Wartawan Baik Membela Edy Rahmayadi

Foto: Humas Pemprov Sumatera Utara.

Edy Rahmayadi adalah sosok yang spesial. Melihat kariernya hingga saat ini, kita tahu kalau ia bukanlah orang sembarangan. Ia mestilah pintar dan punya persona yang membuatnya disukai dan dipercaya.

Bagaimana tidak? Ia alumnus Akademi Militer. Sudah pasti ia pintar dan merupakan orang pilihan. Pangkat terakhirnya di militer pun tak kalah mentereng: Letnan Jenderal! Masyarakat Sumatera Utara menyukainya dan menjadikannya sebagai gubernur. Sementara itu, perwakilan kesebelasan di Indonesia mempercayainya untuk menjadi Ketua Umum PSSI, yang mana jabatan ini tak kalah prestisius karena sejak era reformasi, cuma ada lima orang yang pernah menjabat!

Dari profilnya, tidak mungkin agaknya seorang Edy Rahmayadi bicara tanpa berpikir. Sulit untuk menduga kalau ucapannya sebatas kata yang punya satu makna. Apabila Anda menganggap ucapannyanya kontroversial, itu barangkali karena Anda menanggapinya dengan salah, dengan cara yang terlalu emosional, dengan akal yang tidak sampai.

Pernyataan Edy yang terhangat adalah ketika menanggapi timnas Indonesia yang gugur di Piala AFF. Edy pun bilang, “Wartawannya yang harus baik. Jadi kalau wartawannya baik, timnasnya juga baik.”

Sontak pernyataan ini langsung menggegarkan media sosial. Respons berupa hujatan sampai dijadikan lelucon pun tak terelakan. Respons ini jelas merupakan hal yang teramat wajar. Pasalnya, sebaran media sosial terbilang cepat dan bisa menjangkau lebih banyak khalayak. Ditambah lagi, respons yang didapatkan pun bisa dalam hitungan detik, tak seperti televisi apalagi surat kabar.

Emosi khalayak di media sosial yang mudah digoncang membuat pernyataan Edy menjadi bahan yang enak untuk digoreng. Admin media sosial tak perlu pusing memikirkan korelasi atau konteks. Cukup tambahkan keterangan bernada tanya, “Apakah Anda setuju?”

Kalau dipikirkan secara sekilas, memang tidak ada korelasi antara wartawan yang baik dengan prestasi sepakbola sebuah negara. Malah, media jahat dan sadis seperti di Britania Raya, tidak mampu menahan timnas Inggris U-19 menjuarai Piala Eropa U-19 pada 2017, semifinal Piala Eropa U-21 pada 2017, dan juara Piala Dunia U-20 juga pada 2017. Bahkan, timnas senior Inggris yang kerap menjadi sasaran empuk media Inggris, justru bisa lolos ke semifinal Piala Dunia 2018. Lantas, apa korelasi antara perilaku wartawan dengan prestasi timnas? Tidak ada? Nanti dulu.

Dua Versi Wartawan Baik

Setidaknya, penulis memiliki dua versi wartawan baik. Pertama, baik pada narasumber. Kedua, menjadi baik sesuai pada fitrahnya sebagai wartawan.

Wartawan baik versi pertama biasanya berbuat baik dan pengertian pada narasumber. Wartawan mungkin akan mengirimkan salinan naskahnya terlebih dahulu pada narasumber ketimbang dikirimkan ke kantor. Di sini, nantinya terjalin sebuah kesepahaman agar hasilnya enak sama enak.

Wartawan baik pada narasumber agar narasumber pun baik pada wartawan. Contoh dari perlakuan baik ini misalnya dibelikan nasi bungkus untuk makan siang, dititipi amplop putih berisi merah-biru, difasilitasi ketika dinas ke luar kota, diberi goody bag berisi barang elektronik, atau contoh yang paling penulis inginkan adalah dikirim umroh ke Mekah (Hebat betul kalau ada narasumber seperti ini).

Sementara itu, wartawan baik versi kedua biasanya ia mendedikasikan hidupnya pada nilai-nilai yang semestinya memang ada pada seorang wartawan. Ia hanya mengabdi pada masyarakat. Pedomannya adalah kode etik jurnalistik organisasi kewartawanan yang ia ikuti. Titik.

Wartawan baik versi kedua jelas terdengar membosankan. Apalagi kalau membaca kode etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI), terdapat beberapa poin yang seakan menjauhkan rezeki: (8) Jurnalis menghindari konflik kepentingan, (9) Jurnalis menolak segala bentuk suap, dan (13) Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.

Hal senada juga termuat dalam kode etik milik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI): (6) Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Karena pada praktiknya, sulit untuk menghindari “segala bentuk suap”. Apalagi buat wartawan yang gajinya tidak mencapai UMR. Bagaimana dia bisa mengabdi pada masyarakat kalau mengabdi pada keluarga dan diri sendiri saja tak becus?

Tipikal wartawan baik versi kedua yang mengabdi pada masyarakat biasanya menulis kalau baik ya dia sebut baik, kalau jelek disebut jelek. Hal yang paling penting adalah masyarakat mendapatkan informasi yang benar dan valid. Ia pun tak menyembunyikan informasi penting yang berkaitan dengan kepentingan publik; yang dalam ungkapan Zen RS hanya beredar dari circle ke circle, mentok jadi obrolan di warung kopi, dan cuma jadi gunjingan di grup Whatsapp.

Wartawan Baik Mana yang Versi Edy?

Dari dua definisi wartawan tadi, menurut Anda mana yang diminta Edy pada wartawan? Baik pada narasumber, dalam hal ini PSSI, atau pada masyarakat?

Apa urusan Anda menanyakan itu?

Lagi-lagi, melihat perjalanan karier Edy, penulis yakin pasti pada masyarakat. Edy mengabdi puluhan tahun dengan mengabdi sebagai prajurit TNI, yang tujuannya jelas mengabdi pada masyarakat. Tak kenal lelah, Edy kini mengabdi pada masyarakat Sumatera Utara sebagai gubernur. Edy juga mengabdikan waktu dan tenaganya untuk masyarakat sepakbola Indonesia. Jadi, sudah pasti maksud Edy adalah wartawan harus baik pada masyarakat!

Ini yang barangkali menjadi dasar Edy memberikan pernyataan soal wartawannya yang harus baik agar prestasi timnas Indonesia juga baik. Edy agaknya tengah menunjukkan ironi yang saat ini ada di masyarakat Indonesia. Ini merupakan kritikan dan tamparan keras buat media-media di Indonesia agar bisa menjadi wartawan yang baik, yang cuma bikin judul click-bait, atau yang mengarahkan berita agar sejalan dengan agenda media dan kepentingan mereka.

Jadi wajar, kalau diberitakan Tribun (media yang enggan penulis klik soalnya terlalu banyak halaman dan anaknya) Edy mengusap wajah wartawan saat ditanya apa yang akan dilakukan usai Piala AFF. Sebelumnya, ia sempat bilang, “Gak usah saya ceritakan di sini. Bukan itu maksudnya. Panjang jadinya. Kalian potong, kalian putar-putar lagi omongan saya. Nanti ribut lagi.”

Dari sini saja sedikitnya ada dua hal yang satu di antaranya tidak dilihat masyarakat awam. Pertama, ia memberikan kritik menohok bahwa ada wartawan yang kerap memotong dan memutar-mutar omongannya. Sehingga, barangkali konteksnya bukan itu. Karena kita juga tahu memotong omongan dan menyulapnya sedemikian rupa bisa berakhir di penjara. Ahok tahu betul ini.

Sementara pesan yang kedua, gaya mengelus ini seolah mengejek berita soal dirinya yang dianggap menampar penggemar PSMS Medan. Padahal, ia kan cuma “mengelus”. Ini seperti klarifikasi yang mungkin tak bisa dilihat masyarakat awam.

Menjadi Wartawan Baik

Karena gayanya yang menggunakan komunikasi tingkat tinggi dan penuh makna inilah yang membuat pernyataan Edy tak perlu ditanggapi dengan emosi tinggi. Pasalnya, saat ini ada kesan kalau segala kesalahan mesti ditimpakan pada ketua umum, meskipun secara komando, apabila bawahan salah, sudah pasti yang disalahkan adalah atasan.

Penulis membaca Edy agaknya ingin wartawan bergerak aktif membantunya. Bisa saja ia sudah tak berharap lagi pada bawahannya.

Contohnya kasus penalti PS Mojokerto Putera (PSMP) kala menghadapi Aceh United dalam laga 8 besar Liga 2. Sang penendang seperti sengaja membuang bola ke sisi gawang. Menurut Fakhri Husaini kepada Kumparan, tendangan penalti itu seperti sengaja dibuang. Fakhri pun meminta pada PSSI untuk mengusut kasus ini agar meminimalisasi kecurigaan.

Namun, pernyataan antiklimaks dikemukakan Sekretrasi Jenderal PSSI, Ratu Tisha Destria. Dikutip dari Detik, Tisha meminta masyarakat melaporkan secara resmi peristiwa itu, bukannya memicu gosip tak sedap di media sosial. Padahal, menurut penulis, di luar kualitas si penendang yang memang cuma segitu, tendangan penalti tersebut jelas aneh. Jauh lebih aneh lagi kalau Tisha menyarankan masyarakat memberi laporan. Bukankah kuasa PSSI jauh lebih besar dengan memanggil para pemain yang dianggap terlibat?

Di sinilah, barangkali peran wartawan baik itu diperlukan. Soalnya, wartawan ini seringkali ajaib. Ketika kuliah, saya membaca majalah Tempo yang bagus betul laporan investigasinya. Pun laporan dari media lain, misalnya Aqwam Fiazmi Hanifan dari Tirto, yang biasa bergelut dengan data dan melahirkan laporan-laporan dari sudut pandang yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. (Eh, wartawan Tirto? Memangnya ada wartawan Tirto?).

Wartawan bisa menjadi ujung tombak dalam pengungkapan kasus yang tidak bisa atau sengaja dikubur pihak terkait, dan penulis yakin banyak wartawan Indonesia yang punya kemampuan sehebat itu.

Tentu mudah buat wartawan baik untuk mengungkap siapa dalang dari kegagalan perpanjangan kontrak Luis Milla. Mudah pula buat wartawan baik untuk memberikan saran kenapa pemilihan Bima Sakti tidaklah tepat untuk timnas di Piala AFF.

Edy mungkin juga sudah bosan ditanya, soal kelanjutan Banu Rusman yang diduga tewas dikeroyok oknum suporter pada Oktober 2017. Saat ini, kasusnya yang masih ditangani “pihak berwajib” seperti belum mendapatkan titik terang. Oleh karena itu, kehadiran wartawan baik diharapkan bisa mengungkap kasus-kasus macam ini. Lagi pula kalau mau diusut agaknya tidak sesulit untuk mencalonkan diri jadi gubernur, karena Banu tewas diduga oleh oknum suporter PSMS, yang mana, Edy pernah menjadi Dewan Pembinanya. Tinggal tanya saja siapa yang kasih dia pukul.

Coach itu pelatih. Bukan begitu, pak Edy?

PS: Saya belum pernah umroh, pak.