Tidak Ada Pribumi di Sepakbola Prancis

Pada awal 1998, isu nasionalisme di Prancis membumbung tinggi. Inisiatornya adalah pemimpin Partai Front Nasional, Jean-Marie Le Pen. Ia menyerang timnas Prancis dan menganggapnya bukan sebagai cerminan Prancis itu sendiri.

“Mereka adalah skuat buatan!” kata Le Pen merujuk pada banyaknya pemain kulit hitam dan keturunan Arab.

1998 menjadi salah satu momentum buat Partai Front Nasional untuk merajut kejayaan. Mereka mengejar pemilihan presiden pada 2002 dengan Le Pen sebagai calon utama.

Di saat yang sama, Prancis menjadi tuan rumah Piala Dunia, di mana semua mata tertuju pada mereka. Sebagai negara yang kuat di dunia persepakbolaan, target Prancis tentu bukan sekadar meramaikan, tapi juga meraup semua kemenangan di tiap pertandingan. Momentum 1998 tentu tak boleh lepas dari genggaman. Apalagi, Partai Front Nasional benar-benar merajutnya dari nol.

Partai Minoritas

Dibentuk pada 1972, Partai Front Nasional adalah partai minoritas. Pada pemilihan legislatif pada 1973, mereka hanya mencatatkan 0,5 persen suara. Ini menjadi wajar karena isu yang mereka bawa kelewat tabu untuk dibicarakan, apalagi membawa-bawa imigran.

Prancis adalah negara pen(jela)jajah. Wajar kalau masyarakat di negara koloninya bermigrasi ke Prancis. Berdasarkan data Eurostat pada 2010, jumlah imigran di Prancis berkisar 7 juta jiwa atau 11 persen dari total jumlah penduduk. Negara penyumbang imigran terbanyak adalah Aljazair dan Maroko, yang secara geografis hanya terpisah 1300 kilometer dari daratan Prancis.

Isu imigran memang sensitif. Sebagai negara pencetus demokrasi, tentu ironis kalau Prancis memiliki tempat untuk pemikiran semacam itu. Lagi pula, mayoritas imigran ini datang dari negara koloni Prancis itu sendiri. Sehingga cukup aneh kalau negara induknya tidak mau bertanggung jawab.

Di sisi lain, sejak awal Le Pen sudah menuduh kalau imigran adalah kunci kebobrokan ekonomi Prancis. Hal ini, memberikannya banyak dukungan dari masyarakat yang merasa diri mereka pribumi, yang tak punya alasan lain untuk menyalahkan mengapa ekonomi Prancis mereka tak kunjung membaik. Maka, menyalahkan imigran adalah solusi yang mereka ambil, karena tak tahu harus menyalahkan siapa.

Gagal Total

Di Piala Dunia 1998, Aime Jacquet membawa 23 pemain. Sebanyak 16 di antaranya bukanlah pemain non-kulit putih. Atas hal ini, Le Pen pun langsung menyerang Jacquet dan menganggap kalau proporsi pemain non-kulit putih di skuat timnas terlalu berlebihan. Le Pen juga menyebut kalau para imigran ini bahkan tak bisa menyanyikan lagu kebangsaan Prancis, La Marseillaise.

Saat Prancis memenangi Piala Dunia 1998, Le Pen seperti lenyap dari muka bumi. Dua gol Zinedine Zidane, yang seorang Muslim, Arab, dan lahir dari orang tua yang imigran, menjaga nama baik Prancis dengan memberi mereka gelar Piala Dunia untuk pertama kalinya.

Prestasi Prancis pun ditambah dengan gelar Piala Eropa dua tahun kemudian yang menegaskan bahwa keberagaman bukanlah ancaman. Keberagaman apabila dikelola dengan tepat, justru akan memberi mereka kekuatan.

Namun, keberhasilan Prancis di dua ajang sepakbola internasional tersebut, seperti kurang bermakna buat sedikit masyarakat di Prancis. Jelang pemilihan presiden pada 2002, Le Pen justru berhasil melaju ke putaran kedua setelah unggul atas wakil dari Partai Sosialis, Lionel Jospin. Hal ini pun membuat sejumlah pemain, seperti Marcel Desailly terkejut.

“Seperti mayoritas warga Prancis, aku terkejut. Aku harap masyarakat Prancis bisa menggunakan akal sehat dan tidak memilihnya,” kata kapten timnas keturunan Ghana tersebut.

Berdasarkan laporan CNN pada 2002, permasalah terkait SARA di Prancis terasa begitu akut, terutama karena ekonomi yang sulit, peningkatan pengangguran, serta tak sepadannya permukiman dengan jumlah populasi.

“Ada banyak ketidakpuasan dan orang-orang hidup dalam penderitaan. Di sisi lain, Le Pen berhasil mengeksploitasi segala pikiran jahat di masyarakat,” kata Bernard Lama, kiper cadangan Prancis di Piala Dunia 1998. “Nilai-nilai yang kami dirikan pada 1998 dihancurkan begitu saja.”

Menantikan Kebangkitan Era Kebodohan

Le Pen memang gagal di Pemilihan Presiden 2002 dengan kalah telah dan hanya mendapatkan 18 persen suara. Le Pen juga lagi-lagi gagal di pemilihan tahun 2007 yang menjadi tahun terakhirnya mencalonkan diri sebagai presiden.

Namun, mulutnya tak berhenti menyebarkan aura negatif yang membuat jengah banyak orang, termasuk anggota timnas Prancis di Piala Dunia 2006, Lillian Thuram.

“Apa yang bisa aku katakan tentang Monsieur Le Pen? Yang jelas, dia tak sadar kalau ada masyarakat Prancis yang hitam, yang putih, dan yang coklat. Aku pikir, itu merekfleksikan betapa buruknya seseorang yang ingin jadi presiden Prancis, tapi tak tahu sedikitpun soal sejarah atau masyarakat Prancis itu sendiri,” jelas Thuram.

“Ini sangat serius. Dia adalah tipe orang yang biasa menyalakan televisi dan menyaksikan tim basket Amerika Serikat sembari bertanya-tanya: ‘Tunggu, ada orang hitam bermain untuk Amerika? Apa yang terjadi?”

Era Jean Marie Le Pen memang sudah berakhir. Namun, masih ada bencana yang menimpa masyarakat Prancis: Marine Le Pen!

Putri bungsu Jean-Marie Le Pen tersebut melanjutkan warisan ayahnya dengan diangkat sebagai pemimpin Partai Front Nasional pada 2011 silam. Dengan mengumpulkan sumber daya yang ada, dia dua kali mengikuti pemilihan presiden pada 2012 dan 2017. Untungnya, dua-duanya berakhir dengan kegagalan.

Namun, bukan kegagalan itu yang menjadi soal, melainkan meningkatnya dukungan masyarakat Prancis untuk partai sayap kanan. Di 2012, Marine hanya mendapatkan 17,20 persen di bawah Francois Hollande dan Nicolas Sarkozy. Pada 2017, Marine berhasil melaju hingga putaran kedua dengan mengumpulkan 21,3 persen di putaran pertama, tapi kalah di putaran kedua dengan 33,9 persen.

Peningkatan dukungan ini juga menghadirkan prediksi bahwa dengan semakin banyaknya persoalan terkait imigran dan kian sulitnya ekonomi, akan membuat cita-cita Jean Marie Le Pen terlaksana. Saat Marine Le Pen menjadi presiden di kemudian hari, ia bukan hanya mengubah wajah Prancis sebagai negara yang bebas dan berdemokrasi, tapi juga mengubah wajah sepakbola Prancis secara keseluruhan.

 

Dampaknya pada Sepakbola

Beberapa waktu lalu, ada meme tentang Antoinne Griezmann yang menjadi satu-satunya pemain berkulit putih dalam starting line-up timnas Prancis. Selain karena memang merupakan kebutuhan tim pelatih, tapi starting line-up ini juga menunjukkan bahwa untuk di sepakbola, kulit putih bukanlah pribumi.

Berdasarkan CNN, sepakbola menjadi model positif buat persatuan rasial di masyarakat Prancis. Hal ini sudah dilakukan Prancis di Piala Dunia 1958 di mana skuat mereka dihuni Raymond Kopa, anak dari imigran Polandia, dan Just Fontaine, imigran yang lahir di Maroko.

“Bahkan, Michel Platini, pemain terhebat Prancis, berasal dari keluarga Italia,” tulis CNN.

Prancis pun menjadi destinasi para pesepakbola muda dari Afrika untuk merintis karier sepakbolanya. Maka, jangan heran kalau Liga Prancis terlihat begitu berwarna dan tidak didominasi oleh pesepakbola kulit putih.

Maka, menjadi satu hal yang mengherankan kalau masih ada orang yang menginginkan skuat timnas Prancis dihuni oleh “pribumi”. Pasalnya, kata “pribumi” saja sudah bias maknanya. Siapa sih pribumi itu? Ras Arya? Bangsa Viking? atau Pithechantropus Erectus?

Maka, untuk urusan membela tanah air, pernyataan Lillian Thuram ini sangat menarik untuk dicermati dan diresapi:

“Saat kami ada di lapangan, kami melakukannya seperti halnya orang Prancis. Semuanya. Saat orang-orang merayakan kemenangan kami, mereka merayakan kami sebagai seorang Prancis, bukan sebagai kulit hitam atau kulit putih. Bukan masalah apakah Anda berkulit hitam atau tidak, karena kami adalah masyarakat Prancis. Aku hanya ingin bilang satu hal ke Jean Marie Le Pen. Tim Prancis ini sangat-sangat bangga menjadi seorang Prancis. Kalau dia punya masalah dengan kami, itu terserah tapi kami bangga mewakili negara ini.”

Catatan: Ganti kata “Kulit putih” dengan “Pribumi”, dan “Kulit hitam” dengan “Non Pribumi”. Ganti pula “Prancis” menjadi nama negara atau kota yang Anda senangi dan “Jean Marie Le Pen” dengan nama politis.