Memahami Alasan Para Orang Kaya Membeli Klub Sepakbola di Inggris (1)

Foto: Irish Times

Kabar penjualan klub Newcastle United kepada salah satu Sheikh dari Abu Dhabi baru-baru ini, tentunya memberikan antusiasme tinggi bagi penggila sepakbola khususnya peminat Premier League yang tersohor. Bisa dibayangkan jadinya, dengan bertambahnya investasi di Premier League, pesona liga terpopuler di muka bumi ini makin berada di atas angin dengan kedatangan para bintang mahal di lapangan hijau.

Tapi ada yang luput dari sorotan. Jika nanti akhirnya Mike Ashley undur diri dari Newcastle United, maka berkuranglah satu nama asli Inggris yang memiliki klub Premier Leeague. Bisa dipastikan kekuatan investor asing semakin “mencengkram” Premier League.

Tercatat pada musim 2018/2019 yang baru saja berakhir, hanya ada: Brighton, Burnley, Huddersfield, Spurs, West Ham, dan Newcastle yang saham mayoritasnya dipegang oleh orang berkebangsaan Inggris atau Britania Raya. Dengan ata lain, ada 12 klub atau 66 persen klub di kompetisi teratas Inggris yang dikuasai pemilik non-Britania.

Mirisnya, jumlah tersebut tidak berbanding jauh bila digabung dengan klub peserta Divisi Championship yang artinya 26 klub atau 62 persen dari 42 klub di dua divisi teratas Inggris dimiliki oleh pengusaha luar Britania Raya.

Itu adalah peningkatan yang masif dalam kurun 15 tahun saja, mengingat sebelum kedatangan milyuner Rusia berdarah Yahudi, Roman Abramovich pada 2003. Saat itu semua klub Inggris dimiliki oleh orang Britania, kecuali Fulham yang sempat diakuisisi Mohamed Al Fayed pada 1997.

Mengapa sih mempermasalahkan kepemilikan klub? Bukankah semua pemilik klub memiliki motif yang sama? Bukankah semua ingin klub sepakbolanya mau dan meraih trofi sebanyak-banyaknya?

Di atas kertas, masuknya para pengusaha yang berinvestasi di sepakbola Inggris adalah indikator bagi majunya sektor industri sepakbola mereka. Dana berjuta bahkan miliaran poundsterling mengucur deras demi mengatrol prestasi juga prestise klub. Pun demikian, ada hal yang harus disadari, bahwa pemilik asing ini kadang melupakan tradisi atau kekuatan klub yang didasari oleh kekuatan komunitas didalamnya.

Masih ingat dengan kejadian protes fans Cardiff karena Vincent Tan, pemilik klub asal Malaysia yang sekonyong-koyong mengubah warna seragam tim menjadi merah dan mengubah logo naga Wales menjadi naga Tiongkok karena dianggap lebih hoki dan marketable di pasar Asia? Atau kontroversi Asser Allam, pemilik klub Hull City yang keukeuh ingin mengubah nama klub menjadi Hull Tigers demi memancing pasar Amerika?

Hal tersebut tak akan kejadian bila klub mereka dimiliki orang Inggris, yang secara kultur lebih menghargai kesakralan dan sejarah suatu klub. Karena identitas dan sepakbola adalah hal yang tak bisa dipisahkan.

Si Sukses dan Si Malang

Mari kita anggap Roman Abramovich dan Chelsea-nya serta Sheikh Mansour dengan Man City-nya adalah contoh pengelolaan klub yang benar (secara bisnis dan prestasi) dari berbagai pemilik asingnya.

Lalu bagaimana dengan klub-klub lainnya?

Leicester City tentunya akan menjadikan Vichai Srivaddhanaprabha sebagai legenda karena menghantarkan The Foxes menjuarai Liga Inggris untuk kali pertama. Jangan lupakan juga kehadiran klub minim prestasi seperti Bournemouth dan Watford di Premier League tak bisa dielakkan berkat investasi pemilik asingnya. Tengok Wolverhampton Wanderers yang disulap menjadi kuda hitam berkat sokongan milyaran paun dari brankas milik Fosun International dan “bantuan” dari relasi agen sepakbola top, Jorge Mendes.

Namun jangan dilupakan, bahwa contoh di atas hanyalah segelintir dari cerita sukses bagi klub-klub di Premier League.

Arsenal yang kian berbintang nyatanya tak kunjung meraih trofi Premier League sejak kepemilikan Stan Kroenke. Dengan investasi yang besar, Arsenal memang berubah menjadi klub modern, dengan stadion dan fasilitas bintang lima. Namun berbicara prestasi, masih terlalu dini membicarakannya. Secara brand image, Arsenal tak dipungkiri merupakan salah satu brand kuat di sepakbola dunia. Tapi apakah fans mereka menginginkan itu? Mereka ingin trofi!

Liverpool malah telah berganti dua kali kepemilikan Amerika Serikat sejak 2007, yakni Gillet-Hicks dan kini oleh Fenway Group, dan hanya menghasilkan 1 trofi Piala Liga (kini berpeluang meraih trofi Liga Champions). Malah, Liverpool menjadi juara Liga Champions ketika masih dimiliki oleh keluarga Moores. Fans Liverpool sudah lelah untuk mengucapkan: “next year will be our year!

Pemilik asing di Inggris bahkan lebih banyak membuat malapetaka bagi klub, terutama di kompetisi Championship. Salah satu penyebabnya, sudah tentu iming-iming uang yang didapat bila klubnya promosi. Tragisnya, karena hal tersebut berbuah mismanajemen yang berakibat merosotnya prestasi klub atau lebih buruk lagi, kebangkrutan.

Aston Villa mengalami penurunan prestasi dan akhirnya terdegradasi sejak kedatangan pengusaha Amerika Serikat, Randy Lerner pada 2006. Leeds United tak kunjung membaik sejak diambil alih oleh GFH Capital asal Qatar dan Massimo Cellino. Kini di tangan Andrea Radrizzani, Leeds tak kunjung kembali ke “habitat” aslinya.

Belum lagi bila membahas catatan buruk konglomerasi India, Venky’s Group yang memiliki saham di klub juara Premier League 1995, Blackburn Rovers. Juara Inggris 6 kali, Sunderland harus berdarah-darah turun ke League One dalam 12 bulan kalender saja di era Ellis Short. Hal yang sama juga dialami Charlton Athletic sejak kepemilikan pengusaha Belgia, Roland Duchatelet. Belum lagi kisah tragis Birmingham City ditinggalkan pemiliknya asal Hong Kong yang ditahan kepolisian karena kasus pencucian uang.

Belum selesai. Ada lagi cerita tentang Portsmouth, klub yang sempat menjadi kuda hitam dan tenggelam satu dekade lamanya sejak kepemilikan pengusaha Emirat, Sulaiman Al-Fahim yang menyebabkan kebangkrutan. Prestasi mereka tak kunjung naik dengan datangnya pengusaha asing selanjutnya. Tercatat nama Ali Al-Faraj serta Vladimir Antonov yang pernah mencoba peruntungan di Fratton Park, sebelum akhirnya diakuisisi CEO Disney, Michael Eisner yang ironisnya juga pemilik asing.

Baca bagian selanjutnya mengenai orang kaya dan pencitraan publik dengan membeli klub di Inggris: Memahami Alasan Para Orang Kaya Membeli Klub Sepakbola di Inggris (2)