Setidaknya, ada dua nama yang ditunjuk media dan massa perihal kegagalan tim nasional Argentina pada Piala Dunia 2018 kali ini. Petama, tentu saja Jorge Sampaoli sang pelatih dan kedua bintang mereka, Lionel Messi. Alasanna jelas, keduanya punya segudang prestasi, namun kedunya juga ternyata tak mampu berikan solusi untuk tim nasionalnya sendiri.
Banyaknya tulisan analisis taktik dan juga analisis kondisi tim perihal kegagalan Argentina kemarin, membuat saya teringat dengan berbagai komentar yang diluncurkan oleh sang pelatih berkepala plontos tersebut. Mari kita tarik mundur menuju tahun lalu (2017) dimana semuanya bermula.
April 2017. Sampaoli yang masih menangani Sevilla, bersua Barcelona yang diperkuat oleh Messi. Pasca laga, sebagai sesama Argentino, ia tak segan memuji kehebatan Messi. Hal yang lumrah memang, namun di saat yang sama Sampaoli juga berharap suatu hari nanti bisa melatih Messi. Ia berkelakar, mungkin Messi akan ia latih saat menangani Newells di penghujung kariernya.
Juni 2017. Tak lama dari April lalu saat ia berharap melatih Lionel Messi, akhirnya harapan tersebut menjadi nyata. Sampaoli dipilih Federasi Sepakbola Argentina (AFA) untuk melatih Lionel Messi dkk., dengan tujuan lolos dari kualifikasi hingga pagelaran Piala Dunia. Saat itu ia berujar, “Saya perlu bertemu Messi. Kita ingin pemain terbaik dunia merasa senang saat di tim nasional. Hal yang penting kali ini adalah Messi memiliki pemain yang sesuai. Saya telah berbicara padanya dan ia cukup antusias.”
Oktober 2017. Argentina yang terseok-seok di kualifikasi, akhirnya kini harus menjalani pertandingan wajib menang melawan Ekuador. Sebelum laga, Sampaoli lagi-lagi memuji Messi. “Dalam tiga laga sebelumnya, saya telah memimpin Messi yang tampil luar biasa, berkomitmen dan melakukan pressing. Jika kita semua berada di level Messi, laga esok akan berjalan sempurna.”
Hasilnya? Argentina lolos dari lubang jarum dan Messi sukses cetak hattrick setelah tertinggal 0-1 di menit-menit awal laga tersbut. Pasca laga, Sampaoli berkata “Sepakbola berutang trofi Piala Dunia kepada Messi, dan Messi sendiri tak berutang trofi tersebut kepada Argentina. Kita semua harus membantu Messi untuk meraih trofi ini dan saya sangat antusias berada dalam satu skuat bersamanya.”
Maret 2018. Salah satu kutipan buku yang ditulis oleh Sampaoli beredar luas di media. Ia menyebutkan bahwa “Messi seperti ditaruh pistol revolver di kepalanya yang disebut sebagai trofi Piala Dunia, jika ia tak memenangkannya, ia akan tertembak dan terbunuh. Hasilnya, ia tak bisa menikmati talentanya bersama tim nasional.”
“Anda harus mencari pemain terbaik untuk timnas dan menempatkannya di posisi terbaiknya. Leo seharusnya bermain seperti yang ia lakukan di klubnya, jika menaruh Leo di struktur yang lain, itu adalah hal yang gila.”
Masih di bulan Maret 2018. Sampaoli sekali lagi membuat Messi sebagai pengecualian, susuatu yang tak tersentuh. “Itu sangat tidak mungkin untuk mengjarkan sesuatu kepada Messi. Levelnya tidak bisa dicapai. Anda hanya perlu memahami Messi, bukan untuk mengajarinya.”
Bulan Juni 2018, pasca partai hidup mati melawan Nigeria. Lionel Messi akhirnya mencetak gol di Piala Dunia 2018 dan Marcos Rojo memastikan kelolosan Argentina di babak fase grup kemarin. Sekali lagi, pelatih plontos ini, seperti berlindung dibalik nama Messi. “Ketika Leo datang dan memeluk saya pasca pertandingan, itu membuat saya bangga dan bahagia, karena ia tahu bahwa saya sagat bersemangat tiap harinya.”
“Tiap-tiap pelatih yang melatih Messi, telah mengetahui bahwa tiap orang yang ada di sekelilingnya perlu untuk membuat Leo merasa nyaman, jika kita mampu membuat banyak umpan kepadanya, kita akan banyak membuat peluang. Sebaliknya, jika gagal maka kita akan menderita.”
“Kita memiliki pemain terbaik di dunia dan pemain lain perlu mengambil keuntungan dari hal tersebut. Itu mengapa saya bilang bahwa kekalahan melawan Kroasia adalah masalah kita, bukan masalahnya (Messi) sendiri.”
Juni 2018, jelang laga babak 16 besar melawan Prancis. Entah sudah berapa kali, termasuk statemen yang ini, Sampaoli kembali meninggikan Messi dan terkesan sudah menyiapkan alasan jika kalah di laga selanjutnya. “Terkadang, sangat sulit untuk menyamakan level dengan Leo, ia benar-benar cahaya yang terang untuk kita semua. Kita harus bermain dengan selalu mengingat kapasitasnya (Leo) dan bermain sedekat mungkin dengan levelnya. Beberapa pemain bisa terbiasa dengat cepat karena pengalaman, namun bagi yang lain ada juga yang membutuhkan banyak waktu untuk itu.”
Juli 2018, mimpi Argentina terhenti oleh Prancis dengan skor 3-4 saat itu. Sampaoli, dan tentu saja Messi menerima banyak kritikan berkat kegagalan ini. Namun sekali lagi, Sampaoli seperti berlindung dan berdalih dengan menggunakan nama Messi.
“Kita mempunyai pemain terbaik di dunia dan kita sudah mencoba situasi yang kolektif di lapangan untuk memanfaatkan pemain yang bisa membuat momen yang brilian (Messi). Kita juga mencoba beberapa taktik, dengan mengelilinginya, membuat ruang baginya… kita mencoba untuk menggunakan segalanya agar ia (Messi) mampu berbuat banyak di lapangan. Namun itu kadang berjalan, kadang juga tidak.”
Serangkaian kutipian-kutipan Sampaoli tersebut, seperti yang sudah disinggung beberapa kali, bahwa ia terkesan sudah menyiapkan dalih jika sewaktu-waktu diserang media massa dan para penggemar Argentina. Satu hal yang disayangkan, padahal seharusnya ia mencontoh bagaimana pelatih Portugal (Fernando Santos) menangani Cristiano Ronaldo dkk., di tim nasional Portugal pada Piala Eropa 2016 lalu. Terlepas dari hoki atau tidak, satu yang pasti, saat itu CR7 dkk., mampu merajai Eropa padahal tidak diunggulkan sama sekali.
Memuji pemain terbaiknya, adalah hal yang wajar bagi pelatih manapun. Semua yang pernah melatih Messi, baik di Barca maupun di timnas misalnya, pasti pernah melakukan hal tersebut. Namun, prasangka buruk saya pribadi mengenai komentar-komentar Sampaoli terhadap Messi ini membuat saya berpikir ulang, jangan-jangan Sampaoli adalah pria pecundang yang sudah bersiap ‘cuci tangan’ atas kegagalannya kelak.
Pada akhirnya, sepakbola adalah permainan teknis di lapangan, bukan permainan kata-kata belaka. Prasangka buruk saya, tentu saja tak benar. Anda pun boleh berpendapat bahwa teori saya terlalu bias dan lebih memojokkan Sampaoli dan membuat pledoi untuk Messi. Namun satu hal yang harus kita pahami semuanya dari kegagalan Argentina (dan banyak tim besar lainnya) di Piala Dunia kali ini adalah; olahraga ini adalah tuntutan kolektivitas tim, bukan hanya mengandalkan kehebatan satu orang semata.