Piala Dunia 1950: Aksi WO, Tumbangnya Raja Sepakbola, dan Kesombongan Brasil

Sempat vakum selama kurang lebih satu dekade karena Perang Dunia II, FIFA, dalam kongresnya pada 1946, berniat untuk menggelar kembali Piala Dunia keempat. Awalnya bukan Piala Dunia 1950, tetapi Piala Dunia 1949 dengan Brasil sebagai tuan rumah. Pemilihan Brasil sebagai tuan rumah disebabkan karena negara lain tidak mau menjadi penyelenggara dikarenakan belum pulih dari perang. Sementara Brasil sudah memberikan proposal sejak 1942.

Akan tetapi, pada kongres di tahun 1947, panitia penyelenggara Piala Dunia Brasil meminta pengunduran jadwal menjadi 1950 yang kemudian disetujui FIFA. Hal ini dikarenakan mereka belum siap dengan infrastruktur yang ada. Kontroversi tidak berhenti sampai di situ. Sistem gugur yang dipakai dalam dua turnamen sebelumnya dianggap tidak memberikan untung bagi Brasil. Mereka kemudian meminta FIFA mengubah sistem menjadi setengah kompetisi.

Brasil ngambek dan mengancam FIFA apabila permintaan mereka tidak disetujui maka tidak ada Piala Dunia di Brasil. Otoritas tertinggi sepakbola dunia tersebut mengalah yang membuat Henri Delaunay, Wakil Presiden FIFA saat itu, mengundurkan diri.

Negara yang Mengundurkan Diri

Masalah tidak berhenti sampai disitu. Belum pulihnya negara-negara pasca perang membuat proses kualifikasi harus digelar seadanya. India, yang berada di zona Asia lolos tanpa bertanding dikarenakan Indonesia, Myanmar, dan Filipina menarik diri dari kualifikasi Piala DUnia 1950. Hal serupa juga terjadi kepada Belgia, Syria, dan beberapa negara lain termasuk Argentina yang menolak main.

Jelang turnamen pun, 3 dari 16 negara kembali mengundurkan diri. India tidak mau tampil apabila mereka dilarang main tanpa sepatu meski kemudian hal ini dibantah. India mengonfirmasi mereka lebih fokus ke Olimpiade dan terkendala biaya perjalanan yang mahal. Skotlandia termakan gengsi dengan hanya ingin ikut Piala Dunia kalau mereka menjadi juara British Home Championship 1949 (mereka hanya runner up). Sementara Turki mundur karena alasan dana. Italia bahkan hampir tidak mau ikut dikarenakan separuh skuad mereka tewas akibat tragedi Superga.

Piala Dunia 1950 hanya diisi 13 negara membuat susunan grup menjadi tidak lengkap. Grup C hanya tiga peserta sementara Grup D hanya diisi Uruguay dan Bolivia. Akan tetapi, dalam Piala Dunia keempat ini, Inggris tampil untuk pertama kalinya.

Kala Raja Kalah dari si Amatiran

Tim Tiga Singa saat itu disebut-sebut sebagai “Raja Sepakbola”. Skuat mereka diisi oleh nama-nama pemain hebat saat itu macam Tom Finney, Stanley Matthews, Bill Nicholson, Stan Mortensen, serta Alf Ramsey. Mewahnya isi skuad mereka membuat Inggris dicalonkan sebagai juara. Skuad asuhan Walter Winterbottom mengawali langkah mereka dengan baik saat mengalahkan Cile 2-0.

Pada pertandingan kedua, Inggris bertemu Amerika Serikat. Kemenangan di partai pertama membuat kepercayaan diri mereka meningkat mengingat level USA jauh di bawah Chile. Entah terlalu percaya diri, salah satu staf Inggris, Arthur Drewry, seperti dijelaskan dalam buku The Story of World Cup, meminta Walter mengistirahatkan bintang mereka Stanley Matthews.

Inggris sebenarnya masih di atas angin dengan banyaknya peluang yang mereka ciptakan. Akan tetapi, semuanya mentah di tangan Frank Borghi. Petakan justru menghampiri mereka di menit ke-37. Joe Gaetjens mencetak gol untuk Amerika dan membuat kedudukan 1-0 bertahan hingga akhir. Raja tumbang oleh negara yang tidak menjadikan sepakbola sebagai olahraga favorit.

Yang paling menyesakkan, kekalahan ini terjadi dua pekan setelah mereka membantai Portugal 10-0 di Lisbon. Luka mereka semakin perih ketika mengetahui isi skuat USA diisi pemain-pemain amatir. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai guru, supir mobil jenazah, serta pekerja kantoran.

Daily Mirror yang mendapat kabar terkait hasil pertandingan tersebut menganggap hasil 1-0 untuk USA adalah lelucon. Diceritakan oleh Ken Jones, sang editor saat itu mengambil pena dan menambahkan angka 1 di depan angka 0 milik Inggris. Dia menganggap pemberi pesan salah memberikan informasi.

Kepongahan Brasil Berujung Petaka

Setelah fase grup Piala Dunia 1950 rampung, munculah empat negara yang masuk grup final yaitu Uruguay, Brasil, Swedia, dan Spanyol. Setelah dua pertandingan, Brasil memimpin grup dengan empat poin dari dua kemenangan (menang mendapat dua poin) sementara Uruguay menguntit dengan tiga poin. Keduanya bertemu di pertandingan terakhir dengan hasil seri cukup bagi Brasil menjadi juara.

Euforia Brasil begitu terlihat meski laga final belum dilangsungkan. Pada beberapa festival di Rio de Janeiro, kerap muncul spanduk bertuliskan “Brasil akan berpesta” atau “Brasil Juara Dunia”. Diceritakan dalam buku The Saga of Brazil, harian O Mundo bahkan memajang foto skuad Brasil dengan keterangan “Inilah sang juara dunia”.

Beberapa menit sebelum sepak mula. Walikota Rio, Angelo Moraes dengan pengeras suara mengucap “Kalianlah juara dunia” dengan diiringi pelepasan balon seremonial dengan poster bertuliskan Viva O Brasil.

Sementara di ruang ganti Uruguay, kapten Obdulio Varela gerah dengan jemawanya sikap Brasil. Untuk meredakan ketegangan, ia mengambil surat kabar O Mundo dan dijadikan alas untuk buang air kecil. Hal ini kemudian diikuti rekan-rekannya sebagai tanda kalau mereka tidak takut.

Benar saja, Uruguay mampu membuat skor masih sama kuat 1-1. Brasil masih aman untuk jadi juara dunia. Sampai pada menit ke-79, garis tangan mereka yang sudah menjadi pemenang berubah menjadi pecundang.

“Gigghia membawa bola dari tengah, berlari, berlari, dan terus berlari. Dia menendang dan……… Gol untuk Uruguay? Gol Uruguay? Ya, gol untuk Uruguay,” inilah ucapan Luiz Mendez yang ketika itu menjadi komentator pertandingan di radio Globo. Mendez sampai enam kali mengucapkan kata “gol untuk Uruguay” menandakan rasa ketidakpercayaannya.

“Saya terguncang. Sejuta kali saya berpikir maka sejuta kali saya tidak bisa menerima kejadian itu,” ujarnya.

Maracana berubah, dari tawa menjadi tangis, dari gembira menjadi sendu. Seorang antropolog bernama Nelson Rodriguez menyebut kalau tragedi Maracana lebih parah ketimbang tragedi Hiroshima dan Nagasaki.

Brasil terguncang. 11 pemain yang bermain menjadi kambing hitam. Yang lebih parah tentu Moacir Barbosa, sang penjaga gawang. Ia menjadi terpidana seumur hidupnya. Kegagalan Moacir membuat Brasil tidak ingin menggunakan penjaga gawang berkulit hitam sampai akhirnya masuk Dida pada Piala dunia 2006.

Sedih di Brasil, gembira bagi Uruguay. Di saat 200 ribu warga Maracana menangis, kapten Obdulio Varela mengangkat Jules Rimet dengan senyum mengembang. Alcides Ghiggia menjadi pahlawan berkat golnya yang membuat seluruh masyarakat Brasil terdiam.

“Hanya ada tiga orang yang bisa membungkam Maracana. Frank Sinatra, Paus, dan saya Alcides Ghiggia,” ujarnya balik menyombongkan diri kepada Brasil.

Seri dan Sejarah Piala Dunia:

(1) Piala Dunia 1930: Rumit, Perjalanan Jauh, Serta Final Dua Bola
(2) Piala Dunia 1934: Mussolini, Oriundi, Hingga Hukuman Mati
(3) Piala Dunia 1938: Diundi Cucu, Debut Indonesia, Dan Sensasi Leonidas