West Ham United Tak Lagi Layak Dijuluki “Academy of Football” (?)

Sebuah tulisan besar terpampang jelas pada papan logo menuju lapangan rumput Upton Park. Bila Liverpool memiliki papan nama yang mahsyur bertuliskan “This Is Anfield”, maka lain halnya dengan West Ham. “Academy Of Football”, dengan bangga mereka pajang. Kalimat serupa mereka pajang pada tepi lapangan.

Klub ini pernah sangat popular berkat film “Green Street” atau juga popular disebut Green Street Hooligans yang rilis pada tahun 2005 silam. Selain bertanggung jawab menyebarkan subkultur hooligan dan football casual di tanah air, popularitas West Ham United juga merangkak naik. Padahal kala itu, saat popular di tanah air pada medio 2011-an, The Hammers sedang mengalami masa-masa sulit karena terdegradasi ke Championship dan terseok-seok di papan bawah Premier League.

Popularitas West Ham seringkali disalahartikan sebagai klub “hooligan”. Faktanya, tak hanya kultur hooligan yang bisa dilihat dari klub kebanggaan masyarakat London Timur ini. Ada fakta lain bahwa klub ini adalah penghasil pemain berbakat kelas tim nasional sejak era 60-an hingga awal millennium ini. Dari generasi “pemenang Piala Dunia” seperti Bobby Moore, Geoff Hurst, dan Martin Peters, hingga generasi terakhir yang mereka cetak seperti Rio Ferdinand, Frank Lampard, Joe Cole, Michael Carrick, dan Jermaine Defoe. Semuanya kini telah gantung sepatu.

Academy Of Football, Sebagai Bentuk Pujian dan Warisan         

Keberhasilan para pemain West Ham menyumbangkan sejumlah pemain besar di ranah sepakbola Inggris membuat media mulai menjuluki mereka sebagai “the Academy of Football.” Julukan inilah yang menginspirasi Ron Greenwood, manajer West Ham di era 60 hingga 70-an (kemudian pelatih timnas Inggris 1977-1982) untuk menindaklanjuti perlunya klub untuk terus memproduksi pemain-pemain terbaik yang mampu menjaga prestasi klub dan juga timnas.

Jika manajer legendaris Liverpool, Bill Shankly, menginisiasi “Boot Room” sebagai tempat untuk mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan pengembangan klub (termasuk menindaklanjuti lulusan akademi), Greenwood memiliki tempat diskusi serupa bernama Cafe Casettari. Disanalah, sambil menikmati kopi dan kudapan, Greenwood akan berdidkusi dengan staf dan beberapa pemain senior beriskusi apa saja yang berhubungan dengan klub. Dari sanalah ide untuk menjadikan West Ham sebagai klub yang melahirkan pemain berkualitas di Inggris lahir.

Tak hanya melulu soal diskusi, Di Casettari-lah menjadi tongak awal program diet makanan yang terinspirasi program yang dijalankan Ferenc Puskas, sosok dibalik keberhasilan Hungaria menjadi monster menakutkan di persepakbolaan Eropa di tahun 50-an. Maklum, saat itu pesepakbola tak ubahnya masyarakat kelas pekerja pada umumnya yang gemar makanan junk food dan mengkonsumsi alkohol secara harian.

Ide-ide yang hadir dari sana membuat West Ham berhasil mencetak pemain-pemain yang sejak saat itu berhasil mengharumkan West Ham dan timnas Inggris di kancah persepakbolaan dunia. Berakhirnya era Bobby Moore dkk. mampu diteruskan oleh munculnya nama-nama hebat dari akademi mereka seperti Frank Lampard Sr., dan Sir Trevor Brooking yang mampu mengantarkan West Ham menjuarai Piala FA pada tahun 1975.

Pondasi akademi yang telah dibuat sejak era Ted Fenton sejak era 50-an ini semakin kuat kala FA pada tahun 1998 memutuskan adanya sistem akademi baru yang menjadi landasan pengembangan pemain muda bagi klub-klub di Inggris. Sayangnya, kali ini generasi Ferdinand, Carrick, Lampard  tak menyumbangkan gelar apapun bagi West Ham dan malah meraih gelar di klub-klub rival mereka. Pun demikian, warisan dan filosofi yang sejak dulu dianut mereka mendapat pengakuan dari dunia sepakbola.

Kebijakan Tak Mencerminkan Visi West Ham Sebagai Penghasil Talenta Lokal

Ketika West Ham memutuskan meninggalkan Upton Park menuju London Stadium, muncul pertanyaan akan kemana arah West Ham sebagai klub historis yang mampu bertahan di posisi papan tengah selama beberapa musim terakhir.

Konsistensi mereka sebagai penghasil talenta kelas tim nasional mulai dipertanyakan seiring berkurangnya jumlah lulusan akademi yang tembus ke tim inti.

Nama Declan Rice muncul sebagai jawaban West Ham atas pertanyaan yang dilontarkan para kritikus dan suporter. Rice membulai debut musim 2016/2017 dalam laga kontra Burnley di usianya ke-16 tahun. Impresifnya penampilan pemain bernomor punggung “41” ini sempat menimbulkan kontroversi di level timnas, lantaran ia mengajukan permohonan kepada FIFA untuk memperkuat Three Lions di level senior.

Ia menjadi lulusan akademi West Ham ke-14 yang memperkuat tim nasional senior Inggris. Sebelumnya, Rice memperkuat Republik Irlandia sejak level U16 dan sempat memperkuat The Boys in Green di level senior sebanyak 3 kali.

Dengan melabeli diri sebagai “pabrik pemain sepakbola”, rasa-rasanya West Ham tak lagi relevan. Fakta mencatat bahwa di musim 2019/2020 ini, hanya ada 2 nama yakni sang kapten, Mark Noble, serta Declan Rice yang merupakan didikan akademi. Pun dengan jumlah pemain asing mereka yang berjumlah 17 dari total 24 penghuni skuat atau berjumlah 70 persen dari jumlah skuat.

Sebenarnya, ada sejumlah nama potensial yang masih memperkuat West Ham Development atau U23, diantaranya Grady Diangana, Ben Johnson, Connor Coventry dan Joe Powell yang sempat merasakan debut Premier League di musim lalu. Namun, melihat minimnya kesempatan lulusan akademi untuk mendapat tempat di tim inti, peluang mereka sangat kecil untuk bisa tembus.

Sebagai bukti, nama potensial seperti Reece Oxford dilepas secara murah ke Augsburg dengan nilai 2 juta euro. Grady Diangana yang “dibawa” eks pelatih mereka, Slaven Bilic ke West Brom musim ini terbukti moncer dan bukan tak mungkin dilepas, mengingat persaingan di lini depan yang sangat ketat. Musim lalu pun, mereka melepas Reece Burke ke Hull City dengan banderol 1,7 juta euro.

Kebijakan mereka yang menjual pemain-pemain terbaiknya masih bisa ditolerir jika terjadi sedekade lalu, mengingat kemampuan finansial klub yang tak semapan sekarang. West Ham kini telah menjelma menjadi salah satu kekuatan underdog, mempekerjakan manajer mahal, serta merekrut pemain-pemain kelas atas seperti Felipe Anderson, Sebastian Haller, atau Andriy Yarmolenko. Jadi, kalau akhirnya Rice pergi, uang sepertinya bukan permasalahan utama mereka.

Kebiasaan ini sempat dikritisi jauh oleh manajer mereka sendiri pada saat itu, Harry Redknapp. Pelatih kawakan Inggris tersebut kecewa karena West Ham terus menerus menjual talenta terbaiknya, padahal tahu bahwa potensi mereka sangat besar. Seperti yang ia ungkapkan pada musim 1999/2000: “Why should we sell Rio Ferdinand? Are we a Premier League club or are we just a feeder club for bigger clubs? If we start selling players like Rio, where is the club going to go?”

Akhirnya saat itu bisa ditebak. Rio dijual ke Leeds United dan menjadi bek termahal dunia, Redknapp yang kecewa akhirnya meninggalkan klub dan pindah ke Portsmouth, dan prestasi West Ham terus merosot.

Bagaimana dengan kebijakan transfer pemilik klub? Adakah perubahan setelah kondisi keuangan mereka membaik? Ternyata bukannya mendukung adanya “proteksi” terhadap pemain muda, co-chairman West Ham, David Gold, secara tegas menolak agenda FA mengenai pembatasan kuota pemain asing dari jumlah 17 menjadi 12, terkait agenda Brexit.

“(The FA) are looking into it and we are looking into it. We are very supportive of English football… but we don’t want to be doing things that isn’t going to work. We have got to look at the options and look at the evidence,” ujarnya seperti mengutip laman Independent pada November 2018.

***

Akankah dengan minimnya kesempatan lulusan akademi untuk mendapat tempat reguler membuat West Ham akan berpikir ulang untuk berhenti menghamburkan uang di meja transfer di musim-musim kedepan? Hanya waktu yang akan menjawab. Namun seperti klub-klub Premier League pada umumnya, West Ham hanya akan menjadikan julukan “Academy of Football” yang tertulis besar di sisi lapangan stadion megah London Stadium, sebagai nilai historis yang memiliki nilai jual bagi para investor belaka.