Transfer Darmian, Bukti Pemain Italia Semakin Tak Laku di Inggris (?)

Foto: Skysports

Bek kanan Manchester United, Mateo Darmian, resmi pindah ke kesebelasan Serie-A, Parma FC setelah empat musim berkiprah. Kedatangan dua wonderkid, Moise Kean serta Patrick Cutrone, faktanya tidak menambah jumlah pemain asal Negeri Pizza.

Padahal, pemain Italia dan kompetisi sepakbola Inggris, Premier League, memiliki sejarah yang panjang. Italia yang dikenal sebagai empat kali juara Dunia ini memang dikenal dengan pemain-pemain berkualitasnya. Maka tak jarang pemain-pemain terbaiknya berkiprah di kompetisi top Eropa macam Premier League.

Pemain Italia memang memiliki tempat tersendiri di Liga Inggris. Memori akan keemasan Liga Serie-A pada medio 1990-an turut menyumbang kenangan manis nama-nama besar asal Italia di tanah Inggris. Mulai dari Gianfranco Zola yang menjadi legenda di Chelsea, juga dengan Gianluca Vialli dan Roberto DiMatteo. Fabrizio Ravanelli yang hijrah ke Middlesbrough dan menjadi cult hero disana, Paolo Di Canio yang jadi pahlawan di West Ham, Attilio Lombardo bagi Crystal Palace, hingga akhirnya ada nama fenomenal Mario Balotelli di 2012 silam yang mengantarkan Manchester City menjadi juara paling menyakitkan bagi fans Manchester United.

“Kegagalan” Pelatih Italia Mendongkrak Prestasi

Tak bisa dielakkan, bahwa ketiadaan pelatih kepala asal Italia mengurangi jumlah Italiano di Negeri Ratu Elizabeth. Musim lalu, nama Maurizio Sarri yang menukangi Chelsea mendatangkan sejumlah pemain berpaspor Italia: Emerson Palmieri, Jorginho, serta Davide Zappacosta. Jikalau mau mengkategorikan pemain Italia adalah “asli” Italia, maka Emerson dan Jorginho tidak termasuk!

Prestasi Sarri pada musim debutnya di Stamford Bridge memang tak bisa dikatakan gagal sepenuhnya. Meskipun pada akhirnya ia berhasil meraih major trophy perdananya yakni Europa League, Sarri hanya mengantarkan Chelsea finis di podium ke-3. Meleset dari harapan juara yang selalu diinginkan pemilik ambisius mereka, Roman Abramovich.

Baca juga: https://ligalaga.id/kolom/maurizio-sarri-romansa-chelsea-dengan-manajer-italy/

Yang harus digarisbawahi, Sarri adalah satu-satunya pelatih asal Italia yang musim lalu menangani klub di EPL. Padahal, dalam enam musim terakhir ada nama-nama seperti Claudio Ranieri (Leicester City kemudian Fulham), Walter Mazzari (Watford), Francesco Guidolin (Swansea), Paolo Di Canio (Sunderland).

Adapun jumlah pelatih asal Italia yang pernah menukangi klub Premier League adalah lima belas (15), dan enam diantaranya merupakan pelatih Chelsea.

Fakta ini bisa dibuktikan bahwa musim 2015/2016 jumlah pemain Italia di Premier League berjumlah 11 (sebelas) pemain. Diantanya dimiliki oleh Watford (3), Sunderland (3), sisanya Man United, Southampton, Swansea, dan West Ham (1).

Musim 2016/2017 hanya tercatat delapan (8) pemain asal Italia. Semusim kemudian berkurang menjadi tujuh (7), dan di musim 2018/2019 jumlahnya meningkat karena kedatangan Maurizio Sarri dan menjadikannya sembilan (9) pemain.

Kian Sulit Beradaptasi dengan Tren Taktik di Inggris

Meningkatnya tren klub-klub menggunakan pendekatan pressing ketat (counterpressing/ gegenpressing) membuat pemain Italia yang cenderung lebih taktis dan technical kesulitan untuk beradaptasi. Sehingga bisa dilihat, pemain-pemain Italia yang masih bertahan di klub-klub Premier League adalah pemain dengan akselerasi dan pace yang tinggi.

Menolah beberapa musim kebelakang sejumlah nama yakni David Di Michele, Alberto Aquilani, Alessandro Diamanti, Rolando Bianchi, Andrea Dossena, Dani Osvaldo, Massimo Maccarone, Emanuele Giaccherini, Marco Borriello serta Antonio Nocerino adalah lembaran paun yang dengan sukses dibakar percuma oleh klub-klub Premier League.

Nama baru seperti Kean dan Cutrone adalah pemain yang memiliki kecepatan dan bisa dimaklumi kehadirannya. Adapun nama yang masih bertahan sejak empat musim lalu seperti Angelo Ogbonna, bek West Ham berdarah Nigeria musim ini masih mendapat kepercayaan dari Manuel Pellegrini untuk mengawal lini pertahanan. Salah satunya karena keunggulannya dalam kecepatan dan pengalaman yang dimiliki bek tengah mereka yang lain seperti Fabian Balbuena.

Chelsea yang kini dibesut Frank Lampard tak punya pilihan lain selain mempertahankan kedalaman skuat yang ada karene terkena sanksi transfer FIFA. Sehingga, dari tiga nama Italia peninggalan era Sarri, hanya Emerson dan Jorginho yang tersisa (keduanya naturalisasi dari Brasil). Beruntung, mereka berdua mampu mengimbangi permainan bertempo cepat dan pressing ketat yang kini menjadi tren.

Bagaimana dengan para Italiano lain yang musim 2019/2020 masih bertahan? Ezequiel Schelotto pemain berdarah Argentina pemilik 1 caps Azzuri hingga pekan ke-4 belum dimainkan Graham Potter di Brighton. Pun dengan duo Italia yang dimiliki Watford, Adam Masina dan Stefano Okaka yang sama sekali belum diturunkan.

Penampilan gemilang Aaron Wan-Bissaka bersama Crystal Palace musim lalu adalah alasan mengapa Manchester United rela “menyisihkan” Matteo Darmian yang usianya kini 29 dan dianggap mulai melambat dan rela menjualnya dengan harga 1,3 juta paun saja.

Padahal pada era 1990-an, pemain asal Italia yang sukses merumput di Premier League memiliki usia mendekati peak performance. Zola usianya 30, Casiraghi 29, Di Canio 28, Ravanelli 27, bahkan Ravanelli 32. Hal ini makin menguatkan bukti bahwa adanya perubahan dalam hal kecepatan serta gaya bermain klub-klub di Premier League.

Chris Barnes, sport scientist Catapult – perusahaan penyedia pakaian untuk kebutuhan pemantauan kebugaran pemain sepakbola hampir di seluruh Eropa – mengatakan bahwa kecepatan tertinggi rata-rata pemain sayap di Premier League adalah sembilan meter per detik, sementara gelandang tengah berkisar 7,5 hingga 8 meter per detik. Sebagai gambaran, jika panjang satu lapangan sepakbola 110 meter, maka seorang pemain Premier League hanya membutuhkan kurang dari 13,7 detik untuk berlari dari titik A ke titik B.

***

Mungkin untuk saat ini, ada baiknya para pemain Italia fokus untuk membenahi kualitas kompetisi domestik mereka. Dengan banyaknya pemain-pemain top yang musim ini berlaga di Serie-A, sudah sepantasnya mereka menjadikan Serie-A kembali sebagai kiblat tren sepakbola dunia.

Asalkan, mereka dapat menghadirkan level yang kompetitif seperti yang ditampilkan dua dekade silam alias banyak berbicara di level kompetisi Eropa (dan berganti juara liga, tentunya).