Elland Road, 28 April 2019. Sore itu adalah pertandingan paling genting demi membayar kerja keras Leeds selama satu musim lamanya. Pekan ke-44 divisi Championship, yang artinya menyisakan dua laga kedepan. Bielsa dan anak asuhnya wajib menang demi menjaga peluang promosi otomatis ke Premier League. Tiga poin atau mati.
Bola hampir selalu dikuasai para pemain berkostum putih-putih. Setelah perjuangan melelahkan, pada menit ke-72, gelandang Leeds, Mateusz Klich berhasil melesakkan bola ke jaring gawang yang dikawal Jed Steer. Tapi pemandangan langsung teralihkan pada Jonathan Kodjia yang terkapar. Gelandang Villa, Ahmed El-Ghazi terlihat berseteru dengan striker Leeds, Patrick Bamford yang kemudian ia sikut. Bamford pun ikutan terkapar.
Suasana stadion memanas. Semua kebingungan. Tapi itu belum selesai. Bielsa terlihat berdialog dengan Pontus Jansson di tepi lapangan. Dari raut wajahnya, Jansson memasang gestur tubuh keheranan. Seakan tak sepakat dengan sang pelatih. Tak lama kemudian, terjadi pemandangan lain. Anwar El-Ghazi dan Patrick Bamford beraduadu argumen. Laga terhambat sekitar 10 menit.
Setelah El-Ghazi diberi kartu merah, kebingungan selanjutnya mulai terjadi: Para pemain Leeds membiarkan pemain Aston Villa melakukan penetrasi ke arah gawang. Albert Adomah menendang bola masuk ke gawang Kiko Casilla. 1-1.
Terakhir, baru diketahui kalau Bielsa, Si Gila dari Argentina, menyuruh para pemain Leeds untuk membiarkan para pemain Villa menyamakan kedudukan. Setelah peluit akhir dibunyikan, Bielsa seakan tahu bahwa aksinya harus dibayar dengan mahal: Meloloskan Sheffield United promosi otomatis ke Premier League.
Tentang Bielsa dan Memahami Penghargaan Fair Play
Helatan tahunan badan tertinggi sepakbola dunia, FIFA digelar tadi malam (23/9) di kota Milan, Italia. Agendanya tentu saja untuk memberikan penghargaan kepada para individu yang dianggap memiliki prestasi bagi kemajuan sepakbola dunia.
Lionel Messi (seperti biasa) memenangkan gelar Pemain Terbaik FIFA. Ada juga Juergen Klopp yang berhasil menggondol trofi Pelatih Terbaik, serta Alisson Becker yang menjadi Penjaga Gawang Terbaik karena kontribusi briliannya mengantarkan Liverpool menjuarai Liga Champions 2018/2019.
Sementara itu, Marcelo Bielsa dan Leeds United meraih penghargaan Fair Play Award edisi ini. Ini juga menjadi penghargaan kali pertama FIFA Fair Play bagi pelatih dan klub yang ditanganinya sekaligus. Terkesan aneh? Mungkin.
Tapi apa yang telah dituduhkan kepadanya, membuat penghargaan ini menjadi kontroversi bagi sebagian kalangan, terutama setelah kasus “Spy-gate” yang membuat geger sepakbola Inggris. Hal itu juga yang membuat Bielsa dihukum denda 200 ribu paun oleh operator liga, EFL. Dan bukan Bielsa jika bertindak biasa saja. Karena merasa itu adalah tanggung jawabnya, maka Bielsa keluarkan denda dari kantongnya sendiri.
Baca juga: Kasus “Spy-gate” Leeds United: Bolehkah Memata-matai Lawan di Sesi Latihan?
FIFA Fair Play Award sejarahnya dimulai pada 1987 untuk mengakui dan mengapresiasi tindakan yang mencerminkan semangat fair play dalam dunia keolahragaan. Penghargaan ini bisa diberikan terhadap individu seperti pemain, pelatih, kesebelasan, bahkan suporter sekalipun. Penghargaan ini diharapkan menjadi contoh bagi para pelaku sepakbola. Bahwa sepakbola tak melulu soal kemenangan. Bahwa ada hal yang lebih tinggi, yakni kemanusiaan dan sikap sportif.
Cerita heroik Bielsa mengingatkan saya terhadap Penghargaan Fair Play FIFA yaitu terjadi pada tahun 2001. Masih dari tanah Inggris. Kala itu Paolo Di Canio, striker West Ham United “menghentikan” pertandingan dengan menangkap bola crossing yang berpeluang menjadi gol di laga West Ham kontra Everton di Goodison Park.
Dalam kedudukan skor 1-1, saat itu kiper Paul Gerrard terkapar karena peluang bola 50:50. Sang wasit tak meniup peluit. West Ham bisa saja memenangkan pertandingan. Tapi apa yang dilakukan Di Canio saat itu adalah bentuk sikap sportmanship dari seorang pesepakbola profesional.
Apakah Di Canio selalu dikenang sebagai pemain terpuji karena aksinya tersebut? Jawabannya: Tidak.
Publik selalu mengenang Di Canio sebagai pemain asal Italia yang fasis karena pernah melakukan salam paling haram di benua Eropa, “Roman Salute” di hadapan para pendukung Lazio. Ia juga sebelumnya lebih dikenal karena aksinya menyerang wasit saat berseragam Sheffield Wednesday pada 1998 dan dihukum larangan tampil 11 laga.
Bahkan karena stigma yang terlanjur melekat pada diri Di Canio, karier kepelatihannya pun berujung masalah di dua klub yang pernah ia latih, Swindown Town dan Sunderland. Beberapa sponsor yang mendukung Swindown dan Sunderland menyatakan mundur. Pun dengan wakil pemilik Sunderland saat itu, David Millband, yang mundur karena marah atas keputusan klub mempekerjakan seorang fasis.
***
Sekali lagi, FIFA Fair Play Award hanyalah “ganjaran” atas suatu peristiwa yang bisa menjadi contoh bagi para pelaku sepakbola lainnya. Untuk mengingatkan bahwa keindahan paling tinggi dalam sepakbola adalah kemanusiaan serta sikap menghargai sesama manusia, dan tidak menjadikan kemenangan sebagai hal yang agung.
Bielsa dan Di Canio adalah contoh kecil, bagaimana para profesional seperti mereka tetap manusia. Kesalahan di masa lalu, “pilihan” yang berbeda dari mereka menjadikan cap yang selalu melekat, tanpa pernah mengingat kontribusi positif yang pernah dilakukan. Dengan dan tanpa penghargaan ini, Bielsa akan tetap dikenang sebagai salah satu peletih besar yang pernah ada. Paolo Di Canio pun akan tetap dikenang sebagai salah satu striker Italia paling ikonik di tanah Inggris.
Karena seperti pepatah lama yang mengatakan: “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.”
Catatan: Bielsa tak menghadiri penerimaan penghargaan ini di Milan, dan menuliskan sebuah surat untuk dibacakan. Di akhir suratnya, ia menulis:
“Ketika memilih bagaimana bertindak, hal yang paling sulit adalah tidak membedakan antara yang benar dan yang salah, tetapi untuk menerima konsekuensi dari melakukan apa yang sesuai…
…Saya ingin berterima kasih kepada ibu saya yang selalu mengajarkan apa yang benar dan apa yang salah. Juga untuk Newell’s Old Boys, sebuah klub tempat saya berada di mana selama 20 tahun saya belajar sepak bola dengan cara tertentu. Ada kehadiran permanen dalam hidup saya, seperti keluarga saya dan beberapa teman yang mengingatkan saya pada nilai-nilai yang tidak boleh dilupakan “.