Real Mallorca, Kuda Hitam yang Selalu Sial

Foto: El Periodico

Disaksikan langsung oleh 21.210 pasang mata di Estadi de Son Mox, Ante Budimir, Salva Sevilla, dan Abdon Prats, masing-masing mencetak satu gol untuk membawa Real Mallorca menang 3-0 di pertemuan kedua final playoff Divisi Segunda 2019.

Ketiga gol itu berhasil membalikkan keadaan dari pertemuan pertama di mana Els Barralets ditaklukan 0-2 oleh Deportivo La Coruna. Menang 3-2 secara agregat, klub asal Kepulauan Balears itu pun resmi mengakhiri masa pengasingan mereka yang telah berlangsung enam tahun lamanya.

Musim 2019/2020 akan menjadi kampanye ke-28 Els Barralets di divisi tertinggi Spanyol. Terakhir mereka tampil di La Liga, Mesut Ozil masih menjadi andalan Real Madrid. Belum menjadi pemain buangan Jerman dan Arsenal.

Mallorca mungkin bukan kesebelasan ternama di Spanyol. Jangankan level FC Barcelona dan Real Madrid. Mereka bahkan tidak disejajarkan dengan Atletico Madrid, Sevilla, dan Valencia CF yang selalu menjadi perusak persaingan tahta juara di Spanyol. Namun, ada masanya mereka dikenal sebagai kuda hitam La Liga.

Mungkin, bahkan Mallorca bisa disebut sebagai kuda hitam paling sial di La Liga. Lebih sial dari Valencia yang pernah mengalami krisis finansial. Lebih sial dari Villarreal yang pernah beberapa kali terseok-seok. Apalagi dari Super Depor yang pernah merasakan final Liga Champions!

Kuda Hitam La Liga

 

Foto: Futbol Mallorca

Bedasarkan klasemen La Liga sepanjang masa (1928-2019), Mallorca duduk di 20 besar. Mengungguli 41 kesebelasan lainnya yang juga pernah bermain di La Liga. Termasuk Las Palmas yang terlibat dalam 34 musim La Liga. Atau Villarreal yang dikenal sebagai wakil langganan Spanyol di kompetisi antar klub Eropa.

Els Barralets tidak pernah menjuarai La Liga. Satu-satunya piala prestisius dalam kabinet mereka hanyalah Copa del Rey 2002/2003 bersama Gregorio Manzano. Pria kelahiran 11 Maret 1956 ini bukan pelatih ternama. Tidak memiliki latar belakang sebagai pesepakbola profesional. Juga takmemiliki piala untuk membuktikan kualitasnya dari pinggir lapangan.

Bukan sosok yang terlihat layak mengingat sebelumnya Mallorca diasuh pelatih-pelatih tenar seperti Luis Aragones, Hector Cuper, dan Juan Carlos Lorenzo. Aragones ketika itu memang belum menyumbang Piala Eropa untuk tim nasional Spanyol. Tapi setidaknya ia memiliki bekal status sebagai legenda Atletico Madrid yang terbukti berhasil. Baik sebagai permain ataupun pelatih.

Namun, bermodalkan Leo Franco, Albert Riera, Wálter Pandiani, Ariel Ibagaza, dan Samuel Eto’o, Manzano berhasil mengalahkan Real Madrid dan Deportivo sebelum menang telak 3-0 dari Recreativo Huelva di final. Publik Estadi de Son Mox saat itu melihat sebuah harapan. Merasa kesebelasan yang mereka dukung selama ini akan memiliki generasi emas.

Usia Pendek Generasi Emas

Foto: Marca

Tapi kenyataannya, hal itu tak terjadi. Manzano hengkang ke Atletico Madrid setelah juara. Ibagaza mengikuti Manzano ke Vicente Calderon. Riera pergi ke Bordeaux. Lalu semusim kemudian giliran Leo Franco dan Eto’o yang pergi dari Kepulauan Balears.

Hal seperti ini selalu terjadi kepada mereka. Mundur ke 1997/1998, Mallorca yang promosi dari divisi dua mengakhiri musim di peringkat lima klasemen akhir La Liga. Els Barralets juga menembus final Copa del Rey di musim yang sama.

Ketika itu, Mallorca diasuh Hector Cuper. Dibela Juan Valeron, Marcelino, Gabriel Amato, dan Ivan Campo sebagai tulang punggung tim. Musim berakhir, Valeron, Campo, dan Amato pergi meninggalkan klub. Valeron dan Amato mendarat di Kota Madrid untuk dua klub berbeda. Sementara Amato meninggalkan Spanyol dan bermain untuk Rangers.

Cuper masih bertahan di Son Mox, mendatangkan Lauren, Dani Gracia, Ibagaza sebagai pengganti. Prestasi Mallorca meningkat, mereka duduk di peringkat tiga klasemen akhir 1998/1999. Terpaut 13 poin dari Barcelona yang saat itu juara. Selisih dua angka dari Real Madrid dan gagal menembus Liga Champions.

Sebagai bayarannya, Marcelino dan Dani Gracia hengkang dari klub. Disusul Lauren satu musim kemudian. Siapapun nakhoda mereka, hal serupa selalu terjadi. Bahkan  Lorenzo Serra Ferrer yang bisa dikatakan sebagai pembentuk generasi emas Mallorca sebenarnya (1985-1988) merusak warisannya ketika membeli klub pada 2009.

Ketika Legenda Merusak Mallorca

Foto: Ultima Hora

Prestasi Mallorca di bawah kepemilikan Ferrer tidak buruk. Selama lima musim menguasai klub, Mallorca dua kali masuk 10 besar. Bahkan seharusnya mereka lolos ke Liga Europa 2010/2011. Mengakhiri 2009/2010 di peringkat lima klasemen akhir La Liga di atas Atletico Madrid, Athletic Bilbao, dan Villarreal.

Tapi, kata kuncinya adalah ‘seharusnya’. Tiket Europa League Mallorca dioper ke Villarreal karena mereka masalah finansial. Ferrer menyelamatkan Mallorca dari masalah finansial dengan membeli klub dengan dana dua juta Euro pada 2009. Hanya satu tahun kemudian, konsorsium yang ia bawa juga mengalami hal serupa.

Awalnya, Michael Laudrup yang menjadi otak di balik kesuksesan Mallorca pada 2009/2010 yakin tim asuhannya bisa tetap bermain di Liga Europa. “Saya optimis, masalah ini tidak akan bertahan lama. Kami akan mewakili Spanyol di Liga Europa,” kata Laudrup.

Hal itu tidak terjadi, Laudrup pun pergi meninggalkan klub. Opini publik tentang Ferrer berubah drastis. Masalah ini terus berlangsung hingga 2014. Akhirnya, Ferrer pun mundur dan menjual Mallorca.

“Saya tak bisa lagi terlibat di dalam klub ini. Pada tahun pertama, kami sebenarnya memiliki keuntungan 25 juta Euro. Tapi saat kami membeli Mallorca, klub ada dalam hutang 78 juta Euro. Kami harus melakukan apa yang harus dilakukan,” jelasnya.

Tindakan yang harus mereka lakukan untuk menutup kredit itu termasuk tidak membayar gaji pegawai. Bukan hanya pemain tapi juga mereka yang tidak terlihat di atas lapangan.

Harapan Baru dari Steven Nash dan Kawan-Kawan

Foto: Mirror

Beruntung, tidak lama setelah dilepas Ferrer, Mallorca jatuh ke tangan konsorsium Steve Nash dan Stuart Holden yang benar-benar ingin membangkitkan klub.

“Saya tidak seperti pemilik Amerika Serikat lainnya. Saya tidak datang ke sini untuk cari keuntungan. Uang bukanlah masalah. Saya hanya ingin melihat klub dan daerah ini jadi lebih baik. Jika saya bisa membantu, itu adalah hal yang luar biasa,” kata Nash.

Musim pertama di bawah kepemilikan Nash dan kolega, Mallorca turun ke divisi tiga Spanyol. Tapi mereka datang di tengah masa sulit. Perlahan orang-orang yang sudah memiliki pengalaman menangani tim basket NBA, Phoenix Suns, membangun kembali Mallorca. Dalam waktu tiga setengah tahun, Mallorca dua kali promosi hingga masuk La Liga lagi.

Pertanyaannya, bisakah Steve Nash dan kawan-kawan memaksimalkan potensi Els Barralets? Ataukah cerita yang sama akan kembali terulang seperti biasa? Pasalnya, beberapa pemain Mallorca sudah jadi incaran klub lain. Terutama Joan Sastre yang kabarnya dipantau oleh Real Madrid, Barcelona, dan Manchester United.