Gheorghe Hagi sejak lama dikenal sebagai pahlawan Rumania. Tak banyak pemain dari negara Eropa Timur itu yang terkenal di kancah dunia, apalagi sampai meraih kesuksesan bersama tim-tim raksasa Benua Biru. Hagi adalah salah satu dari sedikit pemain itu. Dia pernah bermain untuk dua klub besar Spanyol, Real Madrid dan Barcelona, meskipun kariernya juga tak selamanya berjalan dengan mulus.
Dijuluki sebagai Maradona dari Carphatia, karena berasal dari Rumania yang berada di Pegunungan Carphatia, Hagi juga melalui jatuh-bangun sepanjang 19 tahun karier profesionalnya selama 1982-2001. Statusnya sebagai pahlawan besar Rumania memang tak diragukan lagi. Tapi, dia juga pernah layu, seperti yang terlihat di Santiago Bernabeu medio 1990-1992 dan di Camp Nou pada 1994-1996.
Dari Madrid ke Brescia
Pada musim 1991/1992, Real Madrid seharusnya bisa memenangkan gelar La Liga Spanyol. Tetapi, mereka malah tersandung di Tenerife dalam laga akhir. Itu menjadi babak pertama dari dua musim yang sangat sulit bagi Los Blancos. Kecemerlangan Hagi pun ditutupi oleh keberuntungan skuat Johan Cruyff, padahal seharusnya trofi musim itu bisa jadi milik gelandang serang kelahiran 1965 tersebut.
Bayangkan, Real Madrid sudah memimpin klasemen liga dari akhir Oktober 1991, sampai kemudian harus menyerahkan posisi ke Barcelona pada hari terakhir karena kekalahan menyakitkan di markas Tenerife pada pekan penutup. Tragisnya, Los Merengues mengulangi kepedihan yang sama 12 bulan kemudian, juga di Tenerife, namun Hagi sudah berada di Italia, pergi untuk bermain bersama Brescia.
Baca juga: Ketika Tenerife Jadi Momok bagi Real Madrid di La Liga Spanyol
Meski begitu, penderitaan ternyata masih mengikutinya. Terlepas dari penampilan yang luar biasa, dia terpaksa putus asa karena timnya terdegradasi, kalah dari Udinese dalam playoff di kota Bologna.
Anehnya, di usia emas 28 tahun, setahun sebelum Piala Dunia 1994, dan dengan beberapa tawaran menarik, Hagi malah bertahan di Brescia, meski akhirnya berhasil membawa klub kembali ke Serie A.
Drama di Amerika
Pada musim panas 1994, dia memimpin Rumania ke putaran final Piala Dunia. Mereka mampu jadi salah satu tim paling menghipnotis di Amerika Serikat. Setelah pekerjaan berat di Brescia, Piala Dunia seperti jadi hadiah baginya.
Hagi dan Rumania menghasilkan gaya penuh seni, bukan sepakbola tirai besi; seperti selama ini dilihat mata dunia terhadap negara tersebut sebelum masa revolusi 1989.
Di depan lebih dari 96.000 penonton di Pasadena, mereka mengandaskan tim tuan rumah 0-1 untuk memuncaki Grup A, setelah menang 1-3 atas Kolombia di laga pembuka dan kalah 1-4 dari Swiss. Seperti tak cukup, Argentina menjadi korban berikutnya di babak 16 besar untuk melaju ke perempat final setelah menang tipis 3-2. Dan Hagi adalah kunci dari semua yang dicapai Rumania pada saat itu.
Laga perempat final jadi pertemuan dua tim yang kontras. Swedia yang kuat dan fisik besar dengan banyak bakat muda, lawan Rumania yang penuh gairah dan artistik dengan Hagi sebagai jenderalnya. Mereka bertahan sama kuat, 2-2 bahkan setelah 120 menit. Namun, hati Rumania akhirnya hancur dalam drama adu penalti. Semi final impian banyak orang antara Brasil vs Rumania pun sirna pula.
Saksi Patah Hati
Selama tiga musim berturut-turut, Hagi telah jadi saksi dekat dalam tragedi patah hati sepak bola. Dari Tenerife ke Bologna, dan lalu ke Stanford, tempat di mana Tricolorii mengakhiri langkahnya di Piala Dunia 1994.
Swedia akhirnya jadi juara tiga usai menekuk kejutan lainnya dari Eropa Timur, Bulgaria, sedangkan jawara turnamen direngkuh Brasil setelah menang adu penalti melawan Italia.
Sepuluh tahun sebelumnya, sebenarnya Hagi telah memulai perjalanan di Euro 1984; sebagai remaja 19 tahun yang mengesankan. Peran kameo kontra Spanyol, dan 45 menit pertama melawan Jerman Barat, memberinya awal yang berharga. Tapi, mereka terhenti di penyisihan, setelah hanya sekali imbang dan dua kali kalah. Sayangnya, kemudian mereka gagal ke Piala Dunia 1986 dan Euro 1988.
Rumania tampil lagi di Piala Dunia 1990, di mana mereka sukses menahan sang juara bertahan, Diego Maradona dan kawan-kawan, tapi kalah dari Irlandia di 16 besar. Setelah itu, mereka menjalani masa sulit di Euro 1996, gagal meraih satu poin pun. Tapi, di Piala Dunia 1998, Hagi bangkit lagi membawa Rumania ke 16 besar, dan ke perempat final Euro 2000, turnamen terakhirnya bersama tim nasional.
Pembuktian di Turki
Dua tahun setelah Piala Dunia 1994, seharusnya jadi yang terbaik dalam karier Hagi. Ditarik Cruyff ke Barcelona sebagai pewaris tahta Michael Laudrup, tapi dia malah mengalami masa statis di Catalan. Hagi sering cedera, dan terkadang tak masuk strategi, hingga kekuatan sepak bola Spanyol akhirnya kembali bergeser ke ibu kota. Usai kampanye Euro 1996 yang hancur, Hagi pun pergi dari Camp Nou.
Tak diduga dia malah terbang ke Istanbul untuk Galatasaray. Ternyata, di sanalah dia sekali lagi jatuh cinta pada sepak bola, hingga merebut 10 gelar selama lima musim, termasuk Piala UEFA 1999/2000. Saat itulah akhirnya dunia bisa menghargai bakat Hagi untuk pertama kali sejak musim panas 1994. Setelah musim 2000/2001, dia mengucapkan selamat tinggal pada sepak bola. Tak lama, dia kembali muncul tapi sebagai pelatih, termasuk di Turki, negara yang membuatnya bahagia di akhir kariernya.
Sumber: These Football Times