Socrates, Sepakbola, dan Revolusi Brasil

Apa yang ada di benak Anda saat mendengar nama Socrates? Apakah Seorang filsuf Yunani yang juga mahaguru Plato? Sepakbola juga sejatinya memiliki Socrates. Kalau ditilik, ia punya kesamaan seperti sang filsuf: pandai berpikir.

Sócrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira, MD., adalah nama lengkapnya. Ia dikenal lewat tendangan keras, penguasaan bola kelas wahid, serta blind pass yang kerap menipu lawan. Ia dikenal dan disandingkan dengan pemain top Brasil lainnya seperti Zico, Eder dan Tite.

Socrates adalah gelandang pengatur serangan dalam formasi W-M yang digunakan Brasil pada medio 1980-an. Sosoknya mudah dikenali karena posturnya yang tinggi menjulang dengan 192 sentimeter. Selain unggul duel udara, Socrates juga mudah dikenali karena tak menggunakan pelindung tulang kering.

Socrates lahir di Belem, Para, bagian utara Brasil pada 1954. Awal karier sepakbolanya terbilang terlambat karena Socrates terlebih dahulu menempuh pendidikan di bidang kedokteran. Itu yang membuatnya berhak menyandang gelar “MD” atau “Medical Degree” dari Faculdade de Medicina de Ribeirao Preto. Socrates juga memiliki julukan Doctor Socrates yang bersumber dari gelar akademik dan pergerakan politiknya.

Socrates merupakan sosok yang memerhatikan politik dan menunjang nilai-nilai demokrasi. Keprihatinannya atas Junta Militer Brasil yang berkuasa sejak 1960-an menghidupkan nalurinya untuk mengubah sistem pemerintahan. Masyarakat Brasil sendiri kala itu menuntut adanya perubahan dalam bidang ekonomi.

Junta Militer Brasil turut mengontrol sepakbola. Corinthians pun demikian. Socrates akhirnya membuat gebrakan. Ia mengunci kamar hotel dan menyablon bagian belakang jersey tim dengan tulisan “Democracia Corinthiana”. Tulisan ini adalah wujud agar sistem negara menjadi demokratis.

Selain tulisan tersebut, Socrates bersama fullback Corinthians, Wladimir, juga menambah sablonan di bawah nomor punggung dengan tulisan “Vote on 15th”. Tanggal tersebut merupakan pemilihan pertama yang dilakukan setelah militer mengambil alih pada 1964. Slogan dari pergerakan demokrasi tersebut dicetuskan oleh Socrates, yaitu “Ganhar ou perder, mas sempre com democracia“, yang artinya menang atau kalah demokrasi selalu menjadi pilihan.

Socrates memperkuat lima kesebelasan sepanjang kariernya: Botafogo, Corinthians, Fiorentina, Flamengo, dan Santos. Ia mengoleksi 60 caps bersama Brasil dan mencetak 22 gol. Angka tersebut terbilang fantastis buat seorang gelandang.

Socrates dikenal karena tendangan kerasnya. Secara fisik, Socrates memang yang paling kuat di Timnas Brasil kala itu. Waldir Peres, penjaga gawang utama Brasil di Piala Dunia 1982, berkelakar kalau ia tak akan menahan tendangan Socrates dan Falcao. Pasalnya, tendangan keduanya merupakan yang paling keras. Sayangnya, perjalanan Brasil di Piala Dunia 1982 gagal meraih gelar Piala Dunia. Mereka tersingkir di babak kedua.

Socrates adalah sosok yang disegani. Ia juga dikenal karena kelemahannya. Mantan pelatih Fiorentina, Giancarlo De Sista, menyatakan kalau Socrates selalu menjadi mentor bagi pemain lain. Ia sopan dan ramah pada semua pemain.

Socrates memang tidak menyumbang gelar bagi Brasil. Namun, adik kandungnya, Raí Souza Vieira de Oliveira, atau biasa dikenal dengan Rai, menyumbang 1 Piala Dunia bersama Brasil pada tahun 1994.

Socrates mengisi waktunya dengan menjadi pengisi artikel di bidang sepakbola dan politik. Ketika Brasil ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014 Socrates sedang menulis cerita fiksi yang sarat kritik terhadap penunjukan Brasil menjadi tuan rumah. Ia merasa banyak prioritas lain untuk memajukan Brasil dibanding menjadi tuan rumah Piala Dunia, seperti pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan.

Socrates juga tidak lepas dari kontroversi. Ia kerap mengkritik Pele yang memang dekat dengan pemerintahan Junta Militer kala itu. Pandangan politiknya juga yang membuat Socrates merasa lebih dekat dengan pimpinan Kuba, Fidel Castro dibanding Pele dan Junta Militer yang berkuasa di Brasil.

Socrates sempat dicalonkan untuk menjadi Presiden Brasil. Bahkan ia dibantu oleh Colonel Gaddafi. Namun, ia menolak mentah-mentah. Socrates merasa kalau ia lebih nyaman untuk mengkritik negara daripada menjadi pemimpin negara itu sendiri.

Salah satu kritiknya untuk Pele adalah dengan menyebutnya “Kapitalis Sampah” saat Pele ditunjuk menjadi Duta Besar Sepakbola Brasil. Meskipun demikian, Pele tetap memasukan nama Socrates ke dalam 100 pemain terbaik sepanjang masa versi FIFA.

Baca juga: Sisi Gelap Sepakbola

Ada yang unik dari Socrates di mana ia adalah perokok dan peminum. Namun, hal tersebut selalu dibantahnya. Ia bilang, “Saya perokok dan peminum. Namun saya tidak pernah ketergantungan. Semuanya hanya sebatas tuntutan sosial pergaulan.”

Sayangnya, kebiasaan tersebut-lah yang pada akhirnya turut berperan dalam kematiannya. Ia wafat pada 2011 lalu karena komplikasi dan keracunan makanan.