Reynald Pedros pernah disebut sebagai salah seorang gelandang serang berbakat Prancis bertahun-tahun silam. Dia dijuluki sebagai trio magique FC Nantes bersama Patrice Loko dan Nicolas Ouedec saat memenangi Ligue 1 Prancis 1994/1995. Musim berikutnya, mereka menembus semifinal Liga Champions, yang menjadi pencapaian tertinggi klub dalam turnamen antarklub terbesar di Eropa itu.
Pada musim panas tahun itu, Reynald Pedros pun menjadi bintang yang naik daun di Euro 1996. Saat itu, namanya diucapkan senada dengan Zinedine Zidane yang setahun lebih muda darinya. Namun setelah itu, kariernya malah menukik drastis hingga jatuh ke titik terendah ketika usianya masih 25 tahun. Hanya satu pertandingan yang telah membuatnya hancur hingga dibenci di negaranya sendiri.
Akademi Nantes
Reynald Pedros lahir di Orleans, Loiret, Prancis pada 10 Oktober 1971 dari keturunan Spanyol. Dia bergabung ke akademi Nantes pada usia 14 tahun. Berkat kerja kerasnya, pemuda itu pun berhasil masuk ke tim utama di bawah pelatih sekaligus legenda klub, Jean-Claude Suaudeau yang dikenal dengan gaya bermain “jeu a la nantaise”, gaya sepak bola menyerang dengan aliran satu sentuhan.
Baca juga: Jeu à la Nantaise, Filosofi FC Nantes yang Menginspirasi Barcelona
Dia menjalani debut dalam laga Ligue 1 1990/1991 melawan AS Cannes yang diperkuat Zinedine Zidane pada 8 September 1990, sebulan sebelum ulang tahunnya yang ke-19. Setelah itu, Reynold Pedros mulai mencuri satu tempat dalam starting line-up klubnya yang berjuluk Les Canaris tersebut, hingga jadi andalan lini serang tim sejak musim 1992/1993 dan merasih sukses dua tahun kemudian.
Reynald Pedros lalu mendapat debut internasional di laga persahabatan melawan Rusia pada 28 Juli 1993; meski hanya tampil enam menit. Setelah itu, dia selalu jadi langganan pelatih Gerard Houllier. Bahkan, pemain setinggi 1,72 meter itu pun sempat dipercaya memakai seragam biru dengan nomor punggung keramat 10, sebelum identik dengan sosok Zinedine Zidane terutama di Piala Dunia 1998.
Salah satunya di laga terakhir kualifikasi Piala Dunia 1994 melawan Bulgaria. Saat itu, Prancis hampir pasti lolos hanya dengan bermain imbang. Namun, kesalahan David Ginola saat injury time membuat tim tamu menang dengan skor tipis 1-2. Bulgaria pun merebut tiket ke Amerika Serikat, sedang David Ginola dibenci publik Prancis, hal sama yang kemudian dialami Reynald Pedros dua tahun kemudian.
Euro 1996
Memasuki Euro 1996 di Inggris, Les Bleus kembali membangun kekuatannya di bawah Aime Jacquet. Reynald Pedros masih 24 tahun, jadi bagian dari masa depan sepakbola Prancis masa itu. Termasuk pula Zinedine Zidane yang baru dipanggil dua tahun sebelumnya, setelah semusim bermain bersama Bordeaux. Mereka bekerja sama dengan pemain senior seperti Didier Deschamps dan Laurent Blanc.
Dengan barisan pemain muda itu, tim Ayam Jago berhasil melaju hingga ke semi final. Sebelumnya mereka berhasil mengatasi Belanda lewat adu penalti setelah tanpa gol hingga perpanjangan waktu. Lima algojo mereka tak membuat kesalahan, hingga kiper Bernard Lama mengamankan tendangan Clarence Seedorf. Timnas Prancis menang 5-4, dan siap menantang Republik Ceko di empat besar.
Ternyata Timnas Prancis kembali harus berjuang keras, karena lagi-lagi laga berakhir tanpa gol dalam waktu normal dan pemenangnya mesti ditentukan lewat adu penalti. Mereka mendapat kesempatan lebih dulu. Susunan penendang pun masih sama; Zinedine Zidane, Youri Djorkaeff, Bixente Lizarazu, Vincent Guerin hingga Laurent Blanc yang saat itu jadi kapten, semuanya berhasil menjalankan tugas.
Namun, setiap kali pemain Timnas Prancis menyarangkan bola, Republik Ceko pun merespon dengan baik. Sehingga kedudukan masih imbang 5-5. Adu penalti terpaksa dilanjutkan, tapi dengan sudden death. Reynald Pedros mengajukan diri sebagai penendang keenam tim. “Saya tahu harus membuat keputusan, jadi saya membuat keputusan,” ceritanya mengenang momen itu pada tahun 2017 lalu.
Keputusan Buruk
“Saya memutuskan untuk membidik ke arah kiri kiper, seperti yang telah saya lakukan pada beberapa kesempatan sebelumnya saat saya diminta untuk mengambil penalti,” ucapnya.
Tetapi, itu menjadi keputusan mahal, sekaligus menandai awal dari akhir karier Reynald Pedros. Tendangannya lemah dan bisa diamankan kiper lawan, sementara penalti Miroslav Kadlec memaksa Timnas Prancis pulang.
Menyusul kegagalan penalti itu, Reynald Pedros pun jadi sasaran kemarahan media hingga dibenci publik Prancis. Dia memang masih sempat berseragam biru, namun selalu disiuli penonton setiap menyentuh bola. Penampilan terakhirnya bersama Timnas Prancis terjadi saat kalah dari tuan rumah Denmark dalam laga persahabatan pada 9 November 1996. Setelah itu, dia tak pernah dipanggil lagi.
Kegagalan di Timnas Prancis itu pun berjalan beriringan dengan sejumlah keputusan buruk yang telah diambil Reynald Pedros dalam kariernya di level klub. Dia pernah menolak tawaran dari Barcelona, karena istrinya tidak mau pindah. Sebelumnya, AS Monaco juga pernah tak diindahkan, hanya gara-gara ucapan presiden klub yang tak cocok dengannya. Akhirnya, dia memilih bergabung ke Marseille.
Sejak itu, Reynald Pedros tak pernah kembali ke permainan terbaiknya. Dia malah terpaksa gonta-ganti klub, termasuk main di Parma dan Napoli selain membela beberapa klub kecil Prancis. Bahkan, sang pemain pun sempat bergabung dengan klub Israel dan Qatar, hingga pensiun di Swiss pada 2009. Kemudian, dia melanjutkan karier sebagai pelatih, dan kini menangani Timnas Wanita Maroko.
Sumber: Four Four Two, Wikipedia, Transfermarkt.