Sejak pertama kali memerhatikan mereka pada musim 2016/2017, secara pribadi saya sudah tertarik. Mereka sedikit berbeda dengan klub lain. Ya, merekalah Atalanta.
Pertama kali saya berkenalan dengan Atalanta ya itu, pada musim 2016/2017. Ketika itu, tepatnya September 2018, Atalanta sedang berada di ujung tanduk. Empat kekalahan dari lima laga awal Serie A membuat mereka berada di posisi bawah. Hal itu juga membuat posisi Gian Piero Gasperini, pelatih Atalanta ketika itu, rawan.
Namun, alih-alih dipecat (mungkin jika Atalanta dipimpin Maurizio Zamparini ia sudah jadi pengangguran kala itu), Atalanta justru bangkit. Usai kekalahan di pekan 5, mereka tak tersentuh kekalahan dari pekan 6 sampai 14. Mereka baru bertemu kekalahan lagi di pekan 15, saat bertandang ke markas Juventus.
Pada musim 2016/2017, Atalanta pun sukses mengakhiri Serie A di posisi apik: peringkat empat. Mereka mengangkangi AC Milan, Lazio, dan Inter Milan dengan raihan 21 kemenangan, 9 hasil imbang, dan 8 kali kalah. Atalanta yang biasanya berada di papan bawah, mendadak berada di jajaran elit Serie A.
Lebih apiknya lagi, ternyata hal ini bukanlah one hit wonder belaka. Sampai saat ini, Gasperini sukses menjaga performa Atalanta. Ia menjadikan Atalanta jadi tim yang menyenangkan untuk ditonton.
Atalanta, Kesebelasan yang Menyenangkan
Muhammad Butt, dalam tulisannya di laman Squawka menyebut bahwa Atalanta, bersama Sampdoria, Lille, Ajax, Eintracht Frankfurt, Getafe, dan Benfica, sebagai tim hipster yang patut ditonton. Sekadar informasi, pada musim 2018/2019 ini, Atalanta berada di posisi enam klasemen Serie A.
Meski berada di posisi enam, mereka hanya berjarak 3 poin dari Milan yang berada di posisi empat. Ini berarti, Atalanta punya peluang untuk mentas di Liga Champions. Sesuatu yang mungkin, seperti yang disebut Gasperini sendiri, adalah mimpi yang masih jauh.
Tidak salah jika Butt menyebut Atalanta sebagai tim hipster yang patut ditonton. Menilik permainan Atalanta sejak 2016/2017 silam, mereka memang layak mendapatkan julukan demikian. Mereka menampilkan permainan yang atraktif, dan ini, mesti diakui, adalah buah karya dari seorang Gasperini.
Sebagai pelatih, Gasperini sangat senang dengan formasi dasar 3-1-4-2 atau 3-4-2-1. Skema ini, jika diolah dengan tepat, tidak sekadar jadi skema defensif saja. Ia bisa jadi skema ofensif nan menghibur, seperti yang kerap dilakukan Marcelo Bielsa. Inilah yang juga dilakukan Gasperini.
Meski begitu, menanamkan kesadaran akan skema tiga bek ini tidaklah mudah. Gasperini tahu betul itu. Ia dipecat Inter karena terlalu memaksakan skema tiga bek ini. Empat kekalahan di lima laga awal Serie A 2016/2017 juga adalah buah ketidakpahaman pemainnya akan skema tiga bek Atalanta.
Apalagi, ketika Atalanta berada di bawah asuhannya, nama-nama dari akademi macam Roberto Gagliardini, Andrea Conti, Mattia Caldara, dan Leonardo Spinazzola, ia beri kepercayaan. Sempat ada keraguan, apakah Atalanta akan kembali jadi penghuni papan tengah lagi? Sang presiden, Antonio Percassi, ragu akan hal tersebut.
“Hey, dengarkan. Saya percaya pada Gasperini. Ia adalah pelatih kita, pelatih terbaik, dan ia tak tersentuh. Jadi, apa yang akan kalian lakukan?” ucap Percassi, dilansir The Guardian, memberikan dukungan pada Gasperini usai Atalanta dikalahkan Palermo 0-1 di laga pekan 5 Serie A 2016/2017. Kepercayaan yang berbuah hasil apik bagi Atalanta.
Atalanta jadi tim yang memang menghibur. Aliran bola mereka begitu hidup. Lini tengah, para inside forward, dan juga penyerang depan, saling berkolaborasi menekan pertahanan lawan. Tiga bek di belakang, plus satu atau dua gelandang bertahan, menjadi penahan serangan lawan, sekaligus penekan dari belakang. Dua “wing-back” jadi penekan sekaligus pelindung sisi sayap.
Gasperini sukses menggerakkan Atalanta sebagai satu unit. Ditopang dengan para pemain akademi berkemampuan mumpuni, memasuki musim ketiganya bersama Atalanta, Gasperini sukses mengangkat derajat Atalanta. Beberapa pemain asuhannya, macam Gagliardini, Conti, Caldara, dan Spinazzola, juga Franck Kessie, sukses berkiprah di tim besar.
Memasuki musim 2018/19 ini, gaya dari Atalanta ini tetap terjaga. Meski para pemain akademi sudah tidak lagi ada di sana, Gasperini sukses mendapatkan sosok-sosok apik macam Duvan Zapata, Josip Ilicic, Hans Hateboer, serta Gianluca Mancini. Khusus untuk Zapata, ia sukses jadi pencetak gol terbanyak klub dengan torehan 20 gol.
Lalu, jangan lupakan pula sosok Alejandro “Papu” Gomez. Sosok berusia 31 tahun ini semakin mekar di bawah asuhan Gasperini. Berperan sebagai pengalir bola di area sepertiga akhir lawan, Gomez sukses menorehkan 9 asis di Serie A 2018/19, tertinggi di antara para pemain Atalanta dan juga Serie A yang lain. Ia juga yang sukses menyokong Zapata.
Performa apik inilah yang membuat Atalanta menjadi pesaing posisi Liga Champions 2019/2020 silam, bersama AS Roma dan Milan. Meski begitu, seperti apa yang dibilang Gasperini, mungkin masih terlalu jauh bagi Atalanta untuk itu, meski memang bermimpi adalah hal yang wajar.
***
Atalanta sukses mengangkat diri mereka. Sukses melahirkan pemain berbakat dari akademi, sekarang mereka juga berhasil menyulap diri jadi tim dengan permainan menghibur. Malah, mereka hanya berselisih tiga angka dari tempat yang mulanya jauh di mimpi mereka: Liga Champions.
Intinya, Atalanta sudah mampu menjadi harapan banyak orang: tim medioker yang mengejutkan. Ia tetap menyenangkan, terlepas dari siapa-siapa yang sudah datang dan pergi di klub mereka. Mereka menjadi cermin dari bagaimana pemain akademi dimanfaatkan, dan bagaimana caranya memberikan kepercayaan kepada pelatih.
Sekarang, harapan saya adalah, semoga Atalanta tetap menghibur. Terlepas kelak mereka jadi juara Serie A, Coppa Italia, Liga Europa, atau Liga Champions sekalipun, saya harap Atalanta tetap jadi tim menyenangkan, tanpa embel-embel uang besar dan pemain bintang yang biasanya semau mereka sendiri.