Bek timnas Indonesia, Mathew Baker, dipanggil oleh timnas Australia U-17 yang tengah menghadapi turnamen PacificAus Sport Football. Kabar ini cukup mengejutkan dan mengerikan, mengingat Baker secara aturan masih bisa memperkuat Australia.
Hal serupa juga pernah terjadi pada Elkan Baggott. Indonesia bukan satu-satunya negara yang menginginkannya. Soalnya, ia juga masih bisa bermain untuk timnas Thailand. Namun, Baggott lebih memilih Indonesia sebagai masa depannya di timnas.
Perpindahan kewarganegaraan sebenarnya merupakan hal yang umum. Apalagi bagi mereka yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan. Namun, FIFA punya aturan bagi pesepakbola.
Setiap pemain cuma boleh pindah negara satu kali. Syaratnya, belum pernah membela tim senior negara asalnya.
Hal ini membuat Thom Haye dan Justin Hubner boleh membela timnas Indonesia. Padahal, Haye dua kali juara Piala Eropa U-17 bersama timnas Belanda. Pun dengan Hubner yang pernah bermain buat timnas Belanda U-20.
Pada tulisan ini, kami akan membahas mengenai para pemain yang pindah kewarganegaraan. Sebelumnya, perlu diketahui lebih dahulu aturan FIFA terkait eligibilitas pemain. Berikut kami sajikan untuk Anda.
Aturan FIFA Soal Kewarganegaraan
Awalnya, FIFA membebaskan pemain untuk membela negara manapun. Asalkan, ia bisa membuktikan diri sebagai warga negara tersebut.
Perubahan besar hadir pada 2004 di mana pemain bisa pindah kewarganegaraan sebelum usia 21 tahun (dihapus pada 2009). Itupun dengan syarat cuma pernah main di tim junior negara asalnya.
Pada Maret 2004, aturan ditambah lagi karena sedang ngetrennya naturalisasi pemain seperti yang dilakukan Qatar dan Togo. Mereka menaturalisasi pemain yang tak punya hubungan kekerabatan dengan negara tersebut.
Aturan Maret 2004 secara jelas menyebut bahwa setidaknya maksimal kakek atau nenek sang pemain lahir di negara tersebut, atau tinggal selama dua tahun (lima tahun setelah revisi pada 2008).
Ini yang bikin Marteen Paes bisa dinaturalisasi, meskipun kakek-neneknya adalah bule. Pun yang jadi dasar mengapa Christian Gonzalez bisa dinaturalisasi karena ia sudah tinggal selama lima tahun.
Pemain yang sudah main untuk tim senior negara asal masih bisa pindah. Asalkan, ia main di laga persahabatan, bukan laga kualifikasi atau babak utama Piala Dunia ataupun turnamen kontinental.
Pada September 2020, aturan diubah lagi. Pemain yang main di kurang dari empat laga kompetitif bisa main. Asalkan, ia sudah mengantongi kewarganegaraan yang ingin ia bela.
Apabila pemain tidak mengantongi kewarganegaraan, syaratnya adalah usianya di bawah 21 tahun dan masuk dalam salah satu syarat FIFA: lahir di negara tersebut, orang tua biologis sampai kakek-nenek lahir di negara tersebut, atau tinggal selama lima tahun.
Regelio Funes Mori
Regelio bukanlah mantan bek Everton meskipun namanya mirip. Soalnya, ia adalah saudara kembar dari Ramiro, yang juga bek timnas Argentina.
Kasus Regelio terbilang unik karena tentu saja ia lahir di Argentina seperti saudara kembarnya. Ia juga main buat tim U-17 dan U-20 Argentina. Regelio pun dipanggil ke tim utama Argentina pada 2012 dan mencatatkan debut dalam laga persahabatan.
Akan tetapi itulah satu-satunya pertandingan ia untuk Argentina. Kariernya berbeda dengan Ramiro yang kala itu belum dipanggil timnas. Namun, justru Ramiro yang main lebih banyak, di 25 laga, termasuk ke final Copa America 2016.
Regelio jelas harus mengubur impiannya main di timnas Argentina. Saingannya banyak sementara kariernya mulai menurun dengan tak main di Eropa. Untuk itu, pada 2019, ia ingin pindah dengan membela Meksiko, tapi tidak diperbolehkan FIFA.
Baru pada 2020, saat aturan diubah, ia pun bisa main untuk Meksiko. Soalnya, ia mendapatkan kewarganegaraan Meksiko karena main lebih dari lima musim bersama Monterrey di Liga MX. Karier Funes Mori di timnas Meksiko memang singkat, tapi ia tampil di Gold Cup dan puncaknya membela Meksiko di Piala Dunia 2022.
Nyawa Kedua Karena Aturan 2021
Selain Regelio, aturan 2021 juga memberikan nyawa kedua buat sejumlah pemain. Sebut saja Vurnon Anita, eks Newcastle United yang membela timnas Belanda sejak U-15.
Sayangnya karier Anita di tim senior Belanda tidak berumur panjang. Ia cuma main tiga kali dan terakhir kali ia main adalah pada 2010. Karena aturan 2021, Anita akhirnya bisa main kembali di level timnas tapi kali ini untuk Curacao.
Hal senada juga dirasakan Houssem Aouar dan Munir El Haddadi. Keduanya main hampir di saat yang bersamaan; Munir debut 2013, Aouar debut 2015. Munir saat itu digadang-gadang menjadi pemain masa depan Barcelona. Sehingga, ia pun dipanggil ke timnas Spanyol, karena ia memang lahir di Spanyol. Namun, karier Munir menurun drastis dan cuma main sekali buat timnas senior Spanyol.
Hal serupa juga dirasakan Aouar yang main di Prancis U-17 dan U-21. Ia juga main di satu laga buat timnas senior pada 2020. Setelahnya, ia tak main lagi.
Karena aturan 2021, kedunya bisa pindah kewarganegaraan. Ada satu kesamaan yakni mereka punya garis keturunan lain. Aouar di Aljazair, sementara Munir di Maroko. Kasus serupa juga terjadi pada Brahim Diaz yang mengubah kewarganegaraan dari Spanyol menjadi Maroko.
Wilfried Zaha
Zaha memang lahir di Abidjan, Pantai Gading. Pada usia empat tahun, ia pindah ke Inggris bersama keluarganya. Sejak kecil, ia sekolah di Inggris dan masuk akademi Crystal Palace pada usia delapan tahun. Penampilan bagusnya di Palace membuatnya dipanggil ke timnas Inggris U-19 dan U-21.
Zaha lalu dipanggil oleh Roy Hodgson ke tim senior Inggris pada 2012. Ia dimainkan dalam laga persahabatan melawan Swedia.
Setelah pemanggilan oleh Hodgson, Zaha tak dipanggil lagi baik oleh Sam Allardyce maupun Gareth Southgate. Hal ini yang membuatnya berpikir untuk membela negara kelahirannya, Pantai Gading. Apalagi, yang membujuknya saat itu adalah Didier Drogba, sang legenda.
Gareth Southgate yang melatihnya di tim U-21 membujuknya untuk tetap membela Inggris. Namun, komentar Southgate soal ia ingin pemain yang 100 persen membela Inggris, bikin Zaha marah. Puncaknya, Zaha memenuhi panggilan Pantai Gading di Piala Afrika 2017 sekaligus menutup peluangnya membela timnas Inggris.
Sayangya, skuad Pantai Gading saat itu bukanlah yang terbaik. Ini yang bikin Zaha kurang bersinar. Pantai Gading gagal lolos ke Piala Dunia 2018 dan 2022. Di Piala Afrika juga mereka gagal total. Hal ini membuat Zaha jarang dipanggil ke timnas, termasuk saat Pantai Gading juara Piala Afrika 2023.
Pelatih Pantai Gading, Jean-Louis Gasset beralasan kalau ia punya terlalu banyak pemain di sayap kanan. Namun, ada rumor kalau Zaha tak begitu disukai suporter serta punya friksi dengan staf pelatih.
Declan Rice
Declan Rice memang lahir di London tapi bisa membela Irlandia karena kakeknya berasal dari sana. Hal ini membuat Irlandia memanggil Rice ke timnas U-17. Sama seperti Zaha, Rice dipanggil ke tim senior di laga melawan Meksiko, Uruguay, dan Austria. Ia mencatatkan debutnya ketika mengalahkan Turki pada 2018.
Di akhir 2018, Inggris mendekati Rice dan menawarkan tempat di tim senior. Rice pun mulai berpikir, termasuk karena tak dipanggil oleh Martin O’Neill. Setelah O’Neill diganti oleh Mick McCharty, Rice kembali dibujuk. Bersama dengan asisten pelatih, Robbie Keane, mereka memastikan kalau Rice akan menjadi kapten masa depan Irlandia. Pelatih pun akan membangun tim dengan Rice sebagai pusatnya.
Akan tetapi pada 2019, Rice memilih bermain untuk timnas Inggris. Sejak saat itu, Rice seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari lini tengah The Three Lions.
Tentu saja ceritanya tak berhenti di situ. Ia memang berhasil ke final Piala Eropa 2020 dan 2024. Namun, hatinya jelas tak tenang.
Setelah dipastikan membela timnas Inggris, Rice mendapatkan ancaman kematian. Ancaman itu bukan cuma ditujukan kepadanya, tapi juga keluarganya. Akan tetapi, Rice tidak terlalu peduli karena ancaman online cuma omong kosong belaka.
Sebelum 2004
Kasus Alfredo Di Stefano cukup unik. Soalnya, FIFA belum punya aturan soal perpindahan kewarganegaraan. Ini yang bikin Stefano, saking jagonya, main buat tiga timnas: Argentina, Kolombia, dan Spanyol!
Di Stefano lahir di Buenos Aires, Argentina. Ia menjalani kariernya di River Plate dan membela Argentina di enam laga. Namun, Di Stefano dilarang FIFA main buat timnas Argentina pada 1954 karena dua tahun sebelumnya, ia main buat timnas Kolombia!
Ia main buat timnas Kolombia saat pindah ke Bogota pada 1949. Saat itu, ia main di laga persahabatan untuk tim bernama Colombia XI yang sebenarnya tidak diakui FIFA sebagai sebuah timnas. Namun, gara-gara ini, Di Stefano main buat timnas Kolombia tanpa punya paspor Kolombia.
Karena tak bisa main buat Argentina, Di Stefano mendapatkan kewarganegaraan Spanyol. Awalnya, FIFA melarang, tapi setelah ditekan, FIFA akhirnya memperbolehkan. Namun, entah kutukan atau bagaimana, tapi Di Stefano tak pernah main di Piala Dunia.
Di Spanyol, ia main bareng Laszlo Kubala. Sama seperti Di Stefano, Kubala juga main buat tiga timnas: Ceko, Hungaria, dan Spanyol. Meski lahir di Hungaria, tapi Kubala main di Ceko terlebih dahulu karena ia membela tim Sk Slovan Bratislava. Setelah kembali ke Budapest, ia pun membela Hungaria.
Setelah pindah ke Barcelona pada 1951, Kubala pun mendapatkan paspor Spanyol dan mulai membela Spanyol. Namun, lagi-lagi sama seperti Di Stefano, ketika lolos ke Piala Dunia 1962, keduanya mengalami cedera. Rekor keduanya kian sama: tak pernah main di turnamen utama.