Memahami Alasan Para Orang Kaya Membeli Klub Sepakbola di Inggris (2)

Baca bagian pertama dari serial ini mengenai para pemilik yang gagal dan berhasil: Memahami Alasan Para Orang Kaya Membeli Klub Sepakbola di Inggris (1)

Jika mengelola sebuah klub tak semudah yang dibayangkan, mengapa sepakbola Inggris bergitu diminati para konglomerat ini?

Hal yang paling masuk akal, adalah naiknya nilai jual klub Inggris terutama setelah invasi Sky Sports (British Sky Broadcasting) pada 1992 dan melahirkan liga baru, yakni Premier League. Sejak resmi menjadi kompetisi divisi teratas Inggris, semua tak pernah lagi sama. Popularitas klub Inggris menjadi naik. Jangan bayangkan orang-orang Asia -yang jadi sasaran empuk barang dagangan klub Premier League-, bisa mengenal apa itu Manchester United, Liverpool, Arsenal, Newcastle, atau Blackburn Rovers kalau bukan karena andil Sky.

Penetrasi Sky TV pula yang akhirnya “menumbangkan” kedigdayaan kompetisi Italia, Serie-A pada akhir 90-an yang sempat penuh bintang. Dengan bertambah populer dan banyak ditonton, klub-klub Inggris menjadi magnet sponsorship dan berimbas pada naiknya value sebuah klub.

Rob Wilson, pakar keuangan sepakbola di Sheffield Hallam University memperkuat argumen ini. “Ada dua hal mengapa ini terjadi [maraknya kepemilikan asing]. Salah satunya adalah bahwa klub-klub ini jauh lebih mahal daripada sebelumnya dan sebagai hasilnya, jauh lebih sedikit investor potensial Inggris yang mampu membelinya.

“Yang kedua adalah bahwa dampak dari exposure televisi berarti keuntungan lebih besar lebih dari yang bisa dibayangkan oleh siapa pun. Pasti juga ada uang yang dihasilkan dengan membeli klub sepak bola sebagai hasil dari kesepakatan hak siar televisi baru-baru ini.”

Sebagai catatan, kini Premier League disiarkan di 212 negara dan wilayah di seluruh dunia (catatan: negara anggota PBB hanya ada 193 negara). Popularitas Premier League  yang terus meningkat telah menyebabkan nilai total hak siar melonjak dari £ 51 juta setahun di kurun waktu 1992-1997 menjadi £ 2,75 miliar di taun 2018.

Pemilik sepakbola saat ini bahkan tidak perlu menjalankan klub mereka dengan baik untuk menghasilkan uang. Bagaimana bisa?

Sebagai contoh, pada 2007, Mike Ashley membeli Newcastle seharga £ 134,4 juta. Sekarang, ia membandrol sekitar 400 juta paun untuk siapapun yang akan membeli The Magpies. Jadi setelah 11 tahun( dan dua kali terdegradasi), Ashley bisa menggandakan uangnya secara riil.

Fenomena sepakbola sebagai bisnis ini juga yang pernah diungkapkan Simon Kuper dalam buku Soccernomics. Ia mengambil contoh bagaimana Arsenal dijalankan bukan sebagai klub sepakbola biasa, melainkan  secara bisnis. Jika melihat bagaimana klub London Utara tersebut menerapkan harga tiket mahal, sedikit lesu mengejar trofi, tapi memiliki neraca keuangan yang stabil. Membuat Arsenal lebih tepat dikatakan sebagai sebuah kongsi dagang ketimbang klub sepakbola.

Memiliki klub = pencitraan publik

Hal lainnya yang bisa ditambahkan adalah prestise dari memiliki sebuah kesebelasan sepopuler klub-klub Premier League. Sepreti yang dijelaskan dalam buku The Billionaires Club: The Unstoppable Rise of Football’s Super-rich Owners karya James Montague. Dalam bukunya, ia menjelaskan bahwa lonjakan kepemilikan asing mencerminkan cap liga Inggris yang meng-global. Selain keuntungan finansial, ada penghargaan psikis untuk memiliki tim olahraga elit, yakni publisitas secara cuma-cuma, pencitraan baik di mata publik, daya pikat untuk bisa bergaul dengan pemain atau kata lain menjadi selebritas.

Alih-alih menggunakan pendekatan kultur aristokrat yang gemar berada jauh dari sorotan kamera seperti lazim digunakan sebelum abad ke-21, pengusaha dan pemilik klub sepakbola masa kini mulai bergeser untuk lebih terlihat publik. Di Italia, pendekatan seperti ini sudah lebih dulu dilakukan Silvio Berlusconi saat membeli AC Milan pada dekade 80-an. Berkat publikasi dan pencitraan yang dilakukannya bersama AC Milan, Berlusconi yang juga merupakan “raja media” Italia menjadi salah satu orang paling berkuasa di Italia dan menjadi Perdana Menteri.

Keberhasilan Roman Abramovich dan Sheikh Mansour pun sempat dikaitkan dengan isu tak sedap. Abramovich yang merupakan bagian dari lingkaran kekuasaan oligarki Rusia, pernah diberitakan terlibat praktik pencucian uang terkait hubungan dekatnya dengan Vladimir Putin. Ia pun diterpa kabar skandal Piala Dunia 2018 di Rusia. Tapi semuaya “tertutup rapi” karena citra Abramovich yang kadung besar bersama Chelsea.

Pun dengan Sheikh Mansour yang berada dalam lingkaran kekuasaan Uni Emirat Arab, negara yang dituding melakukan pelanggaran HAM, perbudakan anak, serta kekerasan terhadap anak. Setali tiga uang, skandal yang menimpa Sheikh Mansour luput dari pemberitaan masa. Disinilah peran penting dari kontrol media dan pencitraan pada khalayak luas.

Dengan kata lain, publisitas atau pencitraan publik ini juga salah satu faktor berduyun-duyunnya pengusaha asing membeli klub di Inggris.  Nicholas J. Cull, profesor diplomasi publik dan sejarawan media di University of Southern California menjelaskan bahwa ada banyak metode dan instrumen yang digunakan dalam diplomasi publik. Nicholas membaginya menjadi lima elemen: listening, advocation, cultural diplomation, diplomation exchange, and international broadcasting.

Poin terakhir adalah metode yang paling berkaitan dengan persoalan ini: international broadcasting atau penyiaran internasional. Dengan sorotan televisi yang masif ke penjuru dunia, Premier League adalah sarana yang tepat bagi diplomasi publik. Manusia mana yang tak ingin mendapatkan keuntungan finansial dan pencitraan baik sekaligus? Dan memiliki klub di Inggris adalah peruntungan yang menjanjikan.

Jadi, bukan salah-salah amat kalau para jutawan dari penjuru dunia berlomba-lomba memiliki klub di Inggris. Tak peduli jika akhirnya mereka melakukan pembelian klub sebagai “perjudian” demi menggapai keuntungan besar, ambisi pribadi, dan pencitraan publik yang baik.

Juga jangan salahkan kemana larinya talenta Inggris yang kian berkurang jumlahnya di tanah sendiri karena tak acuhnya pemilik klub asing ini memberi kesempatan pemain asli Inggris. Ini bisa dilihat dari menghilangnya pahlawan-pahlawan klub asli Inggris. Bila pada awal kemunculan Premier League kita bisa menyebut nama Alan Shearer yang menjadi pahlawan Blackburn, Ryan Giggs yang jadi pahlawan Manchester City, atau Tony Adams yang jadi pahlawan Arsenal, tapi sekarang siapa yang akan jadi pahlawan klub-klub di Premier League? Eden Hazard? Kun Aguero? Paul Pogba? Son Heung-Min? Ah, yang benar saja! Untung masih ada Jamie Vardy yang menyelamatkan “muka” Inggris  ketika Leicester jadi juara.

Adalah Inggris (FA dan Premier League) sendiri yang mengijinkan ini semua atas nama industrialisasi sepakbola dan pasar bebas. Kebebasan yang menggiurkan apabila dibandingkan dengan iklim sepakbola Jerman yang membatasi investor asing karena memiliki aturan “50+1” nya.

Kalau boleh menunjuk satu orang yang jadi biang kerok dari semua ini, sepertinya semua jari telunjuk orang-orang kaya ini akan tertuju kepada satu nama yang mengubah semuanya: Rupert Murdoch.