Nama Bora Milutinovic selalu muncul pada barisan atas ketika menyebut pelatih yang bisa membawa lima negara ke Piala Dunia. Padahal, ada nama Carlos Alberto Parreira yang juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan olehnya. Bora bisa membawa lima negara ke Piala Dunia dalam lima kesempatan berbeda. Akan tetapi, Carlos punya satu prestasi yang tidak bisa dilakukan oleh Bora: membawa satu dari lima negara tersebut menjadi juara dunia.
Banyak yang menganggap kalau Carlos Alberto Parreira adalah orang yang sama dengan yang mencetak gol indah pada final Piala Dunia 1970. Kenyataannya dua orang tersebut adalah orang yang berbeda. Pencetak gol indah tersebut sudah wafat pada 2016 lalu sementara Carlos Alberto Parreira masih bugar hingga sekarang. Jika pria yang sudah wafat tersebut adalah seorang bek sayap handal maka Carlos Alberto Parreira tidak pernah merasakan nikmatnya menjadi pesepakbola.
Baca juga: Kisah Bora Milutinovic dan Lima Piala Dunia
Bermula Dari Kuwait Berlanjut di Uni Emirat Arab
Karier manajemen Parreira dimulai dari menjadi pelatih kebugaran di klub Sao Cristovao pada 1967. Akan tetapi, pada tahun yang sama ia sudah menjadi pelatih utama timnas Ghana. Hingga tahun 1982, Parreira kerap menjalani peran yang berbeda-beda. Dari pelatih kepala, pelatih kebugaran, hingga pernah menjadi asisten pelatih. Namun itu semua menjadi gerbang ketika ia dipanggil timnas Kuwait pada 1982.
“Saya memulai karier sebagai pelatih kebugaran. Tapi ada fase dalam karier saya ketika saya punya kualitas sebagai pelatih kepala. Dan itu dimulai dari Kuwait. Mereka meminta saya memimpin tim remaja mereka dan itu menjadi awal dari perjalanan panjang saya sebagai pelatih,” tuturnya.
Hingga saat ini, hanya Parreira seorang yang bisa membawa Kuwait meraih gelar Piala Asia, Piala Teluk, serta membawanya ke Piala Dunia sekaligus memberikan satu-satunya poin yang mereka miliki ketika menahan imbang Cekoslovakia. Akan tetapi, perjalanan mereka saat itu di Spanyol tercoreng oleh aksi pimpinan negara mereka yang mengintervensi pertandingan ketika melawan Prancis.
Piala Dunia 1982 menjadi akhir dari perjalanan Parreira saat itu bersama Kuwait. Butuh delapan tahun dan tiga kesebelasan berbeda baginya untuk merasakan nikmatnya bermain di ajang empat tahunan tersebut. Baru pada 1990 ia kembali mencicipi ajang empat tahunan tersebut yang kali ini bersama Uni Emirat Arab.
Sama seperti Kuwait, sepakbola Uni Emirat Arab meningkat pesat ketika ditangani Parreira. Dua kali UEA dibawa melangkah ke putaran final Piala Asia dan menjadi runner up Piala Teluk. Puncaknya adalah UEA meraih satu tiket ke Piala Dunia 1990 di Italia. Meski tersingkir di penyisihan grup, namun berkat Parreira sepakbola UEA naik kelas.
“Semua orang di UEA berterimakasih kepada Parreira atas usahanya menaikkan citra negara ini. Bermain di Piala Dunia adalah sebuah pencapaian besar yang diimpikan banyak negara. Butuh kerja keras untuk bisa sampai kesana,” tutur Al Haddad yang merupakan mantan pemain UEA asuhan Parreira.
Baca juga: Hernan Dario Gomez, Spesialis Pembawa Kesebelasan Semenjana ke Piala Dunia
Berjaya Bersama Brasil
Setelah 11 tahun berpisah, Parreira kembali ke pangkuan kesebelasan negara Brasil. Disinilah kesuksesan Parreira di level negara terwujud. Selecao berhasil menjadi juara Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Yang menarik, mereka menjadi juara tanpa sepakbola Jogo Bonito yang menjadi identitas mereka.
Parreira dikenal sebagai pelatih bermental pragmatis. Baginya, permainan indah tanpa hasil sama saja dengan kegagalan. Beruntung, hal ini tidak mendapat pertentangan berarti dari masyarakat Brasil yang begitu senang dengan permainan indah. Bagi mereka, trofi emas Piala Dunia jauh lebih penting ketimbang bermain cantik.
Lini belakang menjadi kunci keberhasilan mereka meraih gelar dunia keempat. Sepanjang turnamen, hanya tiga orang saja yang bisa membobol gawang Claudio Taffarel. Dua bek mereka yaitu Jorginho dan Marcio Santos masuk dalam skuad terbaik turnamen. Di lini tengah, sosok Dunga tampil begitu cakap sebagai gelandang bertahan yang berfungsi sebagai pemutus serangan lawan.
Berkat sektor defensif pula, Italia tidak bisa mencetak gol selama 120 menit dan Taffarel menjadi bintang pada babak adu penalti. Sebuah kesuksesan yang tidak bisa ditandingi oleh hal apapun di mata Parreira. “Emosi yang anda keluarkan ketika bekerja di tempat lain tentu tidak sama ketika ada memenangkan Piala Dunia,” tuturnya.
12 tahun kemudian, Parreira mencoba peruntungannya kembali bersama Brasil. Namun percobaan keduanya berantakan. Brasil takluk dari Prancis pada babak delapan besar yang membuat ia harus mengundurkan diri 18 hari kemudian.
Gagal di Arab Saudi dan Afrika Selatan
Empat tahun setelah Brasil, Parreira kembali menangani tim nasional Arab Saudi yang sempat ia bawa menjadi juara Piala Asia pada 1988. 10 tahun setelah keberhasilan menjadi juara Asia, ia membawa Sami Al Jaber cs., ke Piala Dunia keduanya secara beruntun dengan hanya satu kali kebobolan pada babak kualifikasi.
Sempat menyulitkan Denmark pada pertandingan pertama, Arab dikalahkan tuan rumah Prancis saat itu dengan skor telak 4-0. Sial bagi Parreira, ia dipecat di tengah turnamen mengikuti jejak pelatih Korea Selatan, Cha Bum Kun yang mengalami hal yang serupa.
“Saya tidak merasa gembira ataupun menerima keputusan dari federasi yang telah memecat saya. Setidaknya mereka membiarkan saya bekerja sampai akhir pertandingan Arab Saudi di Piala Dunia,” ujar Parreira penuh kekecewaan.
Kegagalan serupa kembali dirasakan Parreira ketika menangani Afrika Selatan. Meski Bafana-bafana bermain enerjik dan sempat tidak mengalami kekalahan dalam 11 partai uji coba, nyatanya ia gagal membawa Afsel melaju dari babak grup Piala Dunia 2010. Afrika Selatan masih menjadi satu-satunya tuan rumah Piala Dunia yang gagal lolos dari babak grup.