Eusebio Di Francesco, Pelatih AS Roma, berhasil menciptakan gaya sepakbola yang taktis selama musim lalu. Ia memadukan pengalaman pemain veteran seperti Aleksandar Kolarov dan Edin Dzeko dengan talenta muda penuh harapan seperti Cengiz Under dan Patrik Schick.
Serangannya memang produktif dan menarik, namun Roma harus menemukan solusi untuk lini belakang yang keropos. Hal itu dilihat dari kebobola 10 gol dalam pertandingan tandang Liga Champions 2017/2018. Kendati demikian, para pendukungnya tetap bersyukur dengan menyanyikan Grazie Roma atas pencapaian di semi final pada kompetisi itu musim lalu.
“Tahun depan kami harus mencoba untuk memenangkan Liga Champions karena kami tidak lebih buruk dari Liverpool,” tukas Daniele De Rossi, gelandang sekaligus kapten Roma, seperti dikutip dari Football-Italia.
Pencapaian Roma pada Liga Champions musim lalu adalah keajaiban yang diubah James Pallotta selaku presiden kesebelasan tersebut. Padahal ia adalah orang Amerika Serikat yang lebih banyak menginvestasikan uangnya di NBA dan sebelumnya tidak terlalu suka sepakbola.
Tapi ia terjun ke air mancur di Piazza del Popolo Roma setelah kemenangan bersejarah atas Barcelona pada perempat final Liga Champions musim lalu. Buah keberhasilan Pallotta seperti menyewa tim analisis data yang canggih untuk mengeksploitasi lawannya.
Bersama tim data itu juga ia mempekerjakan Monchi dalam bidang transfer. Sekilas, Monchi sudah menunjukan hasil yang dilakukannya atas kedatangan Kolarov dan Under. Bahkan pendapatan operasional Roma musim lalu adalah 171,8 miliar yang merupakan tertinggi ke-24 di Eropa.
Baca juga: Hantu Blunder di Bawah Mistar Liverpool
Perekrutan Pemain Berbakat Lebih Cepat
Jika mengingat kutipan De Rossi sebelumnya, Roma tetap membutuhkan bantuan besar-besaran ke dalam pasukan mereka untuk berkembang lebih baik di Serie-A dan Liga Champions 2018/2019.
Roma memang mengambil sedikit waktu lebih cepat dalam bursa transfer ini. Ketika cakrawala ini fokus kepada Piala Dunia, Monchi menjalin kesepakatan dengan Ivan Marcano, Ante Coric, Bryan Cristante, dan Justin Kluivert, pada Juni lalu. Kemudian disusul Antonio Mirante, Daniel Fuzato, Davide Santon, Javier Pastore, Nicolo Zaniolo, William Bianda.
Selain Marcano, Mirante, Santon dan Pastore, pemain-pemain baru itu berada di bawah usia 23 tahun. Pemain-pemain muda itu merupakan wonderkid yang banyak diincar kesebelasan ebsar di Benua Eropa. Dan Di Francesco dikenal jago mengelola bintang masa depan.
Tapi perlu diingat bahwa jangan terlalu banyak berharap kepada mereka. Para pendukung Roma terkenal kritis dan beberapa permainan buruk bisa membuat pemain-pemainnya terlempar. Melalui jarak usia para pemain baru Roma tersebut, menunjukan evolusi di bawah Monchi dan Di Francesco.
Baca juga: Melawan Kemustahilan ala AS Roma
AS Roma Mart Tetap Berlaku
Dalam skuat musim lalu, Alisson Becker adalah kiper yang harus tetap bertahan untuk mewujudkan mimpi De Rossi menjadi kenyataan. Tidak mudah menjaga clean sheet melawan Atletico Madrid, Chelsea, dan Barcelona, di kandang sendiri. Namun pada akhirnya Becker harus tetap dijual ke kesebelasan lain pada bursa transfer musim panas ini.
Sejauh ini Roma dikabarkan menjalin kesepakatan dengan Robin Olsen yang akan menjadi kiper barunya. Di sisi lain, penjualan yang paling kentara menyakitkan adalah Radja Nainggolan. Ia dijual dengan harga 24 juta euro ditambah Santon dan Zaniolo. Rasanya transfer itu seperti meremehkan kualitas Nainggolan.
Penjualan Nainggolan juga mungkin akan merugikan Roma dalam jangka panjang. Meskipun Di Francesco tidak terlalu menyukai permainan Nainggolan sejak awal musim lalu. Apalagi ia sempat ketahuan merokok, minum alkohol dan sering keluar larut malam.
Mungkin hal itu tidak biasa untuk pemain sepakbola modern, tapi toh Nainggolan pun masih tampil baik di lapangan. Ia bisa menjadi alternatif trequartista dalam permainan Roma. Filosofi Nainggolan adalah selalu berusaha keras tidak peduli apapun situasinya.
Ia memang diandalkan dan memberikan efek yang baik pada musim lalu, tapi mungkin Di Francesco sedang membentuk skuat yang dibutuhkannya untuk musim ini. Ia memutuskan untuk menukar Nainggolan yang mengandalkan fisiknya dengan Javier Pastore yang lebih terampil dan flamboyan.
Baca juga: Mimpi Tak Selalu Indah, Malcom!
Apalagi jika mengingat Di Francesco mengutamakan penguasaan bola dalam permainannya. Tapi Roma akan merindukan cara Nainggolan yang mondar-mandir di lapangan untuk mengambil bola. Mendikte kecepatan permainan, mengubah tempo dan memotivasi pemain lain.
Di bawah Di Francesco, Nainggolan memang tidak menghancurkan lawannya sesering yang dilakukannya ketika masih dilatih Luciano Spalletti. Jumlah golnya pun lebih sedikit ketika dilatih Di Francesco. Kendati demikian, ia masih cukup berpengaruh bagi Roma untuk tetap masuk ke Liga Champions musim yang akan datang ini.
“Radja bisa mencetak gol. Tapi yang terpenting adalah dia seorang pejuang. Gladiator sejati. Itulah yang membuatnya menjadi pemain penting di mata orang-orang Roma,” kata Antonio Conte, mantan Manajer Chelsea.
Fakta sederhananya adalah Roma akan merindukannya. Karena pada hari yang buruk, Nainggolan lebih baik daripada sebagian besar pemain lain. Penjualan Becker dan Nainggolan telah memperpanjang Roma sebagai market penjualan pemain berkualitas setiap musimnya.
Ya, hampir setiap bursa transfer musim panas, Roma selalu kehilangan pemain pentingnya demi uang banyak. Mulai dari Marquinhos, Erik Lamela, Mehdi Benatia, Alessio Romagnoli, Andrea Bertolacci, Gervinho, Miralem Pjanic, Antonio Rudiger, Mohamed Salah, Leandro Paredes dan Emerson Palmieri.
Sebagai gantinya, Monchi harus membantu Di Francesco dengan pemain-pemain baru. Pallotta juga perlu menginvestasikan lebih banyak uang lagi untuk membantu Monchi mendapatkan pemain baru. Presiden juga harus menerima persetujuan formal untuk membangun stadion baru sehingga Roma tidak menjadi korban penjualan klub-klub Eropa lagi alias AS Romart.