Terima Kasihku untuk Tabloid BOLA, dalam Bentuk yang Lain

Foto: Twitter.com/tabloidbola

Seluruh elemen pecinta olahraga Indonesia sedang berduka. Tabloid Bola, tabloid olahraga legendaris Indonesia akan tutup usia setelah berkibar sekira 34 tahun lamanya di dunia media Indonesia.

Kepergian Tabloid BOLA ini, seharusnya, memang dirayakan dengan kesedihan. Bagi anak-anak 1990an, tabloid ini bagaikan “nabi” olahraga. Dia bak pemberi wahyu yang turun dari kolong langit, membawa berita dan pembahasan menarik seputar olahraga, baik itu olahraga Indonesia maupun olahraga internasional. Terkhusus, sepakbola tentunya.

Seturut dengan pamitnya Tabloid BOLA dari dunia jurnalisme Indonesia, berbagai ucapan terima kasih mengalir dari berbagai pihak di media sosial. Mereka ramai-ramai mengungkapkan kesedihan, sekaligus kembali memutar mesin waktu, mengingat masa kecil ketika mereka pertama kali berkelindan dengan Tabloid BOLA.

Membaca ucapan itu satu per satu, saya sama sekali tidak tersentuh. Mengapa? Kalau boleh jujur, saya sama sekali tidak mengenal Tabloid BOLA semasa kecil. Ketika kecil, olahraga, termasuk sepakbola, dikenalkan kepada saya melalui praktik langsung di lapangan. Berita-berita olahraga justru tak saya baca dari tabloid seperti BOLA maupun Soccer, melainkan koran-koran lokal macam Tribun Jabar maupun Galamedia.

Kalau boleh jujur, memang saya tak seperti orang lain. Saya sama sekali tidak berkelindan dengan Tabloid BOLA. Saya bukanlah bocah yang rela tidak jajan batagor ataupun jajanan di depan sekolah, mengumpulkan uang tersebut, hanya demi membeli seeksemplar Tabloid BOLA dan menjadi jagoan pengetahuan olahraga di kelas dalam satu hari, atau satu pekan. Tidak, saya tidak seperti itu.

Kelindan saya dengan Tabloid BOLA justru terjadi ketika saya sudah bekerja di Jakarta, sekira tahun 2018. Di situ, saya tidak bersinggungan dengan Tabloid BOLA, melainkan dengan para jurnalisnya yang bertugas di lapangan: Yakub Pryatama, Alvino Hanafi, Ilyas Mujib, dan Galih Persiana.

Dan bagi mereka, saya ucapkan terima kasih. Dari mereka, saya belajar bagaimana jurnalisme olahraga yang baik, asyik, sekaligus menarik.

***

Pertemuan saya dengan Yakub dimulai pada awal 2018, saat kami sama-sama meliput test event Asian Games 2018. Kami yang sama-sama berasal dari Bandung langsung jadi akrab, dan saya juga harus berterima kasih kepada Egi Adyatama, sosok yang mempertemukan kami.

Meski tidak rutin, saya pernah berdiskusi langsung dengan Yakub menyoal jurnalisme olahraga. Dari Yakub, saya tahu bagaimana caranya mencari angle menarik. Sebagai jurnalis tabloid, Yakub memberitahu saya bahwa sebelum menulis, ada baiknya kita memikirkan dulu apa yang akan kita tulis, dan apakah berita yang akan kita tulis kelak sama dengan berita media lain pada umumnya, terutama media daring.

Lalu, ada nama Alvino Hanafi. Sebelumnya saya hanya mendengar nama dia dari teman saya satu kantor, Okky Ardiansyah dan Anju Christian. Dia adalah jurnalis yang khusus mengurus sepakbola nasional (bersama Ilyas Mujib yang akan saya ceritakan kemudian). Awalnya kami tidak kenal, tapi, akibat bersinggungan di ajang Asian Para Games 2018, kami jadi saling kenal satu sama lain.

Bahkan, di malam sebelum Tabloid BOLA undur diri, Vino sempat menginap di kosan saya. Dia bercerita panjang lebar soal pengalaman jurnalistik yang sudah dia jalani semasa menjalani pekerjaan sebagai jurnalis Tabloid BOLA. Dia merasa beruntung karena, dengan format tabloid yang tidak menekankan pada kecepatan, dia bisa mengenal beberapa narasumber secara lebih mendalam.

Lalu, ada nama Ilyas Mujib. Saya juga dulu hanya sekelebat saja mendengar namanya dari Okky. Ajang Asian Para Games 2018, sama halnya seperti Vino, mempertemukan saya dengan sosok asal Cimahi tersebut. Dari Ilyas, saya belajar pentingnya riset sebelum menulis sebuah berita atau melakukan sesi wawancara, sehingga berita yang dihasilkan akan lebih mendalam, terlebih jika akan menulis konten feature.

Ilyas, sama seperti Vino dan juga Yakub, tak segan menceritakan pengalamannya selama menjadi jurnalis Tabloid BOLA. Banyak berkutat meliput Persija menjadikannya paham betul akan Persija. Tapi dia juga masih menyimpan kedekatan dengan Persib (sama seperti saya) tim asal kota kelahirannya. Mendengarkan ceritanya soal Persija cukup menarik, apalagi dibahas dengan sudut pandang seorang jurnalis tabloid.

Terakhir, ada nama Galih Persiana. Jurnalis Tabloid BOLA asal Ujung Berung, Bandung, ini adalah sosok yang menarik di mata saya. Penampilan eksentrik, dengan rambut yang gondrong, membuat sosoknya begitu mudah dikenali oleh sekitarnya. Saya menyaksikan bagaimana Galih begitu “guyub”, terutama dengan para stakeholder olahraga angkat besi, dalam ajang Asian Games 2018.

Namun, yang salah satu memori apik saya bersama pria satu anak ini terjadi ketika saya menonton cabang olahraga angkat besi bersamanya pada ajang Asian Games 2018 silam. Ketika itu, dia membawakan saya satu catatan, berisikan total angkatan Eko Yuli, lifter andalan Indonesia, sebelum ajang Asian Games 2018. Dia meminta saya untuk mengambil taksiran dari data tersebut, untuk mengukur seberapa kuat beban yang bisa Eko angkat di Asian Games 2018.

Lewatnya, saya jadi paham bahwa olahraga angkat besi sangatlah menarik. Dia juga yang membuat mata saya terbuka bahwa di luar sepakbola nasional, angkat besi juga bisa menjadi olahraga yang menarik. Lalu, sama juga seperti Ilyas, dia mengajarkan saya soal riset tulisan. Hal yang sempat saya pelajari di masa lampau dan sedikit saya lupakan saat saya bekerja di Jakarta.

Ah, Yakub, Vino, Ilyas, dan Galih, akan ke mana mereka sekarang ya?

***

Mungkin, di luaran sana, ada banyak sosok jurnalis Tabloid BOLA yang lebih apik dari mereka. Ada nama-nama macam Firzie Idris maupun Wesley Hutagalung yang lebih apik dari keempat nama yang saya sebut di atas. Tapi, toh, saya tak kenal mereka. Saya lebih kenal keempat orang tersebut.

Dan, jika orang berterima kasih kepada Tabloid BOLA atas sebuah kenangan masa kecil yang indah, saya justru ingin berterima kasih kepada Yakub, Ilyas, Vino, dan Galih. Dari mereka, saya belajar tentang jurnalisme yang asyik, tapi tetap mendalam dan komprehensif. Mereka juga yang membukakan mata saya bahwa jurnalisme tak hanya soal kecepatan semata.

Mengingat hal tersebut, maka, dari lubuk hati kecil saya yang paling dalam, saya ingin berterima kasih kepada kalian. Terima kasih atas pelajaran yang menyenangkan, dan semoga setelah Tabloid BOLA tutup, kalian tetap bisa berkibar dan tak hilang ditelan zaman.

Sukses untuk kalian, Vino, Ilyas, Yakub, dan Galih, jurnalis Tabloid BOLA yang asyik!