Karen Carney, Legenda yang Membuat Inggris Peka

Foto: Skysports

Pulang dengan tangan kosong dari Piala Dunia 2019, Inggris harus kehilangan salah satu pemain terbaik mereka, Karen Carney. Gelandang kelahiran 1 Agustus 1987 itu baru akan genap 32 tahun pada musim 2019/2020, namun Carney memutuskan bahwa waktunya di atas lapangan sudah selesai.

“Saya rasa ini adalah waktu yang tepat bagi saya. Saya sudah memberikan segalanya pada semua kesebelasan yang pernah dibela. Juga kepada tim nasional. Beberapa orang paham bahwa hal ini sudah ada di kepala saya untuk sementara waktu,” kata Carney.

“Saya merasa sudah tidak bisa memberikan apa-apa lagi. Baik secara fisik ataupun mental. Setelah SheBelives Cup (Maret 2019), saya mengatakan hal serupa kepada Emma Hayes [manajer Chelsea]. Tapi ia kira hal itu hanya berlaku untuk tim nasional.”

“Saya sudah memenuhi segalanya. Mencapai titik batas akhir dari kemampuan saya. Ini waktunya untuk mundur. Saya tidak menyesali apapun,” aku Carney.

Carney sudah mewarnai sepakbola Inggris sejak dirinya masih remaja. Menjalani debut bersama Birmingham City saat usianya masih 14 tahun. Kemudian dipanggil membela the Lionesses pada usia 17 tahun.

Carney membantu Chelsea menjuarai Women’s Super League (WSL) 2017/2018 dan mengangkat dua Piala FA sepanjang kariernya (2012, 2018). Bersama the Lionesses, Carney menjuarai SheBelives Cup 2019, menembus final UEFA Euro 2009, dan juga mengantarkan Inggris ke semi-final Piala Dunia untuk dua kali berturut-turut. Keluar sebagai juara ketiga Piala Dunia 2015.

“Saat berusia 11 tahun, saya pernah mengatakan ke ibu, bahwa anaknya akan membela tim nasional suatu hari nanti. Ternyata, hal itu langsung terjadi enam tahun kemudian,” ungkap Carney.

Sepakbola perempuan sudah mengalami perubahan luar biasa sejak Carney menjalani debut bersama tim nasional dan ia merupakan salah satu sosok yang berhasil memberi kemajuan untuk talenta-talenta perempuan di Tanah Ratu Elizabeth.

Tidak Punya Masa Depan

Foto: Sky Sports

Waktu Carney pertama dipanggil ke tim nasional Inggris untuk Piala Eropa 2005, dirinya masih membela Birmingham City. The Blues merupakan penyumbang terbanyak dalam tim asuhan Hope Powell tersebut. Mengirim enam dari 20 nama yang membela the Lionesess. Lebih banyak dari Everton (5) dan Arsenal (4).

Namun Manajer Birmingham Marcus Bignot menyarankan anak-anak asuhnya untuk tidak berbangga diri. Jangan melihat sepakbola sebagai karier mereka. Pasalnya, di mata Bignot sepakbola perempuan tidak akan menjamin hidup Carney dan kawan-kawan.

“Kondisi sepakbola perempuan sangatlah rumit. Presiden klub meminta kami mengeluarkan uang dari dompet sendiri. Tak ada yang dibayar di Birmingham. Sepakbola perempuan tak akan bisa membiayai hidup kita. Saya selalu mengingatkan hal itu kepada mereka. Andai Manchester United dan Liverpool terus ada di televisi, kita tak akan memiliki kesempatan,” ungkap Bignot.

“Carney dan ibunya adalah contoh sempurna dari sepakbola perempuan. Carney selalu berlatih keras dan memperjuangkan tempatnya sampai masuk ke tim nasional. Sementara ibunya tetap datang, menyaksikan dan mendampingi anaknya meski harus menjalani terapi kanker,” lanjutnya.

Vic Akers, kitman sekaligus manajer legendaris tim perempuan Arsenal setuju dengan ucapan Bignot. Bedanya, Akers melihat sisi positif dan peluang dari sepakbola perempuan. “Sepakbola perempuan adalah sesuatu yang layak dijual dan dipromosikan. Ada potensi di sini. Sayangnya, FA tertahan di masa lalu,” aku Vickers.

Berkat dorongan Akers, sepakbola perempuan perlahan mulai diakui. Akers bahkan jadi orang terdepan untuk menggelar laga sepakbola perempuan di Wembley. Bertahun-tahun kemudian, WSL menjadi salah satu komoditas di Inggris. Menarik banyak sponsor, dapat hak siar televisi, dan tampil di stadion yang lebih besar. WSL 2019/2020 bahkan sudah siap menggelar pertandingan di Tottenham Hotspur Stadium.

Membuka Kepekaan

Carney merupakan salah satu sosok yang membuat kepekaan akan sepakbola perempuan semakin tinggi. Tidak selalu dengan pengalaman positif. Prestasi yang didapatnya bersama tim nasional Inggris di Piala Dunia 2015 memang membantu.

Keberhasilan mereka menjadi juara tiga di Kanada menambah jumlah penonton sepakbola perempuan di Inggris. Tetapi, Carney juga harus mendapatkan berbagai tekanan sebagai pemain.

Oktober 2018, dirinya mendapat ancaman pembunuhan dan menjadi sasaran pemerkosaan ultras Fiorentina, setelah membantu the Blues mengalahkan La Viola di Champions League. “Terkadang Anda memang harus menerima hinaan dari orang-orang. Namun menurut saya apa yang mereka lakukan sudah keterlaluan,” aku Carney.

Carney mungkin bukan satu-satunya pemain yang merasakan hal seperti ini. Akan tetapi, ia adalah orang yang berani membuka luka tersebut untuk menambah kepekaan pelaku-pelaku sepakbola lainnya.

Carney berharap pengalaman buruknya itu menjadi dorongan bagi sesama pemain untuk membuka diri. Membuat orang-orang peka akan masalah yang mereka hadapi. Seperti gelandang ikonik Inggris, Fara Williams, yang tidak punya rumah meski bermain untuk tim nasional Inggris.

Carney bisa gantung sepatunya dengan tenang sekarang. Apa yang ia harapkan sudah mulai terjadi. Masih banyak yang perlu diperbaiki. Namun, paling tidak sudah terlihat sebuah awalan cerah yang perlu terus dikembangkan.

Andalan Bignot dan Hayes

Carney bukan hanya mengubah citra sepakbola perempuan Inggris dari sikapnya di luar lapangan. Ketika bermain, ia juga merupakan seorang gelandang kelas dunia dan hal itu sudah terlihat sejak muda.

“Sejak pertama melihat dia bermain, saya sudah tahu bahwa kita tidak boleh kehilangan talenta Carney. Kita bahkan bisa membentuk tim dengan Carney sebagai pusatnya,” aku Bignot. “Dia adalah sosok yang telah menaikkan standard dedikasi terhadap sepakbola,” lanjut bek Queens Park Rangers tersebut.

Masuk era Phil Neville di tim nasional, Carney sempat absen karena cedera. Namun setelah pulih, dirinya mengirim sebuah pesan kepada Neville. “Saya akan berangkat ke Piala Dunia, ingat itu,” tulis Carney.

“Saya merasa hal itu sedikit sombong. Saya kemudian sengaja dia tak dipanggil dirinya dalam beberapa pertandingan. Akan tetapi saat ia kembali ke tim nasional, terlihat jelas kualitasnya. Dia sangat determinan,” puji Neville. “FA membicarakan tentang merayakan legenda sepakbola dan Carney harus mendapat perlakuan itu. Dia adalah pemain yang luar biasa,” lanjutnya.

Keputusan Carney untuk pensiun adalah akhir sebuah era. Era yang sebenarnya ingin ditahan lebih lama lagi oleh nakhoda Chelsea, Emma Hayes. “Saya seperti kehilangan sebuah organ tubuh masuk ke pra-musim. Dia adalah panutan bagi semua pemain. Tapi saya senang dirinya bisa meraih semuanya sepanjang karier dia,” aku Hayes.

***

Setelah 18 tahun menjalani karier sebagai pesepakbola profesional, sekarang saatnya Carney membagi waktu dengan keluarganya. “Sebagai pesepakbola Anda akan menjadi sangat egois. Sekarang saya ingin menghabiskan waktu dengan keluarga dan orang-orang yang sudah mendukung karier selama ini,” aku Carney.

Sepakbola perempuan masih perlu banyak hal. Entah itu di Inggris, Amerika Serikat, apalagi Indonesia. Kepergian Carney ini tentu akan sangat terasa. Terutama bagi the Lionesess dan Chelsea. Namun mungkin kepergian Carney akan mendorong mereka jadi lebih baik lagi. Memastikan perjuangan Carney selama ini tidak akan sia-sia.