Timnas Perempuan Amerika Serikat, LGBT, dan Agama

Foto: Denverpost

Keberhasilan Amerika Serikat menjuarai Piala Dunia 2019 bukanlah sebuah kejutan. Tim nasional perempuan mereka adalah yang terbaik di dunia. Selalu menduduki peringkat dua besar FIFA, bahkan tidak tergeser dari puncak sejak 2018. Datang ke Prancis sebagai juara bertahan, Megan Rapinoe dan kawan-kawan merupakan favorit dalam turnamen tersebut.

Berhasil mengalahkan Belanda dengan skor 2-0, Amerika Serikat mengangkat Piala Dunia ke-empat mereka sepanjang sejarah turnamen. Akan tetapi, di balik dominasi anak-anak asuh Jill Ellis di atas lapangan, ada agenda yang sedang mereka jalankan: Kesetaraan gaji dari Asosiasi Sepakbola Amerika Serikat (USSF).

Wajar apabila mereka membantai Thailand 13-0 dan tidak berhenti selebrasi setiap kali membobol gawang Chor Charoenying. Mereka ingin memperlihatkan betapa hebat dan layaknya mereka untuk dianggap serius oleh USSF. Tidak dipandang sebelah mata atau lebih rendah dari Christian Pulisic dan kawan-kawan.

Rapinoe, Alex Morgan, dan lain-lain menyuarakan aspirasi mereka di atas lapangan. Hal itu pun memikat mata dunia. Mereka boleh datang sebagai juara bertahan, tapi apabila gagal mempertahankan piala, itu akan jadi kegagalan terbesar. Untungnya, mereka juara. USSF semakin tertekan. Seakan-seakan semua orang di Amerika Serikat mendukung pegerakan tim nasional perempuan mereka.

Tapi di tengah euforia dan persatuan yang ada, sebuah insiden dari masa lalu kembali menghantui. Semua berawal dari rasa penasaran Obianuju Ekeocha, presiden sekaligus pendiri Culture of Life, yang ingin mendengar kisah pesepakbola Amerika Serikat, Jaelene Hinkle.

Bertentangan dengan Agama

Hinkle merupakan bek North Carolina Courage yang absen dari tim nasional sejak dirinya menolak panggilan di tengah ‘Pride Month’. Penolakan itu terjadi pada Mei 2018 dan lebih dari satu tahun kemudian, Ekeocha mengangkatnya kembali.

“Selalu jadi mimpi saya untuk bermain di tim nasional. Tapi ketika seragam yang akan digunakan didesain untuk merayakan sesuatu yang tidak saya percaya itu menjadi masalah. Saya tahu bukan tugas saya untuk merayakan hal itu. Selama tiga hari saya berdoa, meminta arahan. Pada akhirnya saya mengundurkan diri. Menolak panggilan tim nasional,” jelas Hinkle.

‘Pride Month’ merupakan sebuah perayaan terhadap orintasi seksual seseorang. Terutama mereka yang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Semenjak Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis, perayaan itu ada di tengah-tengah publik dan tim nasional mereka mendukungnya. Menggunakan kostum dengan nomor punggung bermotif pelangi selama pertandingan di periode ‘Pride Month’.

Hinkle yang berpegang kuat pada ajaran agamanya, menolak untuk ikut merayakan hal itu. Pasalnya, bedasarkan apa yang ia percaya, LGBT merupakan sesuatu yang salah atau dosa. Pihak tim nasional, NC Courage, dan rekan-rekan Hinkle memaklumi hal tersebut.

“Hinkle adalah sosok yang memiliki iman tinggi. Menurut saya jika ia melihat dirinya untuk mengabdi kepada Tuhan-nya, itu bukan sebuah masalah. Pasalnya, itulah yang membuat dirinya seperti sekarang. Tetap hidup dan positif,” ungkap penyerang NC Courage, Jesicca McDonald.

“Hinkle anak yang baik dan saya salut kepadanya karena berani untuk jujur. Apa yang dirinya percaya tidak mempengaruhi tim. Dirinya selalu memperlihatkan kemampuan terbaiknya di atas lapangan,” puji Pelatih NC Courage Paul Riley. Tim nasional Amerika Serikat bahkan kembali memanggil Hinkle setelah ‘Pride Month’ berakhir.

Keluar Konteks

Namun, cara Ekeocha mempromosikan hasil wawancara singkatnya dengan Hinkle tidak memperlihatkan sikap yang sama dengan Paul Riley, Jesicca McDonald, ataupun Jill Ellis selaku pelatih tim nasional Amerika Serikat. “Sepertinya tim nasional perempuan Amerika Serikat tidak terlalu terbuka dengan kepada orang Kristiani,” tulis Ekeocha.

Hal ini membuat penjaga gawang Amerika Serikat Ashlyn Harris naik darah. “Hinkle, tim kami adalah tentang penyertaan. Agama-mu tidak pernah menjadi masalah. Namun saat kamu tidak memiliki toleransi dan homopobik, mungkin olahraga yang bertujuan untuk menyatukan orang bukanlah tempat terbaik. Kamu tidak akan cocok masuk ke tim kami,” tulis Harris.

“Jangan pernah mengatakan tim kami tidak terbuka untuk Kristiani. Itu sama saja sebuah hinaan untuk pemain-pemain tim nasional Amerika Serikat yang memeluk agama Kristiani. Anda tidak tahu apa yang diperjuangkan oleh tim ini,” tambah Harris membalas Ekeocha.

Tim nasional Amerika Serikat ada di atas angin setelah menjuarai Piala Dunia 2019. Mereka ada di posisi yang menguntungkan untuk memenangkan masalah hukum dengan USSF dan mendapat kesetaraan gaji.

Bukan pendapatan dari klub, tapi tim nasional. Pada level klub mereka juga sadar bahwa sepakbola perempuan masih kalah saing dengan laki-laki. Tapi di Amerika Serikat, tim nasional, perempuan adalah yang utama. Tim pria bahkan tidak menjuarai Gold Cup 2019!

Sialnya, euforia di tengah masyarakat membuat apa yang mereka perjuangkan jadi keluar konteks. Apalagi saat ada yang merayakannya seperti video di atas. Tentu ini komedi, tapi keluar konteks.

***

Lagipula, selama ini saat Amerika Serikat menggunakan seragam dengan nomor punggung pelangi. Berbagai liga di Eropa menggunakan corak yang sama untuk ban kapten, bendera sepak pojok, dan tali sepatu mereka. Ada pikiran bahwa hal itu lumrah karena LGBT adalah sesuatu yang diakui dan memiliki perlindungan hukum di negara mereka.