Tentang Klopp, Black Sabbath, dan Reinkarnasi Heavy Metal

14 September 1983. Black Sabbath menginjakkan kakinya di Madrid. Grup band asal Birmingham itu tengah melakoni tur dunianya dalam tajuk “Born Again”. Pasca ditinggal sang vokalis, Ozzy Osbourne, band asal Inggris mengalami titik terendahnya. Maklum, Ozzy tak hanya dikenal sebagai penyanyi melainkan salah satu ikon heavy metal. Kehadiran vokalis pengganti Ozzy, yakni Ronnie James Dio ternyata tak berlangsung lama. Usai mengerjakan album Heaven and Hell, Dio memutuskan hengkang.

Genre heavy metal sudah berkembang jauh saat itu, malah terdesak oleh genre baru yang kala itu sedang booming, khalayak menyebutnya glam rock. Ciri khasnya: wig, dandanan full make-up, dan pakaian kulit nan ketat. Glam rock juga mendapat saingan ketat dari musik lain seperti disko, new wave, juga pop yang dipadukan dengan unsur-unsur synthesizer sebagai bagian dari teknologi yang saat itu sedang berkembang.

Demi mempertahankan taji Black Sabbath sebagai lambang supremasi heavy metal, tak ada jalan lain selain menambal kepergian Osbourne. Kala itu vokalis Deep Purple, Ian Gillan mengisi vokal untuk tur ini. Deep Purple juga dikenal sebagai musisi pengusung heavy metal namun dengan racikan yang berbeda dengan Black Sabbath. Fans Deep Purple akan lebih suka menyebut band favoritnya memainkan progressive rock, bukan heavy metal.

Terminologi Heavy Metal seperti yang termaktum dalam buku Heavy Metal: A Cultural Sociology karya penulis Deena Weinstein adalah genre musik rock yang dikembangkan pada era akhir 60-an hingga 70-an, berakar pada musik blues, progresif, dan acid disertai lirik-lirik menyeramkan, agresif, yang melambangkan maskulinitas. Black Sabbath, bersama Deep Purple, dan Led Zeppelin berangkat dari Inggris untuk mengguncang dunia.

Kejayaan Heavy Metal sebagai sebuah genre yang berdiri sendiri akhirnya tak mampu dipertahankan Black Sabbath bahkan sebelum dirilisnya album Born Again. Kejenuhan publik dan juga lahirnya musik-musik yang memasukkan unsur disco serta syntesizer saat itu mendesak kedigdayaan heavy metal yang diusung Black Sabbath dkk.

Heavy metal saat itu jauh malah dikembangkan band-band “new wave” heavy metal seperti Iron Maiden, Def Leppard, Motorhead. Bahkan sebagian penganut genre itu berkembang menjadi “hair metal” atau disebut glam rock yang dipopulerkan Motley Crue, Alice Cooper, atau KISS. Begitu pun dengan Metallica dan Slayer yang menngkonversi heavy metal ke arah yang lain.

Penjualan album dengan genre heavy metal pun merosot tajam. Heavy metal nantinya ditaruh sebagai genre akar yang berjasa mengembangkan genre baru metal seperti thrash metal, speed metal, black metal, doom metal, dll. Di era  80-an pengusung genre heavy metal hanya mendapatkan 8 hingga 20 persen saja dari total penjualan album di pasaran Amerika Serikat, sebagai gambaran.

Kota Madrid, Heavy Metal dan Sepakbola

“But he (Wenger) likes having the ball, playing football, passes… it’s like an orchestra. Gesturing as if playing a violin, but it is a silent song. I like heavy metal more. I always want it loud.”

Begitulah yang dikatakan pria bernama Juergen Norbert Klopp pada November 2013. Pelatih dari Borussia Dortmund mengomentari gaya bermainnya menghadapi Aresene Wenger jelang laga menghadapi Arsenal pada ajang Liga Champions.

Tanpa ekspektasi apapun, Klopp tiba-tiba dikenal sebagai pengusung sepakbola “Heavy Metal” di tengah-tengah tren tiki-taka yang sedang mengguncang. Sebuah filosofi yang digambarkan para pandit sepakbola sebagai sepakbola dengan perpaduan pressing ketat yang disebut gegenpressing, transisi cepat dari bertahan ke menyerang atau sebaliknya yang disebut Umschaltspiel yang disempurnakan lewat direct passing.

Berselang 2 tahun sejak “terciptanya” heavy metal football, Klopp menangani kesebelasan Liverpool FC. Ekspektasi publik Anfield terhadap Klopp amatlah tinggi, apalagi sejak kegagalan manajer mereka sebelumnya, Brendan Rodgers dalam mengantarkan mereka ke podium juara.

Madrid, 1 Juni 2019. Liverpool FC menginjakkan kakinya di kota Madrid. Bersama sang pelatih, sang pemrakarsa sepakbola heavy metal, akan berlaga di laga final Liga Champions di Madrid, keesokan harinya menghadapi sesama tim Inggris, Tottenham Hotspur.

Bagi warga Madrid, genre Heavy Metal  selalu mendapatkan tempat. Bahkan stadion kecil seperti Estadio Roman Valero yang hanya berkapasitas 4 ribu penonton pernah menjadi temat pertunjukan band-band heavy metal dan penerusnya yang disebut new-wave heavy metal sejak tahun 70-an. Black Sabbath, Judas Priest, Iron Maiden, Deff Leppard pernah mentas disini. Bahkan sebelum laga final dilangsungkan di stadion Wanda Metropolitano, grup Iron Maiden lebih dulu mentas pada Juli 2018 lalu.

Heavy Metal secara lengkap adalah tentang bagaimana sebuah pertunjukkan dipertontonkan dengan spektakuler. Coba tengok bagaimana atraksi Ozzy Osbourne yang nekat memakan kelelawar hidup-hidup ketika berada di atas panggung. Anda tak salah membacanya: kelelawar hidup!

Itu juga yang juga coba dipertunjukkan Klopp melalui filosofi yang diusungnya. Karena sepakbola yang ia terapkan, Liverpool berhasil menohok jagad bumi dengan membalikkan agregat atas Barcelona pada laga semifinal Liga Champions. Sepakbola yang dimainkan Klopp dan anak asuhnya mampu mempermalukan Leo Messi cs. dengan skor 4-0 tanpa balas.

Klopp adalah tipikal manajer yang berpegang pada sistem. Dia berpegang teguh pada pendiriannya (yang juga ia ungkapkan pada seluruh tim) semasa melatih di Bundesliga bersama Mainz: bahwa taktik yang tepat diterapkan dengan benar dapat mengalahkan pemain yang lebih baik.

Pun demikian, ia bukanlah manajer yang sakelijk pada sistem dan memainkan sepakbola yang membosankan. Seperti filosofi heavy metal yang juga mengedepankan sensasi di atas panggung, Klopp juga menaruh sepercik hal yang spektakuler di atas lapangan hijau. Di bawah asuhan Klopp, tim seperti Mainz, Dortmund, juga Liverpool kerap kali meraih hasil-hasil pertandingan dramatis, dengan skor yang mencengangkan.

“Tapi saya suka melakukan hal yang spektakuler. Ketika saya berada di ruangan bersama orang-orang, saya mencoba atmosfir tidak lebih buruk ketika saya di sana. Ketika saya terlibat dalam pertandingan, saya mencoba untuk membantu memastikan laga lebih bisa dinikmati ketimbang saya tak terlibat di dalamnya,” ujar Klopp dalam wawancara pada 2016 silam.

Lucunya, Klopp sendiri tak tahu mengapa ia mengucapkan heavy metal sebagai trademark-nya, sebagai pembeda sepakbola yang diterapkannya. Ia beralasan kalau istilah tersebut hanya menjadi pembeda saja dengan sepakbola yang lain. Yang ia mainkan adalah prinsip yang sangat-sangat dasar. Bagaimana sebuah tim harus dapat menekan lawan seketat mungkin hingga tak bisa menguasai bola, kemudian disempurnakan melalui transisi serangan atau bertahan yang juga sama cepatnya.

Begitupun Black Sabbath, grup yang juga tak tahu mengapa “dibaptis” sebagai penemu genre heavy metal. Sang gitaris yang juga dikenal sebagai godfather of heavy metal, Tony Iommi dalam wawancara bersama jurnalis Chris Phipps mengatakan, “Kami (awalnya) tidak akan pernah mengakui sebagai heavy metal, kami selalu menjadi heavy rock. Dan pada akhirnya, kami menyerah. Karena, Anda tahu, semua orang menyebutnya heavy metal. Jadi okelah, kita ini heavy metal.”

Kegagalan Black Sabbath untuk terlahir kembali dengan tur dan album Born Again-nya dibayar lunas oleh Juergen Klopp. Dan kota Madrid, adalah kota yang selalu istimewa bagi genre heavy metal.

Heavy Metal akan terus bersemayam di hati penggemarnya. Lebih dari itu, ia “terlahir kembali”dalam wujud lain, berkat pria bernama Juergen Norbert Klopp.