Saat Ajax Amsterdam menjuarai Liga Champions Eropa di kota Wina Austria pada tahun 1995 lalu, publik sepakbola jelas memuji kejeniusan Louis Van Gaal yang banyak mengorbitkan banyak pemain muda berbakat di skuatnya. Meski ada pemain bintang kaya pengalaman seperti Frank Rijkaard, tapi bisa dibilang saat itu Ajax didominasi oleh darah muda. Finidi George
Banyaknya anak muda tersebut, tentu saja dengan polesan sang meneer, diproyeksikan menjaid bintang besar di masa mendatang. Pemain-pemain seperti Edwin van der Sar, Jari Litmanen, duo De Boer bersaudara (Ronald dan Frank), Edgar Davids hingga Patrick Kluivert, tentu kita sangat kenal kiprahnya saat bermain di klub besar Eropa.
Namun di antara calon bintang tersebut, ada satu nama yang tak populer-populer amat. Ia dalah Finidi George. Saat malam final di Wina, ia adalah salah satu dari dua orang non-Belanda yang menjadi starter di line-up selain sang playmaker andalan, Jari Litmanen.
Kecepatannnya menyisir sayap kanan Ajax saat itu memang diperlukan untuk menggoyahkan catenaccio milik AC Milan. Namun layaknya ninja di bawah bayangan gelap malam, ia bergerak tepat dan cermat namun nyaris tak terlalu disorot oleh banyak orang saat itu.
“Sangat luar biasa saat saya masih di Ajax. Saya tidak pernah berharap untuk bermain di tim utama secepat itu. Tetapi seseorang cedera dan Louis van Gaal tidak punya pilihan selain memainkan saya. Saat itu saya tetap bertahan dan melakukannya dengan sangat baik,” kenang Finidi George dilansir laman Telegraph.
Finidi George sebagai warga Nigeria memang tak sendiri saat berkibar di Ajax. Ada nama Nwankwo Kanu yang berposisi sebagai penyerang tengah. Meski Kanu tak terhitung sebagai starter di final Wina 1995 ataupun sebagai pemain reguler (karena harus bersaing dengan Ronald de Boer), namun nama Kanu lebih diingat khayalak banyak ketimbang Finidi. Faktor bermain di posisi penyerang tengah dan klub pasca kariernya di Ajax mungkin ada andil dalam perihal ketenaran di antara duo Nigeria ini.
Lagipula, jika berbicara Nigeria, saya pribadi lebih mengingat Taribo West, Tjiani Babangida atau Jay Jay Okocha. Para penggemar gim simulasi Winning Eleven 4 tentu lebih tahu, bagaimana ‘ngebutnya’ memainkan tim nasional Nigeria saat itu. Nah, ingatkah saat itu ada nama Finidi George? Hmm, saya tak yakin.
Baca juga: FK Qarabag, Kisah Klub dari Medan Perang Azerbaijan ke Champions League
Bersinar di Spanyol
Meski kurang populer, namun nyatanya ia begitu dicintai oleh publik Real Betis di Spanyol. Saat alumni Ajax lainnya bergabung menuju klub top seperti Barcelona, Arsenal atau Juventus, Finidi malahan mendarat ke bagian selatan Spanyol di Andalusia. Tapi selidik punya selidik, ternyata sebelum mendarat di Real Betis, klub besar seperti Manchester United dan Real Madrid sebetulnya tertarik terhadap kemampuan pemain sayap kanan ini.
“Saya bertemu dengan (Fabio) Capello, ia mengungkapkan bahwa menginginkan saya di timnya (Real Madrid). Saya berbicara dengan para direktur klub dan kami menyetujui persyaratan pribadi, ” Finidi mengatakan kepada ACL Sports yang dinukil dari laman Pulse Nigeria.
“Real saat itu diberi jadwal waktu oleh Ajax dimana mereka harus menyelesaikan transfer; dengan itu mereka bermaksud membayar harga yang diminta oleh Ajax. Sayangnya, waktu itu datang dan berlalu begitu saja dan mereka tidak sampai pada kesepakatan itu,” kenangnya.
“Kemudian Real Betis tahu bahwa Real tidak dapat memenuhi deadline yang diminta Ajax dan mereka masuk di negoisasi ini dengan cepat. Mereka membayarnya dan kami berdiskusi tentang hal-hal yang dapat saya terima, lalu saya tanda tangani kontrak bersama Betis. Sesederhana itu, ” lanjut Finidi.
Sangat disayangkan memang Madrid tak jadi meminang Finidi. Padahal talenta Finidi adalah salah satu yang ditemukan langsung oleh Van Gaal saat tim nasional Nigeria melakukan pemusatan latihan di Belanda. Sebagai informasi tambahan juga, Finidi ini adalah pemain yang dibeli Ajax namun lewat uang saku Van Gaal sendiri seharga 3000 euro saat itu.
Jika seorang pelatih berani mengeluarkan uang sakunya pribadi untuk mendatangkan seorang pemain antah berantah Afrika sana, diyakini pemain itu cukup istimewa untuk bermain di klub sekelas Ajax Amsterdam.
Baca juga: Feeder Club, Soal Ironi dan Strategi
Untung Tak Pindah ke Madrid
Andai saja Finidi hengkang ke Real Madrid, namanya mungkin lebih dikenal dunia layaknya Kanu saat hijrah ke Arsenal. Namun setelahnya, Finidi akan menjadi pemain selewat saja karena Real Madrid mempunyai banyak pemain hebat dan populer dari masa ke masa.
Sebaliknya, saat ia hengkang menuju Betis, saat itulah ia membuat memori tersendiri yang layak dikenang untuk para penggemar Los Verdiblancos. Bersama Betis, Finidi memang tak memenangkan gelar apapun kecuali hanya sebatas runner-up di gelaran Copa del Rey 1997.
Namun permainannya yang menghibur publik Benito Villamarin menjadi alasan mengapa pemian Nigeria ini akan dikenang bersama perayaan gol ikoniknya menggunakan sombrero (topi koboy) khas Spanyol. Ia terinspirasi dari festival La Feria de Abril (Seville Fair) khas warga Andalusia yang kerap menggunakan topi tersebut saat berdandan memeriahkan festival tersebut.
Tiap kali ia mencetak gol, Gabino Varilla, seorang socio dari klub Betis akan berlari di pinggir lapangan membawakan topi sombrero ala koboy tersebut dan memberikannya kepada Finidi. Sambil bergaya ala penakluk Banteng, Finidi merayakan golnya untuk menghibur publik Betis saat itu.
Perayaan Gol dan Raihan Trofi Finidi George
Para Madridistas, tahun 1998 silam, pernah disuguhi perayaan gol unik ini dihadapan muka mereka sendiri. Real Betis yang sejatinya bukan unggulan ternyata mampu memang lewat gol Finidi di Santiago Bernabeu. Dengan santainya, Finidi melakukan perayaan di tengah keriuhan para Madridistas yang kecewa klubnya tertinggal saat itu.
Keriuhan di Bernabeu memang tidak menimbulkan kontroversi apapun. Namun mundur ke empat tahun sebelumnya, saat pagelaran Piala Dunia 1994, Finidi pernah membuat perayaan kontroversial yang akan dikenang oleh banyak orang sebagai salah satu perayaan teraneh dan terburuk di sepakbola. Entah apa maksudnya, pasca menjebol gawang Yunani, ia berlari ke pojok lapangan dan mulai merangkak menirukan gaya anjing berjalan dan kemudian mengangkan satu kakinya sperti anjing sedang buang air kecil.
Di balik segala perayaan gol yang telah Finidi hadirkan tersebut, karier sepakbola Finidi bisa dibilang cukup mengilap. Mulai dari juara Eredivise Belanda, Liga Champions, juara Intercontinental, hingga juara Piala Afrika pernah ia rasakan. Finidi juga rutin menjadi bagian tim nasional Nigeria di Piala Dunia 1994 dan 1998.
Tak ketinggalan juga ia mencicipi Premier League meski hanya sekadar berlabuh di Ipswich Town. Untuk ukuran pemain Afrika, ia layak masuk dalam jajaran pemain elit asal benua hitam tersebut yang pernah sukses di benua biru.