Tiket Mahal, Sepakbola untuk Siapa?

Selain soal kericuhan suporter, pertandingan Indonesia melawan Malaysia juga menyisakan kekesalan. Alasannya? Karena harga tiket ya terasa kemahalan. Bagaimana tidak? Harga tiket termurah dibanderol 125 ribu, sementara termahal mencapai 1 juta rupiah! Di sisi lain, beberapa hari jelang pertandingan, tiket termurah sudah ludes terjual.

Tingginya harga tiket ini menghadirkan pertanyaan besar. Memangnya, siapa sih khalayak yang dituju oleh PSSI untuk bisa menyaksikan pertandingan timnas? Orang-orang kaya? Agaknya mereka juga akan pikir-pikir lagi kalau harus keluarkan 1 juta rupiah hanya untuk menyaksikan pertandingan berdurasi 90 menit. Belum lagi ancaman kerusuhan atau terkena dampak gesekan suporter, seperti kena mercon nyasar, misalnya.

Soal harga tiket mahal juga dikeluhkan para penggemar sepakbola di Inggris. Mereka merasa klub kelewat condong pada aspek finansial, meskipun jelas itu tak bisa disalahkan juga, karena dari sanalah klub bisa bertahan hidup.

Selain di Inggris, para penggemar sepakbola di Amerika Selatan juga mengeluhkan hal yang sama. Mereka merasa gelaran Copa America 2019 yang harusnya menjadi ritus empat tahunan Amerika Selatan, tercoreng karena tiket mahal.

Penyelenggara yang Serakah 

Di Copa America 2019, jumlah penonton yang hadir di fase grup terbilang mengkhawatirkan. Di pertandingan pembuka di Morumbi Stadium, Sao Paulo, penonton yang hadir hanya berkisar 46 ribu, atau sekitar 70 persen dari kapasitas total stadion. Sementara di pertandingan kedua, suporter yang hadir di Arena do Gremio hanya berkisar 11 ribu orang.

Hal ini disadari oleh bek Brasil, Thiago Silva, yang memberikan rasa empatinya. “Seringkali harga tiket mestinya lebih rendah. Harga yang dipatok amat mahal buat masyarakat kami. Pertama-tama, bagi kami untuk menciptakan tontonan yang lebih besar, aku pikir kami harus lebih masuk akal,” tutur Silva.

Jurnalis Brasil, Mauro Cezar, setuju soal akal sehat yang harusnya dipergunakan oleh penyelenggara kompetisi. Menurutnya, terdapat kurangnya akal sehat dari direktur Federasi Sepakbola Amerika Selatan, saat bicara realitas ekonomi.

“Kalau anda mengukur dengan Piala Dunia Perempuan melawan rata-rata gaji warga Prancis, harga tiketnya sama sekali tak proposional. Tapi harga tiket buat Copa justru lebih tinggi. Dan ingat, kita sedang bicara tentang Piala Dunia di sini sebagai perbandingan,” tutur Cezar.

Di pertandingan kedua antara Peru vs Venezuela, harga tiket rata-rata dibanderol 44,3 paun atau 764 ribu rupiah. Kolumnis Lance, Valdomiro Neto, menyatakan kalau penyelenggara Copa America menunjukkan kalau akal sehat mereka buruk dan keserakahan yang berlebihan.

“Di negara dengan masalah sosioekonomi yang serius, amat mungkin kalau harga yang cocok akan mengisi lebih banyak raung dan membuat kompetisi ini bersaing dengan pertunjukkan hiburan lain,” kata Neto.

Sebagai perbandingan, harga tiket untuk pertandingan pembuka Copa America dibanderol 485 real Brasil atau setara 100 paun. Di sisi lain, upah minimum di Brasil berkisar 1000 real Brasil atau 205 paun. Artinya, buat sejumlah penggemar, menonton pertandingan pembuka berarti memotong setengah gaji mereka dalam sebulan.

Masalah Lain yang Tak Terlihat

Permasalahan lainnya adalah sejumlah pemain yang membela timnas Brasil umumnya tidak begitu lama main di Brasileiro Serie A. Ini membuat sejumlah suporter menjadi asing mendengar nama-nama yang bermain di timnas. Selain itu, sejumlah pertandingan persahabatan Brasil juga digelar di benua lain, sehingga fans Brasil tak melihat secara langsung perkembangan timnasnya.

Hal ini dikemukakan oleh pemimpin Gavioes da Fiel, Jose Claudio Moraes, yang merupakan kelompok suporter Corinthians. Moraes mengatakan kalau dengan tak bermain di Brasil, identifikasi dengan para pemain pun menjadi sulit.

“Aku belum pernah menyaksikan pertandingan Brasil untuk waktu yang lama. Sebelumnya ada ikatan dengan suporter Corinthians seperti Rivellino, Socrates, dan pemain lain yang mewakili kami di timnas dan kami pergi menyaksikan pertandingan. Kini, koneksinya mulai hilang dan Brasil bukan lagi tim orang-orang.”

“Aku lebih mengidentifikasi diri sebagai Corinthiano. Aku bergairah, tapi aku juga terbaiasa untuk mendukung timnas sampai beberapa tahun ke belakang. Sampai 2006, Anda melihat Ronaldinho, Romario, Ronaldo, Kaka, dan yang lainnya. Kini aku bahkan tak tahu siapa saja yang ada di dalam skuat. Aku orang Brasil, tapi kini aku tak akan mendukung mereka di stadion,” tutur Moraes.

Cezar menambahkan: “Mereka yang akhirnya datang ke stadion adalah penonton konser. Mereka sehat secara finansial dan mampu mengeluarkan 600 real Brasil. Terkadang mereka tak begitu tahu siapa yang bertanding, tapi itu adalah sesuatu yang bisa mereka unggah ke sosial media. Banyak orang membeli tiket berpikir kalau mereka akan menonton Neymar,” kata Cezar.

***

Apa yang terjadi di Brasil juga tampaknya terjadi di Indonesia. Para pemain yang membela timnas beberapa di antaraya bukan pilihan utama di klub. Tak sedikit dari mereka yang jarang membela klub karena harus melakukan pelatnas untuk jangka waktu yang lama. Ditambah lagi dengan harga tiket yang tinggi membuat penggemar harus jahat. Mereka harus berdoa agar timnas kalah sehingga di pertandingan selanjutnya, tak banyak yang menonton dan PSSI memangkas harga tiket.

Sumber: The Guardian.