Hilangnya Pemain Nomor “9” di Premier League

Foto: Thesefootballtimes.com

Nomor punggung di sepakbola mungkin hanya sebatas nomor untuk mengidentifikasi pemain tertentu. Atau juga sekadar tanda pengenal selain nama di punggung. Lebih jauh dari itu mungkin ada filosofi tertentu di balik angka yang ada di punggung tersebut. Morata misalnya, menggunakan nomor punggung “29” yang merupakan tanggal kelahiran putra kembarnya atau Cristiano Ronaldo dengan nomor punggung “7” yang menjadi ciri khasnya.

Mari bergeser ke Premier League. Sejak 16 tahun terakhir,  hanya ada satu pemain dengan nomor punggung “9” yang sukses menjadi top skorer Premier League. Ini terdengar remeh memang dan seolah tidak ada kaitannya secara taktik. Namun pada kenyataannya, ketiadaaan pemain bernomor punggung “9” merupakan imbas dari perubahan taktik mayoritas kesebelasan di Premier League.

Back Pass dan Berubahnya Skema di Lini Tengah

Sama seperti pengaruh back pass dalam surutnya performa Liverpool di era Premier League, back pass juga mengubah susunan skema secara keseluruhan. Lini tengah tim-tim Premier League tidak lagi mengandalkan duel-duel keras dan penguasaan bola yang terlalu lama. Mereka lebih memilih melakukan umpan langsung ke depan. Lini belakang pun serupa. Mereka tidak akan berlama-lama dengan bola dan lebih memilih mengalirkan bola secepat mungkin ke lini depan.

Dampaknya, para striker tidak lagi dituntut mencetak gol. Mereka juga mesti memenangi duel dan melakukan penguasaan bola. Dalam sepakbola klasik, penguasaan bola merupakan peran pemain “nomor 10” atau yang bermain persis dibelakang stiker. Di sinilah revolusi dimulai.

Baca juga: Back-Pass, Aturan yang Mengubah Taktik Sepakbola

Karena peran striker tidak hanya mencetak gol namun bertujuan memenangi duel, peran pemain di belakang striker juga dituntut bisa memanfaatkan peluang mencetak gol. Teddy Sheringham memulainya dengan menjadi top skorer Premier League.

Sheringham di awal kariernya tidak dikenal sebagai pemain dengan fisik mumpuni. Namun eksekusinya merupakan salah satu yang terbaik. Sheringham pun butuh rekan yang membantunya dalam duel-duel udara, biasanya Sheringham diposisikan sebagai penyerang sayap dalam skema 4-3-3 atau pemain dibelakang striker dalam formasi 4-4-1-1.

Baca juga: Matt Le Tissier, Menolak Prancis, Dicampakkan Inggris

Setelahnya muncul Alan Shearer sebagai pemain nomor punggung “9” sebagai top skorer. Kemudian ada Andy Cole yang muncul sebagai nomor punggung “9” sebagai top skorer disusul Jimmy Floyd Hasselbaink di Chelsea. Ini disebabkan formasi 4-4-2 yang dianut khusyuk oleh para Manajer Premier League, formasi ini juga mengakomodasi peran striker untuk lebih mudah menerima umpan silang dari para pemain sayap.

Setelahnya secara mengejutkan muncul nama Thiery Henry yang bukan striker, tapi pemain sayap. Arsene Wenger mencium insting predator haus gol dalam diri Henry. Di musim pertama Henry berseragam Arsenal 2000/2001, Wenger menduetkan Henry dengan Wiltord sebagai rekan senegaranya.

Henry tajam tapi Wenger merasa masih belum cukup. Musim berikutnya Henry diduetkan dengan Dennis Bergkamp, namun keduanya diletakkan dengan tidak sejajar. Bergkamp ada sedikit dibelakang Henry, Bergkamp mengakomodasi pergerakan Henry untuk melebar dan melakuka solo-run mengobrak-abrik pertahanan lawan. Sukses, Henry tajam sekaligus sangat apik membuka ruang di pertahanan lawan dan menjadi top skorer Premier League musim 2001/2002.

Kemudian Manchester United muncul dengan Ruud van Nistelrooy. Nistelrooy bukan pemain bertipikal nomor “9”. Ia suka menggiring, melebar, dan mencari celah pertahanan lawan. Eksekusi bola pemain Belanda ini memang kelas dunia. Namun keunggulannya dalam duel jarak pendek dengan bek lawan menjadi pembeda.

Kehadiran striker konservatif seperti Alan Shearer mulai terpinggirkan. Klub lebih suka bermain dengan pemain yang aktif dalam menejmput bola dan membuka ruang secara mandiri tanpa bergantung dengan support lini kedua. Didier Drogba muncul sebagai pemain yang kuat berduel, namun sekali lagi, tidak menggunakan nomor punggung 9 namun 15. Dalam wawancara dengan BBC pada awal kedatangannya, ia juga menyebut dirinya bukan pemain nomor 9, ia lebih suka mencari bola dan tanpa ragu beradu fisik dan membuka ruang untuk rekannya.

Trio Spanyol dan Winger

Musim 2007/2008 merupakan saksi bagaimana seorang gelandang berubah menjadi predator di depan gawang. Cristiano Ronaldo merupakan nama yang akan diingat semua orang. Dribbling, eksekusi, dan penempatan posisinya kelas wahid. Belum genap 23 tahun, Ronaldo sukses menjadi top skorer klub. Ronaldo bahkan tidak diposisikan sebagai striker, namun penyerang sayap dalam formasi 4-3-3, dimana Ronney-Tevez-Ronaldo adalah kombinasi paling menakutkan di Eropa musim itu.

Kemudian muncul Berbatov yang merupakan pemain nomor 9 terakhir yang menjadi topskorer Premier League. Dominasi kemudian kembali dengan nama Robin van Persie  menjadi topskorer Premier League musim 2011/2012.

Yang menarik, Van Persie diketahui pernah menolak nomor “9” yang diberikan Van Gaal semasa di United, yang membuatnya terdepak dari United. Di Arsenal, Van Persie juga pernah mengalami kasus serupa. Sebab penolakan Van Persie sendiri, karena dirinya merasa bukanlah pemain yang layak mengenakan nomor 9, “Saya merasa lebih pantas menggunakan nomor sembilan setengah”.

Setelahnya tidak ada lagi pemain bernomor punggung atau bertipikal nomor 9 klasik yang pernah Berjaya. Mari berterima kasih kepada trio spanyol : Mata, David Silva dan Santi Cazorla. 2 nama pertama bersama dengan David Villa, adalah motor serangan Valencia selama beberapa musim. Ketiganya merupakan kombinasi mematikan. Umpan pendek cepat dan penetrasi jarak pendek adalah keunggulan ketiganya. Sedangkan Santi Cazorla bisa dibilang merupakan “pesulap” di lini tengah Malaga.

Di era kedatangan ketiganya di Premier League, mereka sempat sebagai pemain yang tidak bisa didefinisikan posisinya. Silva-Mata-Cazorla bukanlah pemain sayap, namun tak juga bisa dieskripsikan sebagai winger dan saat itu istilah “Playmaker” masih sangat asing di Inggris, faktor ini juga yang menyebabkan Scholes kurang diapresiasi.

Bahkan Opta menyebut mereka sebagai pemain dengan tipikal “the final pass or pass cum-shot  which directly leads to a goal scored by recipient of the ball” atau dengan artian ketiga pemain ini yang menentukan bagaimana bola akan diumpan, entah melakukan umpan langsung kedepan, atau melakukan “pass cum-shot” atau umpan chip.

Ketiganya, menjadi faktor penting berubahnya peran striker. Striker tidak lagi mengandalkan fisik tinggi, Chelsea memang masih memiliki Drogba, namun seperti yang dijelaskan diatas, Drogba bukanlah nomor 9. Pun dengan Arsenal dimana masih ada Van Persie. Bahkan City, secara konsisten mengandalkan pemain-pemain cepat seperti Aguero atau Tevez. Anomali dengan hadirnya Balotelli dan Negredo namun keduanya pun tidak bertahan lama di Etihad Stadium.

Dan praktis skema klub papan atas Premier League berubah. United menagndalkan Rooney-Chicharito. Arsenal dengan Van Persie sebelum hengkang ke United. Man City dengan Aguero-Tevez.Trio Spanyol ini merubah stigma bagaimana serangan bisa memiliki variasi dan tidak monodimensional.

Harry Kane dan Jamie Vardy

Tottenham Hotspur dalam lima musim terkahir cukup menjanjikan dan menjadi pesaing ketat big four yang mendominasi. Daniel Levy bukanlah pria yang jorjoran mengeluarkan uang transfer, apalagi pasca kegagalan Roberto Soldado yang dibeli dari Valencia.

Levy menyukai binaan dari akademi Tottenham. Harry Kane menjadi pemain yang diberikan kesempatan. Musim pertamanya fantastis. Ia langsung menjadi pilihan utama dan menjadi topskorer di bawah Suarez. Setelahnya Kane tidak terbendung.

Kane juga menolak disebut nomor 9 klasik, sama seperti Van Persie dia menyebut dirinya “Sembilan setengah”. Kane memilih nomor “10”, dan secara statistik, Kane juga berperan aktif dalam permainan. Total passing rata-rata Kane tiap musim nyaris selalu sama dengan Dele Alli.

Sedangkan Vardy, meskipun bernomor punggung 9, ia mengakui dirinya merupakan pemain nomor 10. Alasan Vardy mengenakan nomor 9 karena nomor 10 sudah lebih dahulu digunakan Andy King. Dan memang Vardy sangat aktif, merebut bola, melakukan sprint jarak panjang dan eksekusi yang spektakuler. Duetnya dengan Riyad Mahrez adalah kunci Leicester menjadi juara 2015/2016.

Satu fakta penting, pada musim 2012/2013, Leicester City di era Nigel Pearson, lebih suka melakukan bola direct, di mana penguasaan adalah hal semu baginya. Ia tidak menyukai striker yang gemar mencari bola dan sempat memohon untuk dibelikan striker bertipikal nomor 9 yakni Troy Deeney. Padahal di bangku cadangan Leicester kala itu ada Jamie Vardy dan Harry Kane. Mari membayangkan betapa nestapanya Nigel Pearson saat ini, ketika mengetahui duet Vardy-Kane meurpakan striker mematikan di Premier League kini.