 2003 dan ajang pra-olimpiade Athena 2004. Saya ingat betul bagaimana pengumuman skuat, sekaligus komentar dari federasi terkait informasi ini hanya sebuah kolom tidak terlalu besar, juga tidak sampai satu halaman di sebuah tabloid khusus sepakbola.
Seluruh pertandingan disiarkan di TVRI serta dua stasiun televisi swasta saat itu. Saya ingat betul bagaimana euforianya tidak seheboh ketika timnas senior bertanding di ajang Piala Tiger (kini Piala AFF) di tahun yang hampir berdekatan. Menggali ingatan, rasanya sorotan besar berupa halaman utama hanya muncul setiap timnas usia muda akan bertanding. Itupun tidak sebesar ketika timnas senior akan bertanding di sebuah turnamen.
Hal ini juga terjadi pada turnamen-turnamen selanjutnya, di beberapa tahun setelahnya. Seandainya Syamsir Alam dan timnas U-19 tidak berlaga di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung, yang memang berada di wilayah di mana saya tumbuh. Kala itu Alam dan kawan-kawan bertanding dalam babak kualifikasi Piala Asia usia muda. Mungkin saya tidak akan memiliki ketertarikan besar untuk menyoroti perkembangan timnas usia muda.
Karena gol sensasional yang dibuat Syamsir Alam melalui tendangan bebas ke gawang Taiwan membuat saya sangat terkesan. Pun membuat saya percaya bahwa bakat usia muda Indonesia memang memiiiki kualitas bersaing. Setidaknya untuk level benua Asia.
Mungkin tidak hanya saya. Tetapi bagi Anda yang besar di sekitar akhir 1990-an atau 2000-an awal juga sebagian besar merasakannya. Sorotan untuk timnas usia muda tidak terlalu besar dan menghebohkan. Kebanyakan nama pemain baru dikenal ketika mendekati level tim senior. Atau setidaknya ketika mereka memperkuat timnas U-23 yang berada satu level di bawah timnas senior.
Semuanya agak berbeda untuk generasi terkini. Adik saya yang masih di kelas enam Sekolah Dasar sudah mengetahui betul banyak pemain timnas usia muda Indonesia. Mulai dari nama-nama seperti Febri Hariyadi dan Rezaldi Hehanusa yang akan bertanding di ajang Asian Games 2018. Hingga Sutan Zico dan Bagus Khafi yang bertanding untuk Garuda Muda di ajang Piala AFF U-16.
Modernitas melalui teknologi membuat aliran informasi semakin deras. Segala sesuatunya jelas lebih baik ketimbang era sebelumnya. Dulu saya mesti menunggu setiap pekan untuk mendapatkan informasi dari tabloid yang khusus membahas sepakbola. Mesti menunggu lebih lama lagi untuk informasi atau konten yang lebih premium dan ekslusif untuk tabloid internasional atau berbahasa asing.
Bandingkan dengan di era adik saya sekarang. Berita soal pertandingan timnas usia muda bisa langsung diakses bahkan tidak sampai sepuluh menit selepas pertandingan usai. Ia bahkan mendapatkan informasi tambahan dari laman-laman sepak bola juga saluran informasi lain seperti sebuah akun tentang tim nasional Indonesia di Instagram.
Terkait sorotan jelas benar-benar berbeda ketimbang sebelumnya. Karier seorang Agus Indra Kurniawan rasanya baru benar-benar tersorot ketika ia hijrah ke Persija Jakarta dan memperkuat timnas U-23 Indonesia. Sekarang, pemain seperti Witan Sulaeman yang belum dikontrak oleh klub professional pun memiliki sorotan yang serupa dengan yang dialami oleh Agus Indra saat itu. Sebuah fenomena yang memang luar biasa.
Karena semua memiliki Sisi Baik dan Sisi Buruk
Sorotan (Eksposur) untuk timnas usia muda ini memang sesuatu yang fenomenal dan luar biasa. Tetapi serupa dengan segala sesuatu yang ada di kehidupan ini, semua memiliki sisi baik maupun buruk. Sorotan untuk timnas usia muda ini pun memiliki dua sisi yang memiliki nilai kausalitas dan saling terkait satu sama lain.
Sisi baiknya, eksposur besar untuk usia muda ini meningkatkan awareness (kepekaan) terhadap timnas usia muda. Mereka tidak lagi ‘dianak tirikan’ dan diperlakukan berbeda ketimbang kakak-kakak mereka di tim nasional kelompok umur yang lebih tua. Mereka mendapatkan dukungan yang hampir sama besarnya, apalagi jika bertanding di dalam negeri. Sudah muncul banyak testimoni dari pelatih maupun pemain dari tim negara lawan yang takjub bagaimana Indonesia memberikan dukungan yang sama besarnya bahkan untuk timnas usia muda.
Eksposur besar ini juga sangat membantu para pelatih. Mereka tidak lagi kesulitan terkait scouting pool untuk mencari bakat-bakat muda. Informasi tentang para pemain muda kini begitu mudah didapatkan di internet dan media sosial. Bahkan untuk data yang lebih detail, tidak resmi, dan hal-hal di luar lapangan, pun bisa didapatkan. Karena para pemain muda tersebut kini memiliki fan page tersendiri di platform media sosial Instagram. Sesuatu yang belum ada di masa-masa sebelumnya.
Karena para pemain muda tersebut kin bahkan memiliki basis masa tersendiri. Ini juga memudahkan proses ‘penjualan’ yang dilakukan oleh klub maupun sponsor. Mereka tidak lagi mesti berebut untuk menggunakan jasa para pemain senior yang harganya tentu sudah melambung. Mereka bisa menggunakan para pemain muda untuk mendapatkan kesegaran dan harga produksi yang jauh lebih rendah. Karena jangkauan para pemain muda pun kini sudah hampir sama besarnya dengan banyak pemain senior.
Tetapi sorotan besar ini juga mengandung sisi buruk yang benar-benar mesti dikontrol dengan tepat. Para pembaca yang budiman, Anda pun tentu sadar betul bagaimana sorotan besar ini akan menghadirkan ekpestasi yang juga besar untuk para penggawa timnas usia muda. Ekpektasi besar ini akan berlanjut dengan tekanan besar untuk meraih prestasi. Dalam hal ini adalah soal pencapaian dan trofi.
Karena eksposur besar bagi timnas usia muda ini, mereka mendapatkan tekanan besar yang sama dengan para seniornya. Terutama terkait meraih sebuah trofi. Tekanan memang perlu ada agar segala sesuatunya tetap sesuai jalur. Tetapi menekan bocah berusia 16 tahun, atau remaja tanggung yang bahkan belum berusia 20 tahun dengan tekanan yang serupa dengan para pemain berusia matang tentu bukan sesuatu yang juga baik.
Pembelaan soal tekanan-tekanan besar untuk timnas usia muda tersebut biasanya adalah soal pembentukan mental. Permasalahannya, fenomena ini bisa menghasilkan dua produk yang benar-benar berbeda. Yang sanggup menahannya tentu akan memiliki mental besar yang tertempat. Yang tidak bisa akan membuat karier mereka tersendat atau bahkan berhenti. Amat disayangkan karena ini berarti ada bakat yang tersia-siakan karena penanganan yang kurang tepat.
Saya pribadi hingga saat ini masih berada di barisan yang sama dengan mereka-mereka yang berpendapat bahwa terkait timnas usia muda, soal prestasi bukanlah sesuatu yang utama. Yang lebih penting adalah bagaimana anak-anak muda Indonesia tersebut bisa mencintai dan memandang sepakbola dari sisi yang lebih baik, dan bakat berkembang dengan natural dan optimal.
Sorotan dan eksposur besar untuk timnas usia muda ini merupakan sebuah fenomena yang sulit dibendung. Berjalan seiring dengan modernitas yang terus terjadi di kehidupan saat ini. Yang mesti dilakukan selanjutnya dalam tahapan yang paling mudah adalah pihak-pihak terkait bisa melakukan penanganan yang tepat terkait fenomena ini. Yang dilakukan oleh pelatih timnas U-16, Fachry Husaini, yang melakukan pembatasan penggunaan media sosial bagi skuat asuhannya memang cara yang ekstrem. Tetapi setidaknya itu merupakan salah satu jalan yang mesti dilakukan untuk menanggulangi tekanan dan eksposur besar untuk timnas usia muda.
Karena masa depan para pesepak bola muda Indonesia juga sedikit banyak bergantung kepada bagaimana semua elemen sepak bola, termasuk kita semua, untuk menanggapi bakat-bakat hebat yang mereka miliki.
Jayalah Selalu Sepak Bola Indonesia, Semoga Garudaku Bisa Terus Terbang Tinggi.