Melihat Keadilan Eropa melalui UEFA Nations League

Sejak September 2018, publik sepakbola disajikan sebuah turnamen baru bertajuk UEFA Nations League oleh Asosiasi Sepakbola Eropa (UEFA). Kini, fase grup dari turnamen tersebut akan berakhir dan Juni tahun depan, kompetisi final akan berlangsung.

UEFA Nations League ini merupakan sebuah inovasi sebagai pengganti partai uji coba. Tak hanya karena partai uji coba dianggap kurang kompetitif. Namun juga karena masalah dari sebuah uji coba adalah kesiapan tim.

“Setiap kali kalender uji coba internasional tiba, ada beberapa negara yang ingin dicoba sebagai lawan. Ada pula yang kesulitan mencari lawan. Dengan UEFA Nations League, semua mendapatkan lawan yang sesuai. Ini adalah kunci untuk pengembangan mereka,” kata Gianni Infantino kepada BBC saat masih memimpin UEFA.

Cara kerja UEFA Nations League cukup rumit. Apalagi mengingat kompetisi ini juga menjadi bagian untuk kualifikasi Piala Eropa. Penjelasan tentang hal ini bisa Anda baca lewat karya Rockin Marvin yang berjudul ‘Memahami Rumitnya UEFA Nations League‘.

Kembali ke putaran final UEFA Nations League Juni mendatang. Putaran ini hanya akan diikuti empat tim dari Liga A. Kompetisi ini memiliki empat liga yang dibagi sesuai dengan koefisien masing-masing negara. Jadi di Liga A kita akan melihat negara-negara familiar seperti Jerman, Prancis, Spanyol, dan Inggris.

Semakin ke bawah, kian berkurang juga popularitas, prestasi, dan koefisien mereka. Ada empat liga, A-D. Dengan Liga D diisi negara-negara seperti Gibraltar, Kosovo, Belarus, dan Georgia. Penghuni Liga B-D tidak bisa merasakan putaran final. Namun, mereka mendapat promosi. Liga B-D ini jadi tempat kejutan tersendiri selama masa UEFA Nations League tiga bulan terakhir.

Foto: BorderChronicle.com.au

Demi prestasi, jangan coba-coba

Tidak perlu jauh melihat ke Benua Biru untuk melihat betapa sulitnya mendapat lawan uji coba. Indonesia juga kerap kali mendapat halangan tersebut. Akan tetapi, PSSI sebagai induk sepakbola di Indonesia baru menuruti kalender uji coba FIFA dalam beberapa tahun terakhir.

Mereka baru sadar betapa pentingnya peringkat FIFA sebagai ukuran prestasi sepakbola. Main di luar kalender FIFA seperti dulu tidak akan membantu. Tapi, jika bertemu dengan lawan yang memiliki kemampuan jauh di atas tim sendiri juga akan percuma.

Perhitungan poin FIFA dari kalender uji coba internasional mempertimbangkan peringkat dan hasil yang didapat. Jadi melawan Uruguay, Argentina, Belanda, hanya untuk publikasi atau hiburan semata tidak akan membantu. Begitu juga dengan negara-negara berprestasi di atas. Menghadapi Indonesia tak lebih dari sekadar liburan bagi mereka, karena di mata FIFA, itu bukanlah hal sepadan.

UEFA akhirnya memperbaiki sistem ini. Negara-negara di Eropa masih diizinkan melakukan uji coba dengan tim dari luar benua. Namun, UEFA Nations League yang dibagi bedasarkan koefisien negara serta dimainkan secara kandang-tandang membuat setiap peserta dapat jatah menghadapi lawan sepadan.

Lawan sepadan itu akan mendapat pendekatan berbeda dibandingkan uji coba biasa. Tim seperti Belanda akan lebih serius menyiapkan diri lawan Jerman dibanding uji coba kontra Indonesia. Tak ada lagi kata coba-coba.

Lewat pertandingan antar dua negara yang sepadan, pertandingan menjadi kompetitif dan menjual dengan sendirinya.

Foto: WhoAteAllThePies.com

Alat ukur yang sempurna

Jujur, saat pertama mendengar tentang UEFA Nations League, ada pikiran bahwa ini hanya sekedar gimmick. Tapi setelah tiga bulan mengikuti kompetisi ini, pikiran tersebut berhasil diubah. Pertimbangannya adalah pertandingan yang disajikan dan pertaruhan tiket final, tempat di Piala Eropa, serta promosi-degradasi.

Sistem tersebut membuat setiap negara menjalani pertandingan di UEFA Nations League secara serius. Hasil-hasil mengejutkan kemudian ikut muncul. Gibraltar mencatatkan dua kemenangan beruntun, Belgia kalah dari Swiss, itu fenomena yang akan sangat sulit terjadi jika mereka hanya menjalani uji coba tanpa pertaruhan.

Lewat UEFA Nations League, terlihat juga bagaimana kemenangan Prancis di Piala Dunia 2018 bukan sekadar keberuntungan. Mereka adalah pemuncak grup satu Liga A. Meskipun berhadapan dengan tim seperti Jerman dan Belanda.

Belanda yang sempat terpuruk juga mulai dipercaya bisa bangkit lewat darah-darah muda mereka setelah menang dari Prancis dan Jerman. Sementara kegagalan Jerman di Rusia bukan kebetulan, karena nyatanya tim asuhan Joachim Loew tak bisa bersaing di grup mereka.

Hal seperti ini tidak bisa dilihat jika mereka bertemu dengan lawan yang tidak sepadan dalam partai uji coba. Sekalipun beberapa menyadari hal tersebut, akan ada juga yang akan berkata: “Yaudah sih, cuma uji coba. Bukan ukuran yang bisa dipercaya.

Foto: Zimbio

Bukan jaminan untuk Global Nations League

UEFA Nations League berhasil membuat laga uji coba menjadi sesuatu yang kompetitif, ditunggu, dan penuh kejutan. Hal ini tentu akan membuat Presiden FIFA Gianni Infantino tersenyum. Pasalnya, ia juga telah meminta Komite FIFA untuk mempertimbangkan Global Nations League (GNL).

Sama seperti UEFA Nations League, GNL akan membagi lebih dari 200 anggota FIFA ke dalam liga-liga tertentu. Hingga saat ini, menurut Sports Illustrated, akan ada tujuh liga atau divisi dibentuk untuk GNL.

Selain GNL, Infantino juga meminta agar Piala Dunia Klub yang biasa diikuti delapan tim menjadi 24 peserta. Presiden FIFA berkepala plontos ini memang dikenal sering meminta penambahan kuota untuk kompetisi sepakbola dunia. Piala Dunia di Qatar juga masih ada isu penambahan peserta.

GNL ini memiliki tujuan yang sama dengan UEFA Nations League. Diharap menjadi sebuah prioritas negara-negara anggota FIFA ketika kalender uji coba. Tujuh divisi dengan tujuan akhir adalah delapan negara terbaik bmain di turnamen mini pengganti Piala Konfederasi.

Bisa dikatakan dengan GNL, akan ada peluang untuk Indonesia bertemu negara-negara seperti Hong Kong, India, Fiji, Vanuatu, Filipina, Malta, dan lain-lain di kalender uji coba. Bukan hanya itu, pertandingan ini akan kompetitif dan punya pertaruhan harga diri dalam sistem degradasi-promosi.

Konsep GNL masih abu-abu. Namun, kesuksesan UEFA Nations League sebaiknya tidak jadi patokan. Pasalnya, meski nantinya akan mengikuti UEFA Nations League dan membagi liga sesuai peringkat FIFA, ada yang salah dari GNL. Ide GNL lahir karena uang.

Tempat FIFA mencari pemasukan

UEFA Nations League adalah konsep yang didasari oleh pembagian lawan secara merata dan membantu perkembangan sepakbola di negara masing-masing. Tiap peserta dapat uang sesuai dengan liga yang mereka ikuti. Semakin tinggi liganya akan lebih banyak juga uang yang didapat. Tapi UEFA sendiri tidak mendapatkan pemasukan yang jauh lebih besar dari turnamen tersebut.

Cara distribusi lisensi mereka masih sama dengan kualifikasi Piala Eropa. Meski turnamen baru lahir. Pendapatan federasi tidak bertambah secara signifikan. Klub dan negaralah yang dapat keuntungan besar. Tapi GNL hanyalah cara FIFA untuk menambah pendapatan.

Sama seperti penambahan peserta Piala Dunia baik itu negara atau klub, alasannya adalah uang. Memang, peluang setiap negara atau klub untuk ikut ke dalam turnamen semakin besar. Namun, dengan begitu FIFA juga dapat menjual hak siar pertandingan ke berbagai negara. Sponsor yang ditarik akan semakin banyak. Uang FIFA semakin bertambah.

Foto: DW.com /AP Photo

Piala Konfederasi jadi tumbal

Ini tidak serta-merta menjadi hal buruk. FIFA mendistribusikan sebagian dari uang itu juga ke para anggota mereka, termasuk Indonesia. Tapi turnamen mini yang akan jadi klimaks GNL adalah pengganti Piala Konfederasi dan alasannya uang.

Saat Piala Konfederasi 2017, Jerman sebagai juara hanya mendapat empat juta Dollar Amerika Serikat (USD). Tapi dengan GNL, uang paling sedikit yang akan didapat negara dari Eropa adalah 3,81 juta USD per tahun. Anggapannya, Gibraltar akan mendapatkan uang yang tidak jauh berbeda dengan Jerman saat juara Piala Konfederasi.

Sementara FIFA sendiri memproyeksikan pendapatan sebesar 25 miliar USD dalam 12 tahun berlangsungnya GNL. Itu sama dengan dua miliar per tahun atau 1/3 dari total pendapatan FIFA di Piala Dunia 2018. Menurut Sports Illustrated, 50% dari total uang tersebut akan dikantongi FIFA (1,041 miliar USD). 37.5 juta diberikan ke negara-negara anggota UEFA. Sementara satu miliar sisanya baru dibagi ke anggota FIFA lainnya.

Itu baru masalah uang. Belum melihat efek yang diberikan ke turnamen benua seperti Piala Asia. Turnamen seperti itu mungkin tidak akan berharga lagi dengan GNL sebagai ‘kualifikasi’ Piala Konfederasi. Piala Konfederasi bahkan dihapus untuk turnamen mini pemuncak GNL.

Dengan distribusi uang yang berat kepada Eropa dan hilangnya nilai dari turnamen seperti Piala Asia, GNL tidak sama dengan UEFA Nations League. UEFA Nations League sejauh ini berhasil mencapai target mereka. Memberi lawan sepadan ke tiap negara dan mengubah uji coba yang dipandang sebelah mata. Nilainya juga bertambah dengan tiket Piala Eropa. Tapi GNL akan menghapus nilai tersebut. Bisa-bisa Piala Eropa jadi ‘uji coba’ karena GNL.