Wayne Rooney dan Tren Penunjukkan Manajer Muda Ikonik

Fenomena klub-klub Eropa untuk mempekerjakan manajer muda ikonik, tengah menanjak. Hal yang bisa dibilang tren ini terjadi dalam kurun satu dekade terakhir. Kondisi keuangan klub sepakbola yang dalam beberapa tahun terakhir sedang tidak bagus dan berada di bawah pengawasan FFP (ditambah lagi situasi pandemi) membuat kecenderungan tren ini akan langgeng dalam beberapa waktu kedepan, semakin besar.

Jika menilik melejitnya tren ini, salah satu penyebabnya tak lain karena sosok fenomenal Pep Guardiola. Pria yang dididik La Masia berhasil menjadi salah satu pelatih yang akan selalu dikenang sejarah sepakbola. Empat belas trofi dalam kurun empat musim bagi Barcelona tak bisa dianggap sebagai sebuah angka belaka. Di bawah Guardiola, Barcelona juga mampu unjuk diri sebagai klub yang memiliki filosofi dan tradisi mengembangkan bakat. Semua klub di dunia seakan-akan ingin menjadi seperti Barcelona.

Kabar terbaru tentang pensiunnya bintang sepakbola Inggris, Wayne Rooney yang menempati posisi manajer permanen klub divisi Championship, Derby County kian menambah catatan. Wazza -nama akrabnya- ditunjuk menggantikan Philip Cocu yang gagal membuktikan kemampuannya pada musim keduanya di Derby. Sebelumnya Wazza diangkat sebagai manajer interim.

Keberhasilan dan Pertaruhan Para Manajer Muda

Di mulai sejak lina musim terakhir, tren ini terlihat menjamur. Klub yang “royal” seperti Real Madrid yang biasanya menunjuk majaer highprofile, akhirnya berani menunjuk seorang Zinedine Zidane, yang sebelumnya menangani Real Madrid Castilla (kesebelasan reserves Real Madrid). Meski Zidane bukanlah didikan asli El Real, namun sosok Zizou dianggap mewakili semangat pembaruan bagi klub ibukota.

Mari berpindah ke dataran Britania. Klub ibukota mereka, seperti Chelsea, langsung menunjuk Frank Lampard yang sebelumnya dianggap lumayan sukses bersama Derby County. Faktor keuangan dan juga embargo transfer yang dialami kesebelasan milik taipan Rusia, Roman Abramovich ini berani ambil langkah paling berani sepanjang sejarah. Sementara rival mereka di utara London, Arsenal, dianggap melakukan perjudian besar kala menunjuk asisten Pep Guardiola di Manchester City, Mikel Arteta, di pertengahan musim lalu.

Jangan juga lupakan “perbedaan pendapat” yang terjadi di kubu Manchester United saat mereka menunjuk Ole Gunnar Solskjaer. Setan Merah mungkin sudah lelah menunjuk berbagai pelatih dengan profil tinggi, sebut saja: David Moyes, Louis van Gaal, hingga Jose Mourinho. Di antara mereka, tak satupun yang dianggap mampu memenuhi target klub sekaliber Manchester United.

Di Italia, langkah berani AC Milan untuk menunjuk beberapa eks pemain dan juga ikon klub mereka untuk jadi pelatih kepala patut mendapatkan apresiasi. Di tengah kondisi kesulitan finansial yang tengah dialami, mereka coba ambil langkah nekat. Mulai dari mempekerjakan Clarence Seedorf, Filippo Inzaghi, hingga Gennaro Gattuso, di kursi allenatore. Semuanya ternyata gagal memenuhi ekspektasi manajemen klub. Di Negeri Pizza, penunjukkan berhasil yang dilakukan Lazio kepada Simone Inzaghi adalah salah satu trigger yang menyulut tren ini.

Langkah berani Juventus untuk menaruh Andrea Pirlo untuk menggantikan Maurizio Sarri di awal musim 2020/2021 juga keputusan yang cukup mengagetkan. Pirlo, yang sama sekali belum pernah melatih sebuah kesebelasan, dipercaya Juventus, sang “raja” Italia. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa perlahan tapi pasti tren penunjukkan pelatih muda ikonik ini akan terus berlanjut.

Manajer Muda dan Harga Mahal Sebuah Proses

Siapa sih yang tak mau klubnya dilatih oleh seorang ikon klub? Apalagi kalau mereka adalah produk binaan sendiri. Ditambah, bisa mengorbitkan talenta-talenta muda hasil akademi, kemudian meraih gelimang trofi. Semuanya terlihat seperti sebuah mimpi.

Mungkin para jajaran direksi klub ini berpikir dengan menunjuk manajer atau pelatih muda bagi klubnya, semua terlihat tidak mustahil. Para pelatih muda ini dulunya biasanya bermain bagi klub, yang sebenarnya bisa berdampak positif di ruang ganti. Mereka juga biasanya lebih tahu seluk-beluk tim, bahkan lawan yang biasa dihadapi. Jangan lupakan pula dampak citra yang akan ditampilkan klub. Sampai sini, semua menjadi terlihat ideal.

Permasalahan yang biasa ditemui oleh para pelatih muda ini biasanya tak jauh-jauh dari apa yang disebut: Proses. Para pelatih muda yang ikonik ini memenuhi aspek untuk menduduki kursi kepelatihan. Mereka mendapat respek di ruang ganti dari pemain, mereka juga berpengalaman bekerja sama dengan berbagai pelatih dan juga filosofi serta taktik masing-masing, juga jangan tanyakan mentalitas kuat yang mereka miliki. Namun semuanya tak berarti apa-apa jika mereka tak diberi waktu untuk belajar. Belajar berproses.

Melihat catatan sukses para manajer legendaris seperti Bill Shankly di Liverpool, Don Revie di Leeds, atau Brian Clough di Nottingham Forest (juga Derby), semuanya memulai dari divisi dua. Benang merahnya, mereka memiliki waktu untuk belajar dan berproses di kompetisi yang agaknya minim tekanan internal. Jika diteliti lagi, catatan gemilang yang diraih Pep Guardiola juga dimulai ketika ia menangani Barcelona B yang bermain di Tercera, divisi keempat Spanyol.

Pelatih muda seperti Filippo Inzaghi yang mengalami proses (baca: kegagalan beruntun) bersama AC Milan, Bologna, dan Venezia, kini mulai merasakan buah manis kala menangani Benevento yang ia bawa promosi ke Serie-A. Rekannya semasa bermain, Gennaro Gattuso pun mulai memperlihatkan karakternya di Napoli.

Sepakbola Modern yang Lebih Banyak “Menuntut” Para Manajer Muda

Ketika perubahan iklim sepakbola yang semakin industri, ini pula-lah yang menjadi tantangan bagi para pelatih muda dan juga manajemen klub. Bagaimana tidak, seorang manajer kesebelasan top haruslah memiliki kemampuan berikut: mampu mengatur klub dengan anggaran yang ketat, menjaga performa pemain, menangani ego pemain bintang, merancang strategi menyerang yang terkoordinasi untuk mengalahkan lawan yang di atas kertas lebih lemah. Belum lagi, jika berbicara jadwal ketat yang kerapkali berbuah badai cedera.

Memulai karier di divisi kedua pun sudah tak lagi relevan jika kita berbicara kompetisi sepakbola Inggris seperti Divisi Championship. Dua dekade lalu, mungkin publik menganggap remeh kompetisi kedua ini. Kini, dengan persaingan yang ketat serta bajet klub yang besar, membuat tekanan kepada manajer semakin besar pula.

Divisi Championship Inggris misalnya, kini dihuni oleh para pemain bintang yang memasuki usia senja, bahkan para wonderkid yang sedang dipinjamkan dari klub asalnya. Kita bahkan tak lagi bisa menemukan pelatih dengan reputasi “rendah” di sana. Bahkan pelatih kenamaan seperti Philip Cocu yang membawa PSV memenangkan gelar Eredivisie, terpaksa menjadi pesakitan dan akhirnya meninggalkan The Rams di dasar klasemen.

Maka tak heran, bila pilihan pelatih rookie seperti Steven Gerrard adalah menangani Rangers, yang notabene bermain untuk kompetisi sekelas Premiership Skotlandia. Ini merupakan sebuah keputusan yang bijak. Karena selain memiliki kultur yang tak jauh berbeda, pressure yang didapatkan tak akan sebesar yang akan ia alami bila menangani kesebelasan Inggris. Gerrard bisa saja dengan mudahnya menerima tawaran klub Inggris seperti yang kini dilakukan Scott Parker di Fulham atau Wayne Rooney di Derby County, memulai karier kepelatihan dengan berjudi untuk meninggalkan reputasi buruk.

Alternatif lainnya bisa juga mengikuti jalur yang dipilih Mikel Arteta saat menjadi asisten di Manchester City. Berbekal nama besar dan juga binaan La Masia, Arteta rela berguru kepada rekannya semasa di akademi, Pep Guardiola. Selain akan menambah pengalaman, image Arteta akan menempel pada Guardiola yang merupakan tactician andal. Tengok pula legenda Chelsea, John Terry yang hingga kini masih berguru pada Dean Smith di Aston Villa. Karena tak semua pelatih akan “seberuntung” Frank Lampard, kan?

Kembali ke kasus Wayne Rooney: Apakah dengan situasi Derby yang kini berada di zona degradasi akan memberi banyak waktu dan kesempatan kepada dirinya untuk berproses? Keadaan di Derby bisa dibilang tidak menguntungkan bagi Rooney. Selain faktor tekanan dari klub, Rooney juga mungkin akan tertekan dengan “rekomendasi” yang diberikan oleh sosok seniornya seperti Ole Gunnar Solskjaer yang menilai Rooney akan memberikan jaminan bahwa Rooney akan sukses menjadi pelatih.

Pelajaran Manajer Muda dari Manchester United Dengan “Ole”-Nya

Klub seperti Manchester United boleh dibilang mulai sedikit menuai kesabaran yang boleh dibilang “tak sabar-sabar amat”. Sebelumnya, Red Devils pernah dikabarkan hampir menunjuk Ryan Giggs sebagai manajer usai memecat Louis van Gaal, namun mereka akhirnya memilih Jose Mourinho (yang akhirnya mereka pecat juga).

Di musim ini, dibawah komando Ole, secara mengejutkan Manchester United kini memuncaki klasemen Premier League di pekan ke-17, sejak terakhir mereka lakukan pada Januari 2013. Di bawah kepemimpinan Ole pula, muncul bakat-bakat muda yang sebelumnya diperkirakan tak akan mendapatkan tempat. Kiranya hal itu pula yang kini dirasakan fans Arsenal maupun Chelsea ketika dilatih oleh para pelatih rookie mereka ini.

Padahal seperti yang kita semua tahu, Ole beberapa kali diisukan akan dipecat. Pencapaian yang tidak diharapkan oleh fans, membuat berita-berita yang menyebutkan bahwa Ole bukanlah sosok besar yang capable untuk menangani klub sebesar Manchester United. Seiring waktu berjalan, Ole perlahan menunjukkan progress yang baik juga rentetan hasil gemilang.

Dari kasus Ole Gunnar Solskjaer di Manchester United, setidaknya ada sesuatu yang bisa kita petik. Bahwa kegagalan atau kekalahan yang dialami pelatih muda adalah bagian dari proses pembelajaran. Terlebih, bila pelatih tersebut memang belum pernah memiliki jam melatih di klub papan atas. Hal yang sering dilupakan jajaran manajemen maupun para pendukung klub.

***

Ada harga mahal yang harus dibayar ketika menunjuk pelatih muda bagi kesebelasan top. Hal ini tak hanya berlaku di Eropa, tapi agaknya di semua iklim sepakbola. Jika pepatah lama mengatakan “Waktu adalah uang”, akan tetapi sebaliknya uang tak bisa membeli waktu, apalagi prosesnya. Pertanyaannya: Seberapa lama para kesebelasan ini akan sabar menukar proses dengan gelimang uang yang mereka miliki?