Pada 13 Juni 1943, Real Madrid membantai Barcelona di leg kedua semifinal Copa del Generalisimo dengan skor 11-1. Momen ini sungguh mengejutkan dan mungkin tak akan pernah terulang lagi.
Lantas, bagaimana ceritanya Madrid bisa mengalahkan Barcelona dengan skor sebesar itu?
Soal Copa del Generalisimo
Mungkin Anda bingung Copa del Generalisimo ini kompetisi apa. Sejatinya Copa del Generalisimo adalah Copa del Rey. Perubahan nama ini dilakukan untuk “menghormati” Jenderal Franco yang berkuasa di Spanyol. Kompetisi ini kembali ke Copa del Rey pada 1977 atau setelah kematian Franco.
Dari sini bisa terlihat bagaimana berkuasanya Franco sehingga nama kompetisi saja diubah menjadi namanya.
Leg Pertama yang Dipermasalahkan Madrid
Semifinal leg pertama digelar di Les Corts, kandang Barcelona sebelum Camp Nou. Dalam pertandingan tersebut, laga berlangsung intens tetapi Barca berhasil menang 3-0 atas El Real.
Usai laga, media Madrid dianggap melebih-lebihkan sikap para penggemar Barcelona. Mereka menganggap kalau siulan dan boo buat para pemain Madrid adalah serangan untuk “wakil Spanyol”. Gara-gara ini, Barca juga didenda.
Media di Madrid menggambarkan situasi di Les Corts sungguh genting. Mantan kiper Madrid, Eduardo Teus, menggambarkan Les Corts sebagai kauldron yang mendidih. Kondisi ini yang dianggapnya kebobolan dua gol yang menurutnya tidaklah adil. Teus menulis banyak hal lain yang intinya ingin agar suporter Madrid membalas apa yang telah ia terima di Catalan.
Presiden Barcelona, Enrique Pineyro, sudah mencium adanya atmosfer yang panas. Ia pun mengirim surat pada pihak Madrid untuk meredakan suasana. Pineyro bahkan meminta suporter Madrid untuk mengajarkan caranya berperilaku yang baik di stadion.
Madrid tidak membalas surat tersebut, tetapi membuat pernyataan. Akan tetapi, banyak yang menginterpretasikan kalau pernyataan ini bukan meredakan suasana panas, tapi justru tambah memanaskannya.
Suporter Madrid lalu berkumpul di bar El Club atau Calle de la Victoria, tempat kumpulnya suporter Madrid. Mereka diberikan peluit untuk membalas apa yang terjadi di Barcelona. Beberapa suporter lain mendapatkan peluit usai menukarkan tiket mereka di pintu masuk. Peluitnya tidak besar, tapi kalau ditiup puluhan ribu orang, suasananya sungguh memekakan telinga.
Pembantaian di Chamartin
Barcelona pun bersiap. Mereka menginap di Aranjuez, sekitar 60 kilometer di selatan Madrid. Mereka menganggap menginap di Madrid terlalu berisiko, apalagi suporter Barca dilarang away.
Tak lama setelah bus meninggalkan hotel menuju stadion, sudah terdengar pekikan peluit. Ditambah lagi tidak sedikit suporter Madrid yang melempari batu ke arah bus yang ditumpangi pemain Barca. Ketika mereka tiba di Chamartin, sambutannya jelas membuat telinga menjadi tuli.
Di lapangan, area penalti Barcelona dipenuhi koin. Kiper Barca, Lluis Miro, agak enggan mendekat ke area gawang. Soalnya, suporter Madrid sudah siap melemparinya dengan batu!
Represi Aparat
Serangan bukan cuma dilakukan oleh suporter Madrid, tapi juga oleh kepolisian. Angel Mur diberitahu seorang polisi kalau Barca akan kalah. Sepanjang laga, letnan polisi yang bersenjata mengejeknya sebagai “Anjing Catalan” dan “Separatis Merah”. Ketika ia akan merawat pemain yang cedera, sang polisi menariknya dan memintanya duduk kembali. Mur melakukan perintah tersebut, tapi tidak dengan Pineyro. Sang polisi lalu menyuruh Pineyro diam atau ia akan ditahan.
Para pemain Barcelona saat itu sangat ketakutan. Jangan bandingkan masa itu dengan masa sekarang. Polisi rahasia dan cepu adalah hal yang biasa. Represi dari aparat dilakukan dengan nyata. Nyawa dihargai murah, sementara hukuman penjara seperti diobral begitu saja.
Striker Barca, Cesar Rodriguez, menceritakan kalau tak jarang saat akan melakukan lemparan ke dalam, pemain Barca diajak ribut di sisi lapangan. Hasilnya, laga baru setengah jam, tapi Madrid sudah unggul 2-0. Di gol ketiga, Benito Garcia, dikartumerah untuk tekel yang biasa saja.
Kesal dengan sikap penonton, wasit, dan aparat, pemain Barca seperti mempersilakan Madrid untuk mencetak gol. Usai gol ketiga tersebut, Madrid terus menggetarkan gawang Barca hingga skor 8-0 bertahan di babak pertama.
Lima gol dicetak dalam rentang 11 menit. Ini bahkan membuat Basilo de la Morena kewalahan. Ia adalah tukang pengganti skor di papan skor. Ia harus berkali-kali naik turun tangga untuk mengubah angka. Ia bahkan cuma membawa angka satu sampai lima!
Para pemain Barca sudah tak ada gairah. Mereka ingin membiarkan para pemain Madrid untuk membobol gawang mereka sebanyak mungkin. Sampai akhirnya seorang kolonel masuk ke ruang ganti. Ia memperingatkan kalau mereka masih punya tugas yang belum selesai, alias harus menghadapi babak kedua dengan sungguh-sungguh. Kalau tidak, mereka bisa langsung dimasukkan ke penjara!
Tidak ada yang dipikirkan para pemain Barcelona selain agar laga tersebut segera usai. Di babak kedua, Barca kebobolan lagi tiga gol, tapi mencetak satu gol pada menit terakhir. Konon, gol terakhir tersebut merupakan simbol perlawanan terakhir. Bahwa ada tim yang tahu caranya main bola, tapi kalau mereka tak melakukannya di sore itu, itu jelas bukan salah mereka.
Rivalitas yang Menjadi Abadi
Salah seorang kiper Barcelona, Fernando Argila, menyatakan kalau Barcelona dan Real Madrid tak memiliki rivalitas setidaknya hingga 1943; di momen pembantaian itu.
Argila kala itu hanya menyaksikan dari bangku cadangan, karena Miro yang main di bawah mistar. Namun, ia ingat betul bagaimana kondisi dan atmosfer di Chamartin, termasuk apa yang ada di ruang ganti.
Ia tidak tahu identitas aparat tersebut, tapi ia menginstruksikan agar Barcelona kalah saja. Si aparat pun meminta kepada wasit agar “tidak terjadi sesuatu”. Ini yang dianggap Argila salah satu alasan mengapa Benito dikartumerah. Bahkan, aparat tersebut bilang kalau alasan para pemain Barcelona masih hidup adalah karena kemurahan hati rezim.
Setelahnya Barcelona dan Madrid menjadi rival, bukan cuma di sepakbola tapi bagai adu kekuatan, potensi, sampai kekuatan ekonomi. Madrid dianggap sebagai representasi ibu kota, sementara Barcelona adalah simbol perlawanan untuk lepas dari penindasan.
Sumber: Sid Lowe dalam Fear and Loathing in La Liga: Barcelona vs Real Madrid