Kisah para underdog yang berhasil mencuri perhatian selalu hadir tiap musim. Bila dihitung sejak lima tahun terakhir, hadir nama Leicester City, Burnley, Wolves, dan kini sambutlah nama terbaru: Sheffield United.
Anda boleh sinis ketika berbicara mengenai tim berjuluk The Blades ini, namun pegang kata-kata saya: Sheffield United bukan sekadar tim kuda hitam biasa. Musim ini boleh dibilang layaknya sirine lampu peringatan bagi tim-tim lain di Premier League.
Berada di bawah asuhan pelatih asli Inggris yang telah lama makan asam garamnya kompetisi lower–league dan bekerja dibawah tekanan serta sumber daya yang terbatas, membuat Sheffield adalah kekuatan alternatif yang patut diwaspadai tak hanya klub-klub Inggris, namun juga klub lain Eropa di musim depan.
Blades Bukan Tim Kaya yang Sembrono
Tim-tim di Premier League sudah pasti dimiliki oleh para milyarder bahkan triliuner. Berlaga di liga terpopuler di muka bumi ini membutuhkan gelontoran paun yang sangat banyak. Namun persoalannya, adalah bagaimana para orang kaya tersebut mampu menahan syahwat kekuasaannya di klub mereka masing-masing. Tengok bagaimana Manchester City, tim yang juga dimiliki oleh keluarga kerajaan asal Timur Tengah. Ketika uang bukan jadi soal, orang kaya ini seolah mampu membeli trofi dengan tumpukan paun di rekeningnya.
Sang pemilik adalah Pangeran Abdullah bin Musa’ad bin Abdulaziz Al Saud. Sempat hanya memiliki separuh saham dan sengketa kepemilikan di pengadilan, akhirnya cucu pendiri kerajaan Saudi Arabia ini dinyatakan menang dan berhak membeli saham secara penuh pada September 2019 silam.
Sebagai klub yang dimiliki pengusaha Timur Tengah, visi serta strategi yang dijalankan Sheffield terbilang mengherankan. Bahkan ketika resmi bermain di Premier League, mereka tak menghabiskan uang di bursa transfer secara gila-gilaan. Ini membuktikan bahwa The Blades dijalankan dengan benar-benar profesional, tanpa intervensi berlebih dari pemiliknya.
Sheffield seakan tampil rendah hati dan organik. Semua keberhasilan yang mereka raih dalam 3 musim terakhir adalah proses yang berdarah-darah. Penunjukan manajer pun dilakukan dengan bijak. Alih-alih memboroskan uang dengan mengontrak pelatih asing mahal, Sheffield memutuskan untuk menunjuk Chris Wilder, eks pemain mereka untuk mengantikan Nigel Adkins di 2016 lalu.
Pun dengan persoalan perkrutan pemain. Sheffield United kini memiliki persentase pemain Britania tertinggi di Premier League dengan 87 persen. Dari total 26 pemain yang didaftarkan, hanya 6 pemain yang berasal dari negara non Britania Raya dan Irlandia. Fakta lainnya, mereka hanya memiliki 1 pemain non-Britania di starting XI reguler musim 2019/2020 ini, yaitu Lys Mousset, striker berkebangsaan Prancis yang direkrut dari AFC Bournemouth.
Musim 2019/2020 ini pun Sheffield hanya membelanjakan 43 juta euro di bursa transfer musim panas dengan prioritas membeli dua striker tajam yang telah terbukti di tanah Inggris, Oli McBurnie dari Swansea dan Lys Mousset dari Bournemouth. Baru di bursa transfer Januari mereka sedikit melakukan “pemborosan” dengan merekrut gelandang timnas Norwegia, Sander Berge dengan memecahkan rekor transfer klub yakni 21,5 juta euro.
Selama Dilatih Wilder, Sheffield United Akan Terus Berkibar
Kalimat di atas bisa jadi sebuah kalimat hiperbola yang meluncur dari jari-jari saya ketika mengetik tulisan ini. Namun saya akan menjelaskan mengapa Wilder memiliki potensi untuk ini.
Chris Wilder bukanlah lahir dari generasi pelatih muda yang kini sedang meroket macam Pep Guardiola, Juergen Klopp, atau Frank Lampard. Pria yang kini berusia 52 tahun ini perlu jatuh bangun untuk membuat karier manajerialnya established seperti sekarang. Ia perlu menghabiskan waktunya melatih di kompetisi semi-profesional macam National League, Conference, League Two, hingga akhirnya menaiki tangga tersebut dalam waktu yang singkat dengan Sheffield dalam waktu yang singkat, 3 musim saja. Sejauh ini, belum ada klub Inggris yang mampu naik dua divisi dalam 3 musim.
Wilder sadar betul akan arti penting stabilitas tim. Maka ia tak serta merta merombak pemain-pemain dengan level divisi bawah. Hal tersebut juga dibantu oleh sosok Billy Sharp sebagai pemimpin di lapangan dan ruang ganti. Striker yang kini berusia 34 tahun ini langsung ditunjuk menjadi kapten tim ketika Wilder datang ke Brammal Lane. Sosok Billy Sharp diyakini para pundit sebagai salah satu kunci keberhasilan Wilder meraih pencapaian mengesankan bersama Blades.
Tak seperti pelatih Inggris old–school lainnya yang tetap keukeuh dengan pola 4-4-2, Wilder seakan memberi jari tengah kepada klub-klub Inggris dengan pola 3-5-2 nya. Apalagi dengan peran False five yang ia populerkan bersama Sheffield dan berbuah kesuksesan promosi 3 musim berturut, ini menandakan bahwa Wilder bukan pelatih biasa-biasa.
Terlintas, formasi yang diusung Wilder tak berbeda dengan apa yang dilakukan Antonio Conte bersama Chelsea, atau Louis van Gaal ketika masih menukangi Manchester United. Apa yang jadi berbeda, Wilder membuat timnya berbaris dalam pola 3-4-1-2, bervariasi antara 3-5-2 dan 5-3-2. Namun, alih-alih terpaku dengan posisi dan formasi, justru Wilder membuat peran yang terbukti relevan dibanding formasi. Dia memiliki bek tengah ke depan dari kanan dan kiri dari 3 bek; mereka diberikan wewenang untuk terlibat dalam serangan, membawa bola keluar dari pertahanan dan membantu bek sayap.
Bahkan berkat penemuan taktiknya, media Inggris seperti Guardian dalam artikelnya November 2019 menyebut Wilder sebagai “inovator taktik terbaik di Premier League setelah Pep Guardiola”. Racikan starting Blades dibawah Wilder juga terbilang nekat: 10 dari 11 pemain starting adalah pemain yang musim lalu bermain di divisi Championship.
Baca juga: Chris Wilder, False Five, dan Upayanya Mendobrak Mediokritas Bersama Sheffield
Pun dengan kecintaannya yang besar kepada Sheffield United. Selain lahir dan tumbuh besar di sana, masa bermain profesionalnya pun paling banyak ia habiskan di klub rival sekota Wednesday tersebut. Bahkan, Wilder sampai memiliki tato logo Sheffield United di tubuhnya. Ia melakukannya bukan karena mengidolai Blades, namun karena kerja keras dan pencapaiannya bersama klub tersebut selama beberapa tahun terakhir.
Dengan sementara bertengger di zona Europa League pada pekan ke-26, tentu peluang untuk berlaga di Liga Champions masih terbuka lebar. Ada sisa 12 laga yang masih bisa diselesaikan dnegan manis, apalagi setelah sanksi UEFA terhadap Manchester City yang dilarang tampil pada seluruh turnamen Eropa. Peluang Wilder untuk mencatatkan namanya sebagai legenda Sheffield semakin terbuka lebar, asalkan mampu menjaga konsistensi.
Blades (Terlihat) Siap Menantang Liga Champions
Sheffield musim ini memang istimewa, pun dengan Wilder. Namun secara tim, mereka memang layak untuk berlaga di kompetisi Eropa. Blades memang benar-benar membuktikannya musim ini. Secara statistik, Blades tampil dengan catatan defensif yang luar biasa. Hingga pekan ke-26, mereka menjadi tim dengan rekor kemasukan terendah kedua dengan 26 gol.
Soal mencetak gol, mereka tak bergantung kepada 1 atau 2 pemain saja untuk mencetak gol. Sejauh ini Blades mencatatkan nama John Fleck dan Lys Mousset (5), Oli McBurnie (4), John Lundstram (4), George Baldock dan Billy Sharp (2).
Bermodalkan hal-hal tersebut, nampaknya Wilder dan anak asuhnya tinggal perlu konsisten meraih poin dalam setiap sisa pertandingan di musim ini. Atmosfer penuh passion dan kerja keras di tubuh Sheffield United sekarang memang sudah selayaknya membawa mereka ke level yang lebih tinggi, bukan sekadar tim underdog musiman yang hadir silih berganti. Pemilik kaya raya, pelatih yang jenius dan penuh cinta, serta para pemain yang mengharumkan nama Britania. Tunggu apalagi, Blades?