Sepakbola perempuan di Argentina tengah mengalami revolusi. Gerakan ini dimulai sejak Februari 2019 ketika kabar tentang Macarena Sanchez mulai mencuat di media. Sanchez adalah seorang pesepakbola Buenos Aires yang menuntut kesebelasannya, UAI Urquiza dan Federasi Sepakbola Argentina (AFA) karena tidak mengakuinya sebagai pemain profesional.
Terinspirasi dari seorang pelukis revolusioner Meksiko, Frida Kohlo, Sanchez berjuang untuk suara dan masa depan sesama kaum hawa di Argentina. “Kami selalu diremehkan bahkan dibenci. Mayoritas masyarakat di Argentina melihat kami tidak layak dan tak diizinkan main sepakbola,” kata Sanchez.
“Kohlo ada hidup saat perempuan sama sekali tak diperbolehkan bersuara. Tapi dia bergerak di industri yang ‘macho’ dan unggul dalam dunia tersebut,” puji penyerang kelahiran 28 Desember 1991 tersebut.
Sanchez kesal dengan kondisi sepakbola perempuan di Argentina. Kesebelasan yang ia bela merupakan salah satu tim terbaik di Buenos Aires. Bahkan setara dengan Boca Juniors dan River Plate di liga sepakbola perempuan Argentina. Bersama Sanchez, mereka berhasil ke kualifikasi Copa Libertadores saat kesebelasan prianya hanya bermain di divisi tiga.
Namun, para pemain pria mendapat upah yang lebih layak ketimbang Sanchez dan kawan-kawan. “Ini membuat frustrasi. Mereka bahkan tak mempedulikan fasilitas latihan kami. UAI adalah salah satu kesebelasan terbaik di sepakbola perempuan Argentina, namun tidak ada ketertarikan sedikit pun untuk mengurus tim,” jelas Sanchez.
Selama satu bulan, para pemain hanya diberikan 400 peso sebagai upah kerja mereka. Itu sama dengan Rp 134.797 per bulan. “Kami tidak dapat bergerak sebagai seorang pemain profesional. Beberapa tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka. Biaya dokter andai cedera juga tidak ada,” katanya. “AFA tidak memandang kami sebagai pekerja dan penindasan ini harus dihentikan,” lanjut Sanchez.
Gilanya, ia menang dalam pengadilan. Sebulan setelah kasus Sanchez diberitakan, AFA membuat Badan Liga Sepakbola Perempuan Profesional (LFFP). Minimal, tiap kesebelasan harus menyediakan 2.800 dollar Amerika Serikat, lebih dari 100 ribu peso Argentina.
Kondisi Finansial Bukan Alasan
Foto: Minuto Uzo
Sanchez pun pindah ke San Lorenzo de Almagro untuk musim 2019. San Lorenzo adalah salah satu kesebelasan ternama di Argentina. Memiliki 15 gelar liga dan menjuarai Copa Libertadores pada 2014. Fabricio Coloccini, Pablo Zabaleta, Ezequiel Lavezzi, dan Mario Yepes adalah beberapa pemain ternama yang pernah membela mereka.
Masalahnya, beberapa hari setelah LFFFP didirikan, San Lorenzo baru terkena masalah finansial. Kesebelasan pria mereka di Superliga mendapatkan deduksi poin dan embargo transfer karena terdapat kejanggalan pada laporan keuangannya. “Setelah melihat laporan keuangan klub, badan liga memutuskan untuk memberikan deduksi enam poin untuk San Lorenzo,” tulis pihak Superliga.
Namun hal ini langsung dibalas oleh pihak klub yang mengatakan laporan keuangan yang ada tidaklah janggal. “Kami selalu memberi laporan keuangan sebenar-benarnya. Hampir pasti gaji pemain dibayarkan. Jika ada hutang yang tercatat, itu akan kami lunasi sebelum liga berakhir,” kata San Lorenzo.
Uniknya, hanya 29 hari setelah hukuman dari Superliga dijatuhkan, San Lorenzo kembali mengubah persepsi. Masalah yang ada di kesebelasan pria tak membuat mereka lupa akan kewajiban di divisi perempuan. San Lorenzo de Almagro menjadi kesebelasan pertama di Argentina yang memberikan kontrak profesional untuk para pemain perempuannya.
“San Lorenzo selalu bersama-sama dan kagum dengan perjuangan yang telah dilakukan oleh para perempuan. Terima kasih atas kesabaran mereka semua, karena hal itu telah memberikan kami tempat sebagai bagian dalam sejarah ini,” kata Presiden San Lorenzo Mattias Lammens setelah menandatangani kontrak bersama 15 pemain.
AFA sejatinya akan membayar delapan pemain melalui uang asosiasi. Namun San Lorenzo menambahkan tujuh pemain lain dengan uang mereka sendiri. Lammens bahkan berjanji akan semakin banyak pemain perempuan yang diberikan kontrak profesional seiring dana dari sponsor masuk ke klub.
Penguasa Sering Lupa
Foto: Twitter / @SanLorenzo
“Banyak pemain yang sudah pensiun tanpa pernah merasakan hal ini. Ini adalah sebuah pertepuran yang panjang. Hanya orang-orang dengan otak maskulin yang ingin hal seperti ini tidak terjadi,” kata Sanchez.
Seorang penyiar yang memberitakan sepakbola Argentina, Sam Kelly, berharap hal serupa akan dilakukan oleh kesebelasan lain dalam waktu dekat. “Semoga San Lorenzo memberi tekanan untuk kesebelasan lain, mereka yang lebih kaya dan mampu untuk melakukan hal serupa dalam beberapa bulan ke depan,” kata penyiar Hand of Pod tersebut.
Aneh ketika melihat kesebelasan seperti San Lorenzo yang tidak lebih kaya atau terkenal dari Boca Juniors, River Plate, ataupun Racing menjadi pionir gerakan ini. Namun apabila mengingat kisah Lewes FC di Inggris, terkadang memang mereka yang tidak ada di puncak bisa melihat lebih baik ketimbang penguasa.
Real Madrid bahkan belum punya kesebelasan perempuan di Spanyol. Sekalipun presiden mereka, Florentino Perez, sudah mengaku siap sejak Oktober 2017. Hal itu sepertinya tak menjadi prioritas. Berbeda dengan San Lorenzo yang sejatinya masih memiliki hutang gaji kepada para pemain pria mereka.