Sepakbola sejatinya telah menjadi olahraga yang berkesinambungan dengan segala hal. Tak terkecuali perihal paham fasisme. Beberapa orang bertanya-tanya tentang fasisme dan sepakbola. Rasa penasaran pun menyelimuti, sebenarnya siapa orang di balik penyatuan paham kuno dan permainan modern ini?
Awal Fasisme dan Duet Mussolini bersama Hitler
Tokoh kunci soal hal tersebut sebenarnya adalah Benitto Mussolini, si pencetus paham fasis. Pria itu berasal dari Italia, yang sebelumnya melihat sepakbola sebagai alat kunci untuk menciptakan persatuan nasional suatu negara dengan ‘harta’ kekuasaan Internasional. Ialah juga orang di balik terciptanya Serie A, sebagai liga nasional pertama pada 1929 yang dihelat satu tahun sebelum Piala Dunia 1930.
Tentu saja, penting mengingat bahwa Italia merasa tim mereka harus menang -setelah mereka memenangkan Piala Eropa pertama- di Piala Dunia. Jadi, Mussolini sendiri mengundang wasit asal Swedia yang ia sukai, yang juga dapat bekerja sama dengannya untuk menjalankan semifinal antara Italia dan Austria pada Piala Dunia 1930. Wasit pun memberi keleluasaan pada Italia di pertandingan itu.
Baca juga: Piala Dunia 1930: Rumit, Perjalanan Jauh, serta Final Dua Bola
Mussolini, kemudian secara alami memilih wasit yang sama untuk final saat Italia berhadapan dengan Cekoslowakia. Wasit melakukan hal yang sama. Ketika itu ia gagal melihat bola menyentuh tangan pemain Italia yang padahal jelas sangat terlihat di depan mata, sehingga hal itu membuat Italia menang.
Selain itu, Mussolini juga mengoneksikan paham sepakbola fasisnya kepada sang diktator Perang Dunia kedua, Adolf Hitler. Kala itu, ia sudah menekankan kepada Hitler tentang penggunaan olahraga secara politis. Sebenarnya hal seperti ini tidak dipahami secara alami pada Hitler. Meski sebelumnya pria berkumis itu sempat tiba di Munich sebagai pemuda berwajah pucat yang direkomendasikan untuk mengambil sepakbola demi kesehatannya. Namun, Hitler secara otomatis menolak untuk bermain sepakbola dengan alasan bahwa ia tidak menyukai olahraga yang di mana orang bisa merasakan kekalahan di dalam situ.
Meskipun demikian, ia menjadikan sepakbola sebagai sasaran politiknya. Hal ini diterapkannya tidak hanya saat Olimpiade di Berlin, tapi juga turut mendukung tim nasional Jerman yang berada di urutan ketiga di Piala Dunia 1934. Pemimpin Nazi itu pun kemudian diberitahu oleh stafnya untuk pergi dan menyaksikan tim sepakbola Jerman yang kala itu berambisi ‘memusnahkan’ Norwegia.
Saat itu, Hitler ikut terlarut dalam euforia, tapi Norwegia menang di akhir pertandingan dan hasil itu berhasil membuat Hitler tidak pernah pergi lagi menonton pertandingan sepakbola selama sisa hidupnya. Tapi tetap saja, pengaruh Mussolini menjadi bayangan jelas yang sempat menghubungkan paham sepakbola fasisnya kepada Hitler kala itu.
Puncak Fasisme dalam Sepakbola
Di sisi lain, Italia berhasil memenangkan Piala Dunia lagi pada 1938. Mereka menyelesaikan era keemasan untuk olahraga yang dianggap masih erat dengan paham Fasis tersebut kala itu. Melihat kekuasaan Italia di Piala Dunia, Adolf Hitler pun kemudian berinisiatif melakukan negosiasi dengan FIFA untuk memimpin Piala Dunia 1942. Ia berniat untuk menguasai kompetisi besar tersebut, bahkan sangat berambisi menumbangkan Inggris, yang juga menjadi musuh mereka dalam Perang Dunia kedua.
Tak diragukan lagi, Inggris, tentu saja, saat itu menjadi tim yang dianggap sebagai raja sepakbola. Namun, mereka enggan berhadapan dengan kaum Fasis dan mereka pun menarik semua timnya dari FIFA pada 1920. Keputusan itu sangat kontroversial. Namun Inggris memiliki beberapa tujuan, dan sebagiannya bertujuan untuk menghindari keharusan bermain di negara-negara yang menjadi musuh dalam perang, sebagian sisanya sebagai bentuk protes melawan pengaruh paham fasis untuk sepakbola di Inggris.
Inggris secara otomatis tidak bergabung kembali sampai tahun 1946, dan sampai akhir 1953, FA Inggris masih menyelenggarakan pertandingan timnas Inggris melawan tim Eropa yang berlabel bukan musuh perang. Meskipun demikian, harus dikatakan bahwa tim Italia-nya Mussolini, yang sudah menaklukkan semua timnas di Eropa, tidak pernah menang ketika bermain di Inggris. Itu sangat mengusik Mussolini, dan ia akhirnya memberikan pesan kepada para petinggi yang satu paham fasis untuk meracik semua hal di sepakbola harus berbalut dengan Fasisme.
Sempat ada tragedi menggenaskan setelah pesan dari Mussolini. Waktu itu, kepala negara Spanyol Jenderal Franco juga mendapat pesan dari Mussolini. Maka mulai terjadilah pergolakan besar setelah itu. Franco tahu bahwa Catalonia adalah jantung perlawanan Republikan, dan juga mengetahui bahwa Barcelona FC adalah jantung Catalonia.
Dengan demikian, dalam waktu satu bulan sejak dimulainya perang saudara, pasukan fasis membunuh pimpinan Barcelona, Joseph Garriga, dan pada 1938 pesawat fasis mengebom Barcelona FC. Begitu ia menang, Franco melarang bendera Catalan dan bahasa mereka, serta memaksa Barcelona FC untuk mengubah namanya dan melepaskan bendera dari perisainya.
Franco melakukan semua yang ia bisa untuk membangun Real Madrid sebagai saingan konservatif Katolik, dan secara pribadi turun tangan di bursa transfer untuk memastikan bahwa Alfredo di Stéfano menandatangani kontrak dengan El Real. Lalu saat Franco mulai menua, kekuatannya memudar. Itu terlihat pada 1974 ketika Barcelona mengambil kembali nama barunya dan mendatangkan sang fenomenal Johan Cruyff, yang secara terbuka mengatakan bahwa ia bisa saja pergi ke Real Madrid jika klub tersebut tidak memiliki hubungan erat dengan Franco.
Akhir Fasisme dalam Sepakbola
Di Italia, Lazio S.S. dari Roma adalah satu-satunya tim fasis yang tersisa di era itu. Jesal sekali bahwa mereka adalah tim Mussolini, dan berlabel tim yang bermain di stadion yang ia bangun untuk bertanding di Serie A. Mereka mencoba untuk tidak mendatangkan pemain kulit hitam dan pendukung mereka terkenal dengan rasisme serta anti-semitisme. Bahkan salah satu pemain mereka, Paolo di Canio, memiliki lambang Fasis dengan menato dirinya sendiri dan menjadi pria yang memberi hormat kepada paham Fasisme setiap kali ia mencetak gol.
Untungnya, hari-hari kelam sepakbola seperti itu telah hilang. Sudah cukup buruk bahwa siapa yang menang atau kalah bergantung pada banyaknya uang. Rezim-rezim fasis itu sangat berambisi pada kekuasaan. Mereka tak mengenal kesetaraan. Maka tak heran mengapa mereka berambisi untuk menang. Itu semua karena alasan politik. Dan pada 1938, Mussolini juga pernah mengirim sebuah telegram kepada tim Piala Dunia Italia dengan mengatakan: “Menang atau mati!”
“Menang atau mati” adalah bentuk slogan Fasis yang paling baku. Bahkan slogan ini juga sempat memunculkan kisah unik. Ketika Hungaria kalah 4-2 dari Italia di final, kiper mereka, Antal Szabo, memberikan sebuah alasan mengapa ia hanya bisa iri dengan hasil tersebut dan mengatakan jika kekalahan timnya adalah sebuah upaya penyelamatan. “Saya mungkin telah membiarkan empat gol masuk ke gawang saya, tapi saya secara nyata telah menyelamatkan nyawa mereka,” tegasnya.