Kultus Klub 90’an (2): Disukai Karena Filosofi

Pada bagian pertama, terdapat lima klub yang seperti dikultuskan di era 1990-an. Kelima klub tersebut disegani karena trofi yang mereka raih. Dalam daftar yang disusun Daniel Storey di Planet Football ini, terdapat lima klub lain yang justru disukai karena filosofinya: bahwa trofi bukanlah segalanya.

Parma 1998/1999

Parma memang berhasil menempati peringkat kedua Serie A pada musim 1996/1997 di bawah arahan Carlo Ancelotti. Namun, skuad terbaik mereka justru hadir di bawah arahan Alberto Malesani pada musim 1998/1999. Parma gagal di Serie A, tapi berhasil meraih juara Piala UEFA juga Coppa Italia. Ini adalah salah satu musim terbaik Parma sepanjang sejarah mereka.

Parma punya skuad mengerikan di musim itu. Dalam laga final Piala UEFA menghadapi Marseille, misalnya, terdapat nama Gianluigi Buffon, Lilian Thuram, Roberto Sensini, Fabio Cannavaro, Dino Baggio, Juan Sebastian Veron, Hernan Crespo, Enrico Chiesa, Faustino Aprilla, dan Abel Balbo.

Skuad Parma ini bagaikan kumpulan para pemain bagus di sepakbola Italia yang disatukan demi meraih kejayaan. Maka, jangan heran kalau banyak yang mengagumi Parma di musim 1998/1999 ini dan mengultuskannya.

Newcastle United 1995/1996

Newcastle United cuma menempati peringkat keenam di Premier League musim 1994/1995. Pemilik The Magpies, Sir John Hall, menghamburkan jutaan paun untuk memperkuat timnya. Ia menghabiskan 16 juta paun di musim panas untuk mendatangkan Les Ferdinand, David Ginola, Warren Barton, dan Shaka Hislop. Di musim dingin, Newcastle menghabiskan 11 juta euro untuk mendatangkan striker Kolombia, Faustino Asprilla, dan gelandang Inggris, David Batty.

Newcastle saat itu mengawali musim di puncak klasemen dari Agustus hingga pertengahan Maret. Sampai saja, The Magpies masih unggul 12 poin dari Manchester United dengan 15 laga sisa.

Kembalinya Eric Cantona dari masa hukuman menambah kekuatan United yang terus mencatatkan kemenangan. Sial bagi Newcastle yang tak bisa meraih poin penuh atas West Ham (pekan ke-26) dan Manchester City (pekan ke-27). Puncaknya adalah kekalahan 0-1 dari United di St. James Park di pekan ke-28 yang memangkas selisih poin menjadi satu. Kekalahan ini juga mengakhiri rekor 100 persen Newcastle di kandang.

Selisih satu poin ini justru berhasil disalip United ketika Newcastle tampil inkonsisten dengan kalah dari Arsenal, Liverpool, dan Blackburn Rovers. Padahal, di paruh musim pertama, Newcastle cuma kalah dua kali dan tiga kali seri. Sisanya, menang. Bandingkan dengan di musim kedua di mana Newcastle kalah enam kali dan seri tiga kali.

Meski demikian, Newcastle di musim itu memberikan harapan bagi suporter netral untuk melihat juara baru setelah Manchester United dan Blackburn Rovers mendominasi kompetisi yang baru berusia empat tahun ini.

Sampdoria 1991/1992

Sampdoria secara mengejutkan menjuarai Serie A musim 1991/1992 di bawah arahan Vujadin Boskov. Gianluca Vialli menjadi ujung tombak Sampdoria sekaligus meraih cappocannoniere di musim itu.

Meski juara, tapi sedikit yang memprediksi kalau Sampdoria bisa mempertahankan gelar. Milan saat itu terlalu kuat dengan Fabio Capello sebagai allenatore-nya serta Marco van Basten sebagai pencetak gol.

Benar saja, di musim 1991/1992 tersebut, Milan berhasil menjuarai Serie A dengan raihan 22 kemenangan, 12 seri, dan tanpa pernah kalah. Sampdoria sendiri ada di peringkat keenam. Agaknya, Sampdoria memfokuskan musim itu di Piala Champions, karena itu adalah edisi terakhir sebelum rebrand menjadi Liga Champions.

Sampdoria berhasil menjadi pemuncak klasemen dan lolos ke final. Lawan mereka adalah Barcelona dalam final yang digelar di Stadion Wembley tersebut. Sampdoria terus memperpanjang asa, sampai gol tendangan bebas Ronald Koeman di babak perpanjangan waktu, memutus mimpi La Samp.

Di skuad Sampdoria saat itu ada sejumlah nama legendaris seperti Roberto Mancini, Attilio Lombardo, Gianluca Vialli dan Ivano Bonetti. Uniknya, keempat nama ini pernah bermain di Inggris, juga pernah menangani klub Inggris!

Fiorentina 1998/1999

Seperti pada judulnya, tim yang dikultuskan di era 1990-an ada juga yang bukan karena trofi yang mereka raih. Salah satunya Fiorentina di musim 1998/1999. Mereka tak menjuarai apapun. Di Serie A cuma di peringkat ketiga, Coppa Italia kalah di final, sementara di Piala UEFA malah didiskualifikasi.

Lantas, apa yang menarik dari Fiorentina? Tak lain adalah skuad mereka.

Fiorentina dilatih Giovanni Trapattoni. Di bawah mistar ada Francesco Toldo. Di lini tengah ada Rui Costa, Guillermo Amor, sementara di depan ada Gabriel Batistuta, Edmundo, dan Luis Oliveira.

Sama seperti Newcastle, Fiorentina sempat memimpin klasemen dari pekan pertama Serie A sampai pekan ke-21. Inkonsistensi membuat posisi mereka tergusur ke peringkat kedua.

Akan tetapi, musim itu akan dikenang sebagai salah satu musim terbaik, dengan para pemain terbaik yang pernah dimiliki oleh Fiorentina.

AS Monaco 1997/1998

Musim 1997/1998 tak begitu berarti bagi AS Monaco. Akan tetapi buat para penggemar, itu jadi salah satu musim yang menarik.

Monaco cuma menempati peringkat ketiga di Liga Prancis dan hanya mencapai babak semifinal Liga Champions. Namun, mereka dianggap bermain menghibur yang mengena di ingatan para penggemar sepakbola.

Di Liga Champions, Monaco ke fase gugur usai menjuarai Grup F di atas Bayer Leverkusen, Sporting CP, dan Lierse. Di perempatfinal, Monaco mencatatkan agregat 1-1 atas Manchester United. Namun, mereka yang lolos karena unggul gol tandang.

Di semifinal, asa Monaco sempat meredup karena dikalahkan Juventus 4-1 di leg pertama. Namun, di leg kedua mereka mulai mengejar, meski cuma bisa menang 3-2 yang bikin agregat menjadi 6-4.

Dalam skuad Monaco terdapat nama Thierry Henry dan David Trezeguet yang ketika itu masih berusia 20 tahun. 9 pemain yang main di semifinal Liga Champions berkarier di Premier League. Ada yang sukses seperti Henry, ada yang tak berkesan macam Franck Dumas. Sementara Trezeguet dan Giuly mencatatkan karier yang sukses di Italia dan Spanyol.