Tony Fernandes dan “Pesawat” QPR yang Gagal Terbang Tinggi

“Saya amat mencintai QPR. Saya ingin kembali ke QPR dan ingin mewujudkan keinginan para fans agar bisa menjadi juara Champions,” ujar Fernandes kepada awak media saat peluncuran buku autobiografinya yang berjudul “Flying High” pada 2017 silam.

****

Kabar tentang skandal suap produsen pesawat terbang Airbus SAS yang turut menyeret nama Tony Fernandes yang dikenal publik sebagai salah satu pemilik klub Queens Park Rangers, membuat ingatan pemerhati sepakbola sedikit terpicu pada satu dekade silam.

Fernandes pernah menjadi kebanggaan Malaysia bahkan orang Asia Tenggara ketika membeli kepemilikan klub asal London Barat, Queens Park Rangers pada 2011. Pengusaha dari Negeri Jiran tersebut sebelumnya dikenal publik sebagai pemilik maskapai penerbangan Air Asia. Kala itu Fernandes membeli saham mayoritas klub dari dua figur penting dunia balap Formula, Flavio Briatore dan Bernie Ecclestone.

Seperti pemilik klub bola asal Asia pada umumnya, pria yang dianugerahi gelar “Yang Berbahagia Tan Sri Dato’ Sri” oleh kerajaan Malaysia ini melakukan perubahan yang masif di QPR. Tentu saja, sebagai pemilik anyar kala itu, pemain-pemain yang dianggap mendongkrak popularitas klub turut ia hadirkan di Loftus Road (kini bernama stadion Kiyan Prince Foundation). Nama-nama seperti Joey Barton, Shaun Wright-Phillips, Anton Ferdinand, Bobby Zamora, dan Djibril Cisse ia turut hadirkan tak lama setelah dirinya duduk di kursi owner.

Upaya Fernandes menjadikan QPR sebagai klub yang mampu stabil untuk berlaga di Premier League ternyata tak semudah yang dibayangkannya. Walaupun pada musim perdananya QPR selamat dari degradasi, di musim keduanya (2012/2013) QPR terdegradasi lagi ke Championship. Banyak pihak yang beranggapan bahwa belanja impulsif yang dilakukan manajemen QPR kala itu membuat tim menjadi tidak stabil.

Di musim itu, QPR semakin menggila dengan mendatangkan nama yang jauh lebih mentereng:

Julio Cesar dari Inter, Park Ji-Sung dan Fabio dari Manchester United, Esteban Granero dari Real Madrid, Robert Green dari West Ham, Cristopher Samba dari Anzhi, serta Jermain Jenas dan Andros Townsend dari Tottenham Hotpur. Keseluruhan ada 16 pemain yang masuk ke QPR musim itu yang dilatih oleh manajer kawakan, Harry Redknapp.

“Turbulensi” QPR bersama Fernandes

Ada poster di Everton yang benar-benar mengejutkan saya bertahun-tahun yang lalu, berjalan dari ruang chairman, “Bunyinya: 20 tahun berturut-turut di Liga Inggris. “

Hal tersebut jadi salah satu inspirasi dan ambisi seorang Tony Fernandes untuk menjadikan QPR sebagai klub Premier League yang established.

“Jika saya bisa mengamankan QPR sebagai klub Liga Premier yang konsisten dengan tempat latihan baru dan stadion baru, maka kami akan melakukan sesuatu yang baik. Masih sangat panjang jalan yang harus dilalui, tapi saya yakin strukturnya sudah benar,” terang Fernandes dalam interview nya bersama Evening Standard pada 2017.

Namun Fernandes mengakui adanya daftar kesalahan, tidak terkecuali dalam perekrutan pemain yang menyebabkan perpecahan skuad antara pemain yang dibayar tinggi dengan reputasi tinggi tetapi rendah pada komitmen di akhir karir mereka bersama kelompok yang tidak puas yang telah mendapatkan promosi dari Championship.

“Saya kadang-kadang masuk ke ruang ganti dan rasanya kami memiliki empat ruang ganti yang berbeda, bahkan dari musik yang dimainkan,” ujar Fernandes menggambarkan situasi ruang ganti QPR kala itu.

“Gaji (pemain) adalah bagian darinya. Ada kejelasan, struktur pengupahan (yang lebih baik) saat ini. Ada orang yang memiliki kontrak empat atau lima tahun dan itu membutuhkan waktu lama untuk memperbaikinya,” jelas pria keturunan India-Malaysia serta Portugis ini.

“Kami salah melakukan itu pada awalnya – kami sangat disarankan – tetapi kami tetap melakukannya dan memperbaiki keseimbangan. Agen bisa mencium bau darah. Saya telah melihatnya dan itu tidak akan terjadi lagi. Uang berhenti dengan saya. Tapi sekarang, saya masuk ke QPR dan itu seperti AirAsia,” tuturnya seperti mengutip ES.

Ketika Fernandes membeli maskapai yang membuat namanya menjadi salah satu milyarder terkaya di dunia pada 2001, maskapai itu cuma memiliki dua pesawat, 254 staf, dan 200.000 penumpang per tahun. Sekarang perusahaan yang dimilikinya punya lebih dari 220 pesawat, sekitar 20.000 pegawai.

Kegagalan Fernandes bersama tim balap Formula1 Caterham-nya pada 2014, tetap membuat Fernandes teguh dengan keyakinannya bahwa klub sepakbolanya, QPR akan berkembang. Sekarang ada batasan gaji, tempat latihan baru dan rencana untuk membangun stadion baru untuk QPR.

Ekses di masa lalu yaitu ketika klub dibebani dengan tagihan gaji 75.4 juta Paun dengan pendapatan hanya 38.7 juta Paun di Championship telah diperbaiki. Namun, banding atas ukuran, dan bukan keabsahan, denda £ 40 juta dari Football League karena melanggar aturan Financial Fair Play menunjukkan bahwa mereka tidak dilupakan.

Seperti industri penerbangan yang digelutinya, QPR ibarat mengalami “turbulensi” di angkasa persepakbolaan Inggris. Seolah memiliki armada serta perbekalan yang cukup, namun nyatanya angkasa memang sulit diprediksi. Seperti sebuah penerbangan, sepakbola selalu terlihat mudah diprediksi di atas kertas.

Tampaknya tak ada yang menggentarkan semangat dan kecintaan Fernandes kepada QPR sebelum impiannya benar-benar tercapai. Seperti yang diceritakannya:

“Saya berasumsi kalau saya akan mati entah bagaimana di klub ini,” terang Fernandes sambil tertawa.

“Saya tidak yakin apakah abu saya akan dilempar ke tanah atau dibalsem di Loftus Road … tapi saya menyukainya.”

“Saya suatu hari akan keluar dari AirAsia karena saya hampir selesai dengan apa yang bisa saya lakukan di sana. (Tapi di) QPR, jalan masih panjang. Aku menyukainya. Impian saya adalah pergi ke pertandingan U-23, pertandingan U-18, semuanya. Saya pikir akan ada saatnya ketika saya tidak lagi menjadi ketua – kepemimpinan selalu perlu disegarkan – tetapi saya akan selalu mendapat bagian di QPR,” pungkasnya.

***

Satu dekade telah dilewati oleh Fernandes di Loftus Road. Tak terhitung berapa kali ia habiskan untuk terbang dari penjuru dunia untuk pergi ke London, demi QPR yang dicintainya. Ibarat pesawat terbang, QPR mungkin pernah berusaha naik ke altitude yang paling tinggi. Tapi satu hal, mungkin ia lupa, bahwa alam mungkin terlalu kuat untuk ditaklukkan dengan berbekal ambisi.

Mungkin pula QPR tak cukup tangguh untuk menghadang badai yang telalu kuat di angkasa sana. Setidaknya, Fernandes pernah membuat orang-orang Asia lainnya berani untuk terbang di “angkasa” bernama Premier League, termasuk Leicester City, yang (sejauh ini) menjadi satu-satunya yang bisa terbang paling tinggi.