Trio Belanda vs Trio Jerman: Klimaks Adu Gengsi di Kota Milan

Kala seorang taipan media Italia bernama Silvio Berlusconi mendatangkan dua pemain timnas Belanda ke stadion San Siro pada tahun 1987, tak ada yang menyangka bahwa langkah tersebut adalah salah satu strategi transfer paling jenius sepanjang sejarah sepakbola modern. Alasannya, berkat para pemain Belanda paling ikonik tersebut, AC Milan mampu bertransformasi sebagai kesebelasan kuat di Italia, bahkan melipatgandakan jumlah trofi yang pernah mereka raih sebelumnya dalam waktu beberapa tahun saja.

Sepakbola Italia saat itu memang gemar mendatangkan bintang dunia. Mulai dari Napoli yang mendatangkan Diego Maradona dari Barcelona, Udinese yang mendatangkan Zico dari Flamengo, adapun Fiorentina yang mendatangkan Socrates, serta Juventus yang mendatangkan Michel Platini. Maka, Berlusconi bak juru selamat bagi AC Milan dengan menyelamatkan klub dari kebangkrutan serta tak mau kalah dengan klub-klub rival yang lebih dulu mendatangkan pemain bintang.

Menariknya, kebangkitan AC Milan saat itu pun direspons dengan spontan oleh sang “adik sekamar” mereka di San Siro, Internazionale Milano alias Inter. Bahkan kedua klub sempat secara bergantian memenangkan titel scudetto secara bergantian. Bila AC Milan memenangkanya bersama rekrutan asal Belanda, maka Inter memenangkannya bersama rekrutan Jerman-nya.

Trio Belanda: Tonggak Revolusi AC Milan Modern

Sebenarnya bukan tanpa alasan Berlusconi merekrut tiga orang pemain sekaligus dari satu negara yang sama. Kompetisi Serie-A saat itu (mulai 1982) memiliki aturan untuk hanya dapat mendaftarkan 2 pemain asing saja, yang kemudian mendapat tambahan 1 kuota (menjadi 3 pemain) di musim 1987/1988.

Dua pemain asing sebelumnya yang berasal dari Inggris, Ray Wilkins dan Mark Hateley disingkirkan Milan. Slot 2 pemain asing di musim itu memang ditargetkan untuk diisi oleh dua striker Belanda yang telah lama dipantau. Ruud Gullit, striker muda yang kala itu menyabet 2 penghargaan Pemain Terbaik Belanda dengan 2 klub berbeda, Feyenoord dan PSV. Satu nama lagi yaitu Marco van Basten, striker berusia 22 tahun yang menyabet gelar top scorer Eredivisie selama 4 musim berturut serta trofi European Golden Boot!

Gullit “dibajak” Milan dari PSV dengan nilai kontrak 3 kali lipat dari yang diterimanya di sana. Itu pun setelah melalui yang alot, karena PSV menuding Berlusconi melakukan perjanjian di bawah tangan dengan Gullit karena melakukan tes medis tanpa persetujuan PSV.

Kontras dengan pemberitaan dua pemain Belanda-nya, kedatangan allenatore baru Milan yang sebelumnya membawa Parma promosi dari Serie-C1 disambut kernyitan dahi oleh publik dan pers setempat. Bahkan pers Italia saat itu menjuluki Sacchi sebagai “Signor Nessuno” alias Mr. Nobody.

Beruntung bagi Milan, Sacchi sepertinya memang ditakdirkan untuk tiga pemain Belanda yang ngotot dibawa Berlusconi. Meskipun ia seorang Italia, Arrigo Sacchi adalah seorang penganut faham yang dibawa rasul totaal voetbal, Rinus Michels. Bedanya, Sacchi melakukan serangkaian modifikasi hingga pola dasar 4-4-2 nya akan berubah menjadi monster total football versi Italia.

Aturan kuota pemain asing bertambah 1 slot di musim Serie-A 1988/1989. Milan yang memiliki nostalgia dengan trio Swedia-nya, yakni trio Gre-No-Li: Gunnar Gren, Gunnar Nordahl dan Nils Liedholm, lantas melakukan gagasan yang sama untuk kedua kalinya. Gelandang Belanda yang gagal bermain lantaran terlambat didaftarkan Sporting Lisbon, dipilih sebagai pelengkap. Gullit-Basten-Rijkaard selanjutnya akan dikenang harum di berbagai cerita kesuksesan sepakbola.

Dan yang terpenting, catatan kesuksesan yang diraih era trio Belanda ini mampu mengubah AC Milan menjadi wajah kesuksesan Italia di ajang Eropa hingga kini yang bahkan tak mampu disamai sang raja lokal, Juventus.

Trio Jerman: Inter, Sang “Teman Sekamar” Tak pernah Mau (Terlihat) Kalah

Gebrakan AC Milan di musim 1987/1988 dengan menghadirkan trofi Serie-A pelatih anyar mereka, Arrigo Sacchi, serta sepasang bomber Belanda, Gullit dan Basten rupanya menyulut api persaingan kepada sang rival abadi, Inter Milan.

Inter seolah menyiratkan bahwa mereka adalah tim yang tak mau kalah gengsi. Lalu di awal musim 1988/1989, dipilihlah dua nama besar dari timnas Jerman yang merupakan rival dari negara asal duo fenomenal milik AC Milan. Sang presiden Inter, Ernesto Pellegrini, langsung mendatangkan dua pemain asal Bayern Muenchen, Andreas Brehme dan Lothar Matthaus.

Perekrutan dua bintang timnas Jerman Barat tersebut sangatlah beralasan. Brehme dikenal sebagai full back yang memiliki kemampuan mengeksekusi set-piece yang baik, serta naluri menyerang yang paik pula. Sementara Matthaus, kontribusinya bagi Jerman Barat di Piala Dunia 1986 mampu memukau publik meski harus dikandaskan Argentina di partai final.

Respons yang dilakukan Inter atas duo Belanda milik Milan ternyata sukses. Hanya semusim usai Milan menggondol trofi Serie-A di musim 1987/1988, Inter langsung menjuarai Liga Italia di musim berikutnya. Matthaus ikut menyumbang total 9 gol sepanjang musim, sementara Brehme menyumbang 3 gol.

Di musim itu, meskipun sukses di Serie-A, prestasi Inter tak berjalan mulus di ajang kontinental lantaran terliminasi di babak 16 besar Piala UEFA. Berbanding terbalik dengan saudara tuanya, yang berhasil menggondol trofi European Cup (kini Liga Champions) dan Supercoppa Italiana musim 1988/1989.

Soal Trio, Milan Lebih Baik

Saat Inter memenangkan trofi Serie A, Milan sudah lebih dulu diperkuat 3 pemain asal Belanda. Maka untuk merespon kegagalan mereka di ajang Eropa, Inter memperkuat lini depannya dengan mendatangkan striker Jerman Barat, Juergen Klinsmann dari Bayern.

Hal ini juga bisa dimaknai sebagai rasa tak mau kalah Inter atas trio Belanda-nya Milan yang menjadi momok bagi pertahanan gerendel yang populer digunakan klub-klub Italia kala itu. Maka di musim 1989/1990, Inter memulai petualangan barunya dengan trio Jerman. Jadilah persaingan Belanda vs. Jerman di kota Milan. Debut trio Jerman ini juga Inter gagal mempertahankan scudetto di kostumnya. Inter dibawah asuhan Giovanni Trappatoni hanya finis di urutan ke-3 klasemen akhir Serie-A, tersingkir di babak 32 besar Piala Champions.

Untungnya, musim kedua trio Jerman mampu menyumbangkan trofi Piala UEFA.

Urusan prestasi, trio Belanda milik AC Milan harus diakui lebih unggul. Rossoneri berhasil mengangkat 2 trofi Serie-A, 2 Supercoppa Italiana, 2 Piala Champions Eropa dan 2 piala Super Eropa. Itu pun belum lagi ditambah pencapaian 58 laga tanpa kekalahan beruntun. Juga pencapaian individualnya, seperti gelar Capocannoniere yang dua kali diraih Marco van Basten.

Sementara Inter boleh dibilang harus gigit jari semenjak menggunakan ketiga pemain Jerman yang hanya bertahan selama 3 musim saja hingga musim 1991/1992. Bisa dibilang, kesuksesan diperkuat Brehme dan Matthaus tak mampu dipertahankan kala menggunakan format trio dengan tambahan Klinsmann di lini depan.

Musim terakhir era trio Jerman yang kehilangan pelatih Trappatoni yang memilih hengkang melatih timnas Italia, Inter tak mampu meraih satupun trofi. Klinsmann dkk., hanya mampu finis di urutan ke-8 klasemen akhir, tersingkir di babak perempat final Coppa Italia, serta tersingkir secara memalukan oleh Boavista pada babak putaran pertama Piala UEFA 1991/1992. Sejak saat itu, ketiga pemain Jerman harus anglat kaki dari Milan.