Saat menginjakkan kaki di Inggris pada musim panas 1966, Korea Utara tak punya tugas berat. Mereka baru pertama kali bertanding di Piala Dunia dan tak ada yang mengenal mereka. Sebagai negara yang tertutup, sulit bagi para pemain Korea Utara untuk mendapatkan sorotan dari luar negaranya.
Korea Utara merupakan wakil Asia di Piala Dunia 1966. Sebagaimana wakil Asia lainnya, tidak ada yang menjagokan Korea Utara. Apalagi Pak Seung-zin dan kolega berada satu grup dengan tim kuat calon juara: Uni Soviet, Italia, dan Cile.
Hasil buruk sudah mulai terlihat saat di pertandingan pertama, skuad asuhan Myung Rye-hyun tersebut dikalahkan Soviet 0-3. Untungnya, di pertandingan kedua, Korea Utara berhasil menahan imbang Cile 1-1.
Secara hitung-hitungan, Korea Utara bisa lolos dari fase grup andai menang dari tim kuat, Italia, sementara Cile kalah dari Uni Soviet. Namun, tentu saja itu adalah pekerjaan yang sulit bukan?
Publik Ayresome Park, Middlesbrough, menjagokan Korea Utara karena semangat juang mereka. Banyak dari 18-an ribu penonton bersorak buat Pak Doo-ik dan kolega.
Pertandingan yang digelar pada 19 Juli 1966 itu berakhir tak terduga. Korea Utara berhasil mengalahkan Italia lewat satu gol tunggal Doo-ik pada menit ke-42. Hasil ini selain meloloskan negara yang didirikan oleh Kim Il-sung tersebut, juga membikin Federasi Sepakbola Italia, FIGC, malu dan bingung.
Soalnya, kekalahan ini amatlah memalukan. Bagaimana tidak? Italia seolah mengulang hasil di Piala Dunia 1962. Mereka juga gagal lolos ke Piala Eropa 1964. Kesebelasan negara yang dilatih Edmondo Fabri tersebut tidak bisa memenuhi ekspektasi para pendukungnya. Apalagi mereka dikalahkan oleh tim bau kencur dari Asia.
Orang-orang dari FIGC tahu kalau para pemain Italia akan mendapatkan sambutan yang tak menyenangkan ketika pulang dari Inggris. Ini membuat FIGC menyusun jadwal penerbangan di luar normal. Mereka menetapkan jadwal semalam mungkin dan kota lokasi pendaratan tak diumumkan.
Akan tetapi, tetap saja ada penggemar yang mengendus strategi ini. Ratusan orang menunggu di Genoa. Mereka membawa buah-buahan busuk. Benar saja, saat pesawat mendarat, para suporter ini mengejar-ngejar mereka sembari melemparkan buah busuk yang mereka bawa. Saat sudah naik bus pun, para suporter terus mengejar hingga berkilo-kilo meter jauhnya.
Salah seorang peain, Francesco Janich, merasa ada buah tomat melewati kepalanya. Ia tak tahu itu buah apa, karena waktu menunjukkan pukul 3:40 pagi. Ditambah lagi ia belum sadar sepenuhnya usai menenggak cognac dan gelapnya malam. Namun, satu yang ia tahu, buah itu baunya busuk betul.
36 tahun kemudian, Italia kembali bertemu “Korea” di Piala Dunia 2002. Tepatnya di babak 16 besar. Sebelum pertandingan, harian La Repubblica mengenang pertandingan ini dan menyebutnya sebagai “Battle of Caporetto”, yakni pertempuran di Perang Dunia I yang merupakan kekalahan terbesar Italia dalam sejarah peperangan mereka.
“Cuma mau bilang kalau kata ‘Korea’ adalah mimpi buruk itu sendiri,” tulis Emanuel Audisio di La Repubblica.
Namun, yang tak mereka tahu, mimpi buruk itu datang lebih ngeri dan jauh lebih buruk.