Ada banyak pemain bintang nomor 10. Termasuk di Serie A, yang pada era 1990-an hingga 2000-an mendominasi siaran olahraga di televisi Inggris. Pada masa itu, Italia bertabur nomor 10 terbaik dari seantero bumi. Sebut saja Roberto Baggio, Alessandro Del Piero hingga Francesco Totti. Dari luar ada Georghe Hagi yang memakai nomor 10 Brescia, atau bintang Kroasia di AC Milan, Zvonimir Boban.
“Namun tidak ada yang seperti Manuel Rui Costa,” tulis Planet Football pada Februari 2023.
Dia jadi penjelmaan permainan yang indah, entah bersama timnas Portugal atau Benfica, hingga di AC Milan, dan yang paling terkenal sebelumnya bersama Fiorentina. Dia telah ikut mengubah pandangan fans, yang dulu melihat Serie A bermain lebih defensif menjadi permainan yang lebih menarik ditonton.
“Playmaker asal Portugal itu melakukan hal-hal yang hanya bisa diimpikan sebagian besar pemain sepakbola, dengan lihai meluncur melewati para pemain bertahan, menyelesaikan peluang dengan penuh percaya diri, atau memberikan umpan tepat dengan kecepatan tinggi. Rui Costa membuat rekan satu timnya terlihat bagus, lawan rendah diri,” lanjut artikel yang ditulis Jack Beresford itu.
Pangeran Firenze dari Benfica
Rui Costa lahir dari akademi Benfica, setelah belajar menyepak bola di tim sepakbola indoor lokal sejak usia lima tahun. Legenda Portugal Eusebio langsung terkesan dengan bakat pemain kelahiran 29 Maret 1972 itu hanya dalam 10 menit penampilannya di sesi percobaan, ketika dia masih berusia sembilan tahun. Sejak itu, dia bermain di tim muda Benfica hingga promosi ke tim senior pada 1990.
Dia sempat dikirim ke klub divisi dua Portugal, AD Fafe pada musim 1990/1991, sebelum membawa Portugal memenangkan Piala Dunia U-20 1991 dengan mengalahkan Brasil lewat adu penalti. Bahkan di usia muda, permainannya telah menyihir banyak orang. “Rui adalah ahli dalam seni mengarahkan bola, menutupinya dengan ahli,” kenang Carlos Queiroz, pelatihnya di tim muda Samba Eropa itu.
“Dia adalah playmaker yang bisa menentukan permainan, menandai ritmenya dengan bola di kakinya dan pandangannya pada permainan,” tambah pelatih yang juga kemudian membawa Rui Costa ke timnas senior pada 1993. Setelah kemenangan itu, dia mulai bermain reguler bersama tim utama Benfica, berduet dengan Joao Pinto hingga menjuarai Piala Portugal 1992/1993 dan liga 1993/1994.
Kepindahannya ke luar negeri tak terelakkan lagi setelah itu. Tawaran datang dari Johan Cruyff di Barcelona. Tapi, Rui Costa malah memilih Fiorentina dengan kesepakatan lebih besar, 6 juta Euro untuk membantu Benfica yang di ambang kebangkrutan. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyihir kota Florence, hingga di mendapat julukan The Prince of Florence alias Pangeran Firenze.
Maestro Permainan hingga ke AC Milan
Rui Costa hadir seperti satu bagian puzzle yang hilang dalam skuad Claudio Ranieri pada musim 1994/1995 itu. Dia adalah orang yang ditunggu untuk mengatur tempo permainan dan menyuplai bola terbaik ke depan. Fiorentina punya striker tajam Gabriel Batistuta saat itu, dan Rui Costa datang untuk menyempurnakannya dengan assist dalam segala bentuk hingga terciptanya gol demi gol.
“Menciptakan gol itu memuaskan saya, lebih sekadar mencetaknya,” katanya. Rui Costa melakukan tugas itu, dan Batistuta menyelesaikannya. Mereka pun menikmati setiap laga seperti melakukan telepati di lapangan. Di akhir musim, Batigol jadi capocannoniere dengan 26 gol. Hanya dua tahun kemudian, mereka memenangkan Coppa Italia, trofi besar pertama Fiorentina dalam lebih 20 tahun.
Setelah kembali merebut trofi sama pada 2001, La Viola terpaksa melepasnya ke AC Milan dengan kesepakatan 43 juta Euro, salah satunya demi menutupi hutang klub. Setahun sebelumnya, Batistuta sudah lebih dulu pergi ke AS Roma dan langsung memenangkan Scudetto, trofi yang tak pernah bisa mereka menangkan ketika bersama. Rui Costa baru menyusul kesuksesan itu tiga musim berselang.
Setahun sebelum meraih Scudetto pertamanya, juga Coppa Italia ketiga, dia pun jadi bagian penting dalam keberhasilan Milan di Liga Champions 2002/2003. Hingga media Italia menjuluki Il Maestro. “Cara dia mendikte permainan, dan jangan lupakan dribel gila dan pengambilan keputusannya yang keren itu,” kata legenda Juventus, Zinedine Zidane menggambarkan Rui Costa seperti Michel Platini.
Satu-Satunya Ketidaksempurnaan
Tetap saja, tidak ada gading yang tak retak. Rui Costa adalah bagian dari generasi Portugal masa itu, termasuk Luis Figo. Mereka lahir saat memenangkan Piala Dunia U-20 1991, juga bersama bek kanan Abel Xavier, sebelum merebut trofi Turnamen Toulon 1992 hingga menembus final Kejuaraan U-21 Eropa 1994. Tetapi, kejayaan usia muda itu ternyata tak berlanjut ketika mereka naik ke level senior.
Rui Costa dan kawan-kawan cukup konsisten membawa Portugal jadi unggulan berbagai turnamen, tapi bukan untuk juara. Permainan indah mereka hanya mencapai perempat final Euro 1996, semi final Euro 2000 dan final Euro 2004. Sedang di Piala Dunia 2002, Portugal gagal melewati fase grup. Rui Costa kemudian pensiun dari ajang internasional pada 2004, tanpa satupun trofi, sebelum keluar dari sepakbola profesional empat tahun berselang usai periode kedua di Benfica selama dua musim.
Sumber: Planetfootball