Derby della Lanterna (2): Parade Hiburan di Dalam dan Luar Lapangan

Foto: Genova24.it

Sebagai hasil dari permulaan dan sejarah Genoa CFC dan UC Sampdoria, Derby della Lanterna diselingi oleh tema lama versus baru. Sesuatu yang melahirkan jenis kebencian unik dan beracun yang memanifestasikan kepada hari pertandingan melalui pemandangan dan suara. Kedua klub sempat menghabiskan waktu di api penyucian bernama Serie-B pada 1990-an dan 2000-an.

Tapi persaingan penuh kebencian mereka, perlahan telah kembali ke yang terbaik dalam beberapa tahun terakhir.  Seperti pada musim 1950/1951 dan 2002/2003, laga Derby della Lanterna begitu menyenangkan buat Sampdoria karena hasil positif di laga tersebut sukses mengirim Genoa ke Serie-B pada musim selanjutnya. Genoa sendiri berhasil melakoni revans dengan maksa Sampdoria turun ke divisi liga ke dua Italia itu lewat hasil-hasil memuaskan pada musim 1976/1977 dan 2010/2011.

Cukup tergambarkan situasi ketika Sampodoria terdegradasi ke Serie-B pada musim 2010/2011 itu.  Di Stadion Luigi Ferraris, Sampodria menjamu Palermo dalam partai Serie-A pekan ke-37. Pertandingan itu adalah pertandingan hidup mati bagi kesebelasan berjuluk La Samp tersebut. Jika sampai kalah, tamatlah riwayat mereka di Serie-A. Hasilnya, Sampdoria kalah 1-2. Kapten Palombo sampai menangis tersedu-sedu usai pertandingan.

Sebenarnya, tanda-tanda kehancuran Sampdoria sudah tampak sejak awal. Pada musim 2009/2010, mereka berhasil finis di urutan keempat klasemen untuk mengamankan tiket Liga Champions. Meski Sampdoria gagal melaju ke putaran final karena disingkirkan Werder Bremen sehingga harus rela bermain ke Liga Eropa. Setelah itu, perlahan-lahan prestasi domestik Sampdoria pun ambles.

Pada Maret 2011, pelatih Domenico Di Carlo dipecat dan digantikan Alberto Cavasin. Namun Cavasin tidak mampu berbuat banyak. Hasil buruk diterima hingga akhirnya riwayat di Serie-A pun tamat saat itu. Satu pekan berikutnya, sekitar puluhan ribu manusia tumplek di jalanan Kota Genoa dengan wajah sumringah. Nanyian dengan lantang diteriakan yang dipandu melalui corong megafon.

Meskipun suasana parade itu bak prosesi pemakaman. Sebab mereka juga mengarak peti mati bewarna biru yang dipimpin oleh seseorang berkostum pastor dan wanita mengenakan pakaian serba hitam. Itu hanyalah sebuah olok-olok mengheningkan cipta yang dieksekusi dengan banal dan massif oleh para pendukung Genoa yang merayakan kematian Sampdoria.

Filosofi Permainan yang Terjaga dan Berbeda

Memang rivalitas Genoa dan Sampdoria sempat meredup pada dekade 1990an dan 2000-an. Penyebabnya karena kedua kesebelasan itu kesulitan menemukan konsistensi di level tertinggi perseepakbolaan Italia. Baru pada 2010-an, keduanya bisa menajga stabilitasnya sehingga Derby della Lanterna pun menjadi semarak lagi. Pertandingannya pun dijamin menghibur karena jarang selesai dengan hasil imbang 0-0.

Masing-masing pendukungngnya akan berharap jaring lawannya beriak. Mereka juga mengharapkan permainan dengan momen-momen luar biasa, seperti kemenangan 3-2 Sampdoria pada musim 2015/2016 yang membuat Antonio Cassano berasa hidup kembali.  Fantastista yang sudah pensiun itu menciptakan dua gol dengan bola-bola indah saat Sampdoria menjadi keunggulan tiga gol.

Kemudian, Genoa membalas dua kali melalui Leonardo Pavoletti. Memang pada Januari 2016 itu adalah salah satu keindahan. Momentum terus berubah dan intrik tiada habisnya diberikan Derby della Lanterna yang terbaik secara absoult. Di belakang layar sepakbola, ada dua suporter yang selalu menunjukan semangat dukungannya karena Genoa dan Sampdoria berabagi Stadion di Luigi Ferraris.

Stadion ini adalah rumah yang ideal untuk pertandingan derbi yang penuh warna dan kebisingan. Bangunan tribun persegi panjangnya dekat dengan lapangan. memastikan para pendukung dan pemainnya terhubung selama 90 menit. Setiap pertandingannya, muncul kesempatan bagi kedua kelompok pendukungnya untuk menunjukan superioritasnya yang bisa dirasakan melalui ancaman koreografi dan lagu-lagu khasnya.

Dengan melakukan itu, mereka tidak hanya berjuang untuk stadion, tetapi untuk sebuah kota dangan asal yang sangat berbeda. Pertandingan menjadi relevan berkat strategi yang berbeda di lapangan. Menariknya, kedua kesebelasan memiliki metode yang sesuai dengan sejarah mereka. Penggunaan  man marking di Genoa membuat mereka menonjol dengan memanfaatkan skema taktis yang menopang dominasi calcio pada 1960-an dan 1970-an.

Sementara zonal marking Sampdoria dan lebih menyerang, mewakili masa depan permainan Italia. Dalam hal ini, baik pertarungan lama dan baru Derby della Lanterna, masih hidup dan sehat. “Saya harus mengatakan, setiap kali ada pembicaraan tentang derbi, sesuatu yang bergejolak dalam diri saya,” kata Cesare Prandelli yang baru ditunjuk menjadi Pelatih Genoa, seperti dikutip dari Telenord.

Tragedi Jembatan Morandi yang Menyatukan Kota Genoa

Pada Agustus 2018, terjadi tragedi runtuhnya Jembatan Morandi hingga menewaskan 43 orang di wilayah Liguria dan sekitarnya. Di sisi lain, tragedi ini menjadi kesempatan emosional bagi kedua belah pihak. Sebab kecelakaan itu benar-benar menunjukan bahwa ada begitu banyak hal dalam hidup yang lebih penting daripada sepakbola. Kedua pendukung menunjukan rasa hormat mereka di dalam Stadion Luigi Ferraris pada pertadingan Derby della Lanterna yang digelar 26 November 2018.

Kedua pendukungnya menjunukan inisiatif besar di kota dan beberapa komunitasnya sendiri. Seperti membayar pendidikan anak-anak yang telah menjadi yatim. Tapi di lapangan, Genoa dan Sampdoria tidak diragukan lagi akan  terus berjuang untuk membuktikan sebagai kesebelasan terbaik di kota tersebut. Pertandingan yang berakhir dengan skor 1-1 itu pun menjadi kisah rakyat Genoa.

Sejauh ini, misi penggulingan kesebelasan berjuluk II Grifone itu berhasil jika melihat rekor kemenangan Sampdoria. Dari 97 kali pertemuan Derby della Lanterna, Sampdoria berhasil menang 37 kali ketimbang Genoa Cuma 24 kali. Selanjutnya, pertandingan itu akan digelar kembali pada 14 April mendatang. Bukan berarti berpihak kepada Genoa, tapi para pendukungnya butuh kemenangan karena butuh hak kesombongan.

Sesuatu yang bisa mereka gunakan lagi sampai pertemuan Derby della Lanterna musim berikutnya. “Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik dan ingin membuat fans senang karena terlalu lama sejak Genoa tidak memenangkan derbi. Inilah menagpaa kami harus memberikan semua yang kami miliki,” kata Domenico Criscito, seperti dikutip dari Football Italia.

Kebencian satu kota seringkali muncul sebagai latar belakang sebuah rivalitas atau bahkan permusuhan antar kesebelasan sepakbkola. Rasa tidak suka kepada lawan, melahirkan cukup banyak riak-riak persaingan. Konsisi ini juga yang menginisiasi perseteruan panas antara Genoa dan Sampdoria dalam tajuk Derby della Lanterna.

Sumber lain: Forza Italian Football, Tifo Football.