Mengenang Persib vs PSMS 1985, Rekor Penonton Terbanyak di Final

Foto: Haurpugur.blogspot.com

PSSI hanya mencetak 106 ribu lembar tiket, Tabloid Bola menyebut jumlah penonton yang hadir sebanyak 125 ribu. Di sisi lain, orang-orang mengatakan kalau penonton yang hadir mencapai 150 ribu penonton sementara kapasitas Stadion Utama Senayan saat itu bisa menampung 120 ribu penonton.

Hingga saat ini, belum ada kepastian mengenai berapa jumlah resmi penonton yang hadir pada pertandingan final Perserikatan antara PSMS Medan melawan Persib Bandung pada tahun 1985. Bahkan PSSI saja tidak mempunyai data yang valid. Namun menurut buku tahunan yang dirilis oleh AFC, final ini merupakan pertandingan yang bisa menyedot penonton terbanyak untuk sebuah kompetisi yang statusnya masih amatir. Bahkan belum ada yang bisa mengalahkan catatan tersebut hingga saat ini.

Baca juga: Terima Kasihku untuk Tabloid BOLA, dalam Bentuk yang Lain

“Diluberi rekor amat luar biasa, sekitar 150 ribu penonton, hingga Guines Book of Record terpaksa harus mengubah rekor penonton terbesar dalam pertandingan sepakbola, para pendukung Medan berpesta pora,” begitulah judul Harian Kompas pada 24 Februari 1985 untuk menggambarkan pertandingan tersebut.

Ayam Kinantan dan Maung Bandung adalah dua tim hebat yang dimiliki Indonesia pada era 80-an. Sebelum final tahun 1985, kedua kesebelasan ini sudah dua kali bertemu pada 1966/1967 dan 1983. Keduanya dimenangi oleh PSMS. Mereka menang 2-0 pada 1967 dan 3-2 melalui drama adu penalti dalam pertandingan yang terjadi pada tahun yang sama saat Indonesia dilintasi gerhana matahari total.

Saking antusiasnya penonton, final 1985 nyaris tak digelar. Masih berdasarkan Harian Kompas, ribuan penonton sempat ingin merangsek masuk dengan mendobrak pintu pada bagian barat stadion. Mereka yang memaksa masuk justru adalah penonton yang sebenarnya memiliki tiket. Hal ini membuat petugas keamanan begitu kewalahan sehingga jadwal sepak mula harus mundur beberapa menit dari yang semula akan dilakukan pada pukul 7 malam.

Bahkan para pemain kesulitan untuk keluar dari ruang ganti karena akses ke stadion dari bawah sudah tertutup oleh para penonton. Bahkan mereka harus turun ke lapangan dari atas tribun. Itu semua terjadi karena antusiasme pecinta sepakbola Indonesia yang begitu besar dalam menyaksikan dua tim bersejarah ini.

“PSMS dan Persib adalah dua kesebelasan legendaris yang memiliki nama besar di tanah air,” tutur salah satu pemain PSMS, Sunardi, seperti dilansir dari Waspada.

Apresiasi patut diberikan kepada petugas keamanan. Hanya dalam tempo 10 menit, penonton yang semakin mendekati lapangan bisa disterilkan hingga ke sentelban. Sekitar 40 ribu penonton menyaksikan laga tersebut dari pinggir yang diawasi oleh beberapa petugas keamanan.

Selain sarat sejarah, dua tim ini juga diisi oleh pemain-pemain bintang. Persib punya Ajat Sudrajat, Wawan Karnawan, Iwan Sunarya, Robby Darwis, dan penjaga gawang legendaris, Sobur. Sementara PSMS memilik penjaga gawang tim nasional, Ponirin Meka, Hadi Sakiman, Amrustian, dan M. Sidik.

Mengingat final digelar di Jakarta, maka penonton yang hadir mayoritas datang dari Bandung. Jarak yang tidak terlalu jauh membuat Senayan saat itu berwarna biru. Banyaknya pendukung Persib yang hadir diharapkan bisa membalaskan kekalahan mereka pada dua pertemuan sebelumnya. Toh, banyak yang mendukung Maung Bandung alih-alih PSMS yang sebenarnya juara bertahan.

Namun yang terjadi, PSMS justru membuka keunggulan terlebih dahulu. Skuad asuhan Parlian Siagian ini mencetak gol pertama kali melalui sepakan M. Sidik yang tidak bisa dihalau oleh Sobur. Sidik pula yang mencetak gol kedua pada menit ke-34 setelah memanfaatkan asis Nirwanto. Skor 2-0 bertahan hingga jeda babak pertama.

Pada 45 menit kedua, Persib mulai mengambil inisiatif untuk mengejar ketertinggalan. Namun skuad arahan Nandar Iskandar ini baru bisa mencetak gol pada menit ke-65 melalui sepakan penalti Iwan Sunarya. 11 menit kemudian, Ajat Sudrajat sukses membawa kedudukan menjadi seimbang setelah memanfaatkan sepak pojok Iwan. Persib bahkan bisa mencetak gol ketiga apabila wasit tidak menganulir gol dari Robby Darwis.

Hingga menit ke-90, kedua kesebelasan sama-sama tidak bisa menambah gol. Pertandingan kemudian berlanjut ke babak perpanjangan waktu. Tensi pertandingan yang semakin meninggi sempat membuat Nirwanto dan Kosasih terlibat perkelahian, namun wasit Djafar Umar berhasil melerai keduanya. Keributan juga sempat terjadi ketika Robby Darwis menendang penjaga gawang Ponirin.

Tensi yang tinggi muncul karena dua tim ini memiliki tipe permainan yang berbeda. Persib dikenal sebagai tim yang menganut permainan teknik tinggi yang disertai dengan umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki. Sementara PSMS dikenal sebagai tim rap-rap yang mengutamakan permainan fisik nan keras.

Hingga 120 menit pertandingan, skor tetap sama 2-2. Hal ini mengulangi apa yang terjadi pada dua tahun sebelumnya ketika final harus ditentukan melalui adu penalti. Namun Iwan Sunarya, yang mencetak gol pada waktu normal, justru gagal mengeksekusi dengan baik setelah bola membentur tiang. Beruntung sepakan pertama PSMS, Sunardi, juga gagal menjadi gol.

Eksekutor kedua Persib, Ajat Sudrajat, sukses mencetak gol. Angin kemudian berpihak kepada Persib setelah penendang kedua PSMS yaitu Amrustian gagal menjalankan tugasnya. Namun keunggulan Persib tidak bisa digandakan oleh Adeng Hudaya selaku penendang ketiga. Sialnya, PSMS sukses menyamakan kedudukan melalui Musimin.

Baik Ponirin maupun Sobur memang layak disebut sebagai salah satu kiper terbaik tanah air. Keduanya sukses membaca sepakan keempat masing-masing lawannya. Ponirin sukses membaca sepakan Dede Iskandar, sementara Sobur menahan eksekusi Nirwanto.

Akan tetapi, Ponirin menjadi pemain yang tersenyum paling akhir. Ia sukses menepis sepakan Robby Darwis. Sementara Sobur gagal menahan bola sepakan Mamek Sudiono. Sepakan Mamek membawa Ayam Kinantan juara Perserikatan untuk yang keenam kalinya.

PSMS bergembira sementara Persib gagal untuk kedua kalinya secara beruntun. Ini adalah kekalahan Persib yang keempat secara beruntun dalam partai final Perserikatan. Namun satu hal yang menarik, final pada 1985 ini menjadi momen hebat bagi para penonton yang hadir di Senayan.

Kedua pendukung pulang dengan tenang tanpa adanya kerusuhan yang ditakutkan akan terjadi. Padahal sepanjang gelaran Perserikatan musim 1985, kerusuhan sudah menjadi makanan sehari-hari. Pada fase penyisihan hingga babak enam besar, kerusuhan sempat terjadi di beberapa tempat penyelenggara yaitu Aceh, Makassar/Ujung Pandang, Jakarta, dan Surabaya.

Sumber: Bola, Kompas, Pikiran Rakyat, FourFourTwo