Ultras, antara Fanatisme, Cinta, dan Kriminalitas

7 Juli 2017, jasad Raffaelo Bucci ditemukan di dasar Sungai Stura di Demont100 KM selatan Turin, Italia. 17 tahun sebelumnya di lokasi yang sama, Edoardo Agnelli, anak tunggal dari Gianni Agnelli juga ditemukan tewas bunuh diri. Lalu apa hubungannya?

Raffaelo Bucci saat itu sedang dalam investigasi FIGC dan polisi terkait pengaturan skor sepakbola dan organisasi kriminal terkait penjualan narkotika. Sedangkan Edoardo adalah anak dari Gianni Agnelli yang kini menjabat sebagai pemilik perusahaan FIAT dan raksasa Italia, Juventus.

Rafaello Bucci adalah seorang Ultras Juventus garis keras. Latar belakangnya sebagai Kepala Sekolah tidak membuatnya kehilangan fanatisme terhadap Juventus. Ia telah setia mendukung Si Nyonya Tua sejak awal 1990-an dan menjadi ultras garis keras Juventus.

Di Italia terkenal dua jenis supporter dalam mendukung kesebelasan yang dicintai yakni Tifosi dan Ultras. Tifosi berakar dari fans dalam Bahasa Inggris yang hanya mendukung kesebelasan yang mereka cintai. Sedangkan Ultras jauh lebih rumit, mereka bukan hanya mendukung kesebelasan namun memiliki kepentingan di balik dukungan tersebut, kepentingan yang dimaksud beraneka ragam terutama menyangkut kepentingan kelompok, dari yang berhubungan dengan klub atau bahkan tindak kriminal.

Ultras, sejarah dan fanatisme

Sejarah mengenai Ultras sangat simpang siur. Namun banyak versi menyatakan bermula di Brasil dengan nama Torcida organizada, kemudian di adaptasi oleh supporter Hadjuk Split pada era 1950-an dengan nama Torcida Split. Namun Ultras masuk ke Italia bersamaan dengan revolusi sepakbola yang dibawa oleh pelatih kenamaan Helenio Herrera.

Helenio Herrera mungkin mencatatkan dirinya sebagai salah satu manajer sepakbola terbaik sepanjang masa. Il Grande Inter era 60-an adalah bukti pengaruhnya di sepakbola Italia dan Eropa. Namun ia juga membawa tradisi Barra Brava dari Argentina, sebuah tradisi serupa dari Torcida Organizada yang diadaptasi oleh supporter klub Argentina. Disinilah nama Ultras bermunculan, pionirnya adalah the Boys dari supporter Inter Milan dan Fossa Dei Leoni oleh supporter AC Milan disusul kemudian oleh para supporter Torino, Sampdoria dan Verona.

Ultras saat itu seringkali diinisiasi oleh dua kelompok berbeda pandangan: kelompok Sayap Kanan dan Sayap Kiri Italia. Sayap Kanan membawa pengaruh fasisme yang cukup kuat dalam kelompok suporter, sedangkan sayap kiri membawa skema gerakan separatis atau Guerrilla, biasanya kelompok ini berasal dari Italia Selatan.

Ultras kemudian meluas di era 70-an Bersama dengan berkembangnya beberapa klub Italia. Beberapa klub bahkan memiliki lusinan ultras, mereka seringkali berganti nama dan mengincar satu posisi penting di dalam stadion : belakang gawang atau di tengah antara dua sudut stadion, disinilah nama Curva mulai dikenal.

Lalu apa tujuan memperebutkan posisi belakang gawang? Selain memberikan terror kepada lawan, belakang gawang adalah lokasi paling minim pengamanan dari Polisi. Curva merupakan daerah dengan tingkat kriminalitas tinggi untuk penjualan narkotika saat itu, Ultras melihat potensi minimnya keamanan dari Polisi tersebut dan membuat curva sebagai potensi melakukan “bisnis” seperti penikaman, perkelahian, penembakan hingga transaksi untuk melakukan pembunuhan di tempat lain.

Kini tercatat setidaknya 382 ultras tersebar di seluruh penjuru Italia, namun hanya segelintir yang masih berpegang teguh terhadap kelompok sayap kanan ataupun kiri. Meskipun dengan catatan tersebut, kriminalitas masih sangat kental di kalangan Ultras hingga saat ini.

Kriminalitas dalam tubuh Ultras

Kembali dalam kasus Raffaelo Bucci, sosok yang sangat loyal kepada Juventus dan merupakan kelompok Ultras Juventus, Drughi. Drughi saat itu dipimpin oleh sosok kontroversial nan penuh dengan catatan kriminal: Dino Mocciola, Mocciola menghabiskan 20 tahun hidupnya di penjara dengan beragam kasus, mulai dari pembunuhan dan penyerangan polisi hingga perampokan. Ia kemudian bebas pada 2005.

Pada 2005, posisi Drughi sudah tersingkir oleh ultras Juventus lainnya, Fighters. Drughi tidak lagi mendapatkan tempat di belakang gawang atau di sekitar Curva. Bebasnya Mocciola membuat Drughi mencoba mendapatkan eksistensinya sebagai Ultras. Kericuhan kemudian terjadi dengan salah satu anggota Fighters ditemukan terkapar karena ditusuk, semua berasumsi bahwa anggota Drughi-lah pelakunya.

Mocciola kemudian terlibat bentrokan antar Ultras yang menyebabkan 50 orang terluka, Mocciola menjadi salah satu korban. Kejadian tersebut terjadai pada 2006. Mocciola yang terkapar kemudian mencari sosok yang bisa menjadi deputi sebagai pemimpin Drughi, dan Bucci adalah sosok yang tepat : Loyal, dedikatif dan dikenal semua orang dalam lingkaran Drughi. Bucci bahkan kerap menginap di kediaman Stefano Merulla staff ticketing dari Juventus.

Sosok yang sempurna bagi Mocciola dan Drughi. Bucci menjadi pemimpin lapangan Drughi, namun hidupnya berubah 180 derajat : Keluarga kemudian menjauhinya, perceraian dan kehilangan hak asuh pada 2011.

Kemalangan tidak berhenti sampai disana bagi Bucci. Bermula dari duo mafia Saverio Dominello dan putranya, Rocco, mereka berniat memperluas jaringan gurita mafia mereka ke , paling mudah dengan menjadi mafia penjualan tiket Juventus.

Mocciola menemui Saverio dan Rocco kemudian sepakat membantu kedua mafia tersebut, ketiganya kemudian melakukan lobi kepada Alessandro D’Angelo yang merupakan petinggi Juventus dan yang memegang kuasa atas keamanan dan penjualan tiket bagi Juventus.

Pada 2014  pecahlah kasus Andrea Puntorno, mafia Sisilia yang juga ketua kelompok ultas “The Goodfellas” Juventus. Ia dituduh melakukan penyelundupan Narkotika, namun melebar mengenai penjualan tiket Juventus yang harganya di mark-up olehnya, Andrea mengambil margin keuntungan 30 hingga 100 Euro per lembar tiket.

Kejadian ini membuat anggota Ultras Juventus lainnya merasa sangat marah dengan margin keuntungan yang didapat oleh ketua Ultras, tidak terkecuali Drughi, mereka merasa tidak percaya kepada Bucci sebagai pemimpun, ia dianggap menikmati keuntungan yang sama, ia juga dituduh sebagai mata-mata Polisi terkait kegiatan Drughi, Bucci juga dianggap gagal membawa Drughi menjadi supporter Ultras paling dominan di Juventus.

ia disingkirkan, Bucci sangat depresi, namun secercah harapan didapatnya ketika Alessandro D’Angelo memberikan tugas kepadanya sebagai distributor tiket kepada para Ultras dan penyuplai informasi kepada Polisi mengenai tindakan-tindakan kepada ultras.

Rocco dan Saverio Dominello, dan 13 lainnya, ditangkap karena berbagai kejahatan terkait mafia. Mereka membantah semua kesalahan. Dominello dan putranya berada di penjara, menunggu persidangan untuk asosiasi mafia dan percobaan pembunuhan. Andrea Puntorno dihukum karena berurusan narkoba di pengadilan, dan kemudian dibebaskan dalam masa percobaan dengan denda € 500.000. Pada 6 Juli, Bucci diinterogasi sebagai “saksi fakta”.

Inilah yang membuat Bucci tertekan dan kemudian mengakhiri hidupnya, tekanan dari Polisi dan kelompok Ultras kepadanya harus ia tanggung sendiri, meskipun mimpinya untuk bisa bekerja di Juventus terwujud, namun tekanan berat membuatnya berakhir dengan melompat ke sungai Stura di Demont Tahun 2017.