Tiga Pria Ajaib Pemutus Rantai Stagnansi Manajer Inggris di Premier League

Kalau perlu memuji pelatih mana yang pantas mendapatkan pujian di musim ini, agaknya tiga nama ini perlu mendapatkannya: Chris Wilder (Sheffield United), Dean Smith (Aston Villa), dan Graham Potter (Brighton).

Wilder ada di peringkat pertama dalam daftar ini. Melihat rekam jejaknya melatih klub-klub Inggris, Anda seperti melihat catatan manajer pada permainan Football Manager. Bayangkan, di tahun yang sama saat ia menggantungkan sepatu, ia langsung melatih Alfreton Town dan langsung memborong empat gelar sekaligus dalam waktu 27 pekan saja!

Sempat gagal di divisi Conference bersama Halifax Town dan Oxford United, ia langsung “lompat” melatih kesebelasan League Two bersama Northampton. Klub yang ia selamatkan dari degradasi dan bawa juara pada musim berikutnya.

Bersama Sheffield United-lah agaknya ia menjadi salah satu legenda. Saat itu, di tengah-tengah kesulitan finansial, Wilder mampu meroketkan The Blades dari League One ke Premier League hanya dalam kurun waktu 3 musim saja.

Wilder, dengan segala keterbatasan resource membuktikan dirinya mampu bersaing di tengah banyaknya manajer impor. Eks-manajer timnas Inggris, Roy Hodgson, bahkan memberikan pujian khusus terhadap pelatih berusia 51 tahun ini.

“Saya tidak berpikir bahwa (usia) ada kaitannya dengan kemampuannya sebagai pelatih hari ini,” ujarnya seperti mengutip FFT.

“Yang lebih menarik bagi saya adalah apa yang telah ia lakukan sejak ia datang ke Sheffield United, dengan dua promosi mereka, yang merupakan rekor luar biasa, dan fakta bahwa timnya memainkan sepakbola yang mereka lakukan, yang akan mengajukan banyak pertanyaan dari lawan yang mereka temui. Dia (Wilder) membutuhkan banyak pujian untuk itu. ”

Lonjakan karier manis juga berlaku untuk Dean Smith. Pada 2011, Smith yang awalnya menjabat kepala akademi didapuk menjadi manajer “darurat”, ternyata berhasil menyelamatkan Walsall dari jurang degradasi League One. Keberhasilannya membawa Walsall ke final League Cup membawanya melatih bersama Brentford di Championship musim berikutnya.

Tiga musim membangun pondasi Brentford hinga menjadi tim yang stabil di Championship, secara mengejutkan tim kaya, Aston Villa, menunjuknya sebagai manajer menggantikan Steve Bruce yang gagal total. Bersama Villa, ia juga mencatatkan rekor kemenangan terpanjang berturut di Championship, yakni 10 laga.

Nama terakhir adalah Graham Potter. Penulis menjuluki Potter sebagai manajer yang lahir di tanah yang keliru. Alasannya, karena filosofi permainan yang diusungnya sama sekali di luar pakem Inggris dan cenderung ke arah permainan ala Spanyol dengan tiga bek dan operan-operan pendeknya.

Perjalanan karier Potter juga menarik untuk disimak. Bahkan kalau boleh dibilang, jalan kariernya lebih mirip karier seorang pecandu gim Football Manager. Usai gantung sepatu, ia menempuh studi Ilmu Sosial di UK Open University atas rekomendasi Asosiasi Pemain Sepakbola Profesional Inggris (PFA). Petualangannya di dunia manajerial dimulai kala ia direkomendasikan manajer Swansea saat itu, Roberto Martinez, kepada klub divisi empat Swedia, Östersund.

Di klub yang berasal di tengah negara Swedia, ia meraih prestasi spektakuler dengan membawa Östersund promosi dua kali berturut hingga akhirnya bermain di divisi utama Swedia, Allsvenskan, di tahun keduanya melatih klub. Berkat polesan tangan dinginnya, Östersund memikat hati publik Swedia karena permainan cantik sekaligus berprestasi.

Potter bahkan berhasil membawa Östersund berlaga pertama kalinya ke ajang Europa League dan mencatatkan sensasi karena mangalahkan raksasa Turki, Galatasaray di babak kualifikasi. Dan yang lebih mencengangkan lagi, Potter dan anak asuhnya mengalahkan Arsenal 2-1 di Emirates Stadium.

Terobosan yang Menjadi Kunci Sukses Ketiganya

“He’s English, he’s a modern coach, he has new ideas, he brings new ideas. [Swansea is] a team that takes care of how they move the ball… in their style, the goalkeeper and defenders build from the back. And for me it’s the feature that you could underline from Swansea [under Potter]”

Pernyataan yang dilontarkan seorang Marcelo Bielsa terhadap seorang Graham Potter saat konferensi pers di musim lalu. Sebagai pelatih, Potter memang spesial, tak hanya dalam soal meracik strategi di lapangan, namun dengan segala filosofinya dalam melatih.

Bagi Potter, filosofinya harus berlaku di luar dan dalam lapangan. Semua yang ada di dalam klub harus bisa keluar dari zona nyaman. Sebagai contoh: Potter secara rutin mengadakan pentas seni internal yang membuat para pemainnya dipaksa menjadi pemain teater, menyanyi, atau melawak di atas panggung.

Ia juga beruntung pernah bersinggungan langsung dengan Roberto Martinez saat menjadi staf di Swansea. Hal itu pula yang membuatnya memiliki pakem lain dengan manajer Inggris kebanyakan: bermain operan pendek dengan mendominasi pertandingan.

Mantan pemainnya di Ostersund, Bobo Sollander, pernah menyatakan kalau Potter tidak pernah menyuruh pemainnya untuk menendang bola saat menguasai bola. “Untuk membuat operan jauh, kamu harus tahu akan kemana selanjutnya permainan akan berlanjut,” ungkap Bobo menirukan Potter.

Terobosan dalam permainan juga berlaku bagi Wilder. Dengan latar belakangnya mengampu beberapa klub lower league, pria berusia 51 tahun ini malah nekat menerapkan formasi dasar 3-5-2 di Sheffield United. Pun dengan terobosannya untuk memainkan peran “False five”

Baca juga: Chris Wilder, False Five, dan Upayanya Mendobrak Mediokritas Bersama Sheffield

Bak hujan di gurun tandus, ketiganya memberi secercah harapan bagi sepakbola Inggris yang lama tak mendapat sentuhan talenta manajer lokal, terutama dengan filosofi yang ketiganya bawa. Filosofi sepakbola menyerang dari ketiganya mampu menghadirkan sesuatu yang baru bagi para penikmat Premier League musim ini.

Juga perlu diingat bahwa berkat mereka, stagnansi manajer lokal menjadi terputus. Tak lagi diisi nama nama yang menjemukan seperti: Roy Hodgson, Sam Allardyce, Alan Pardew, Steve McClaren. Terkecuali Newcasle United yang musim ini enggan move on, tentunya.

Yang harus diingat, tugas berat menanti mereka di depan. Wilder dengan pendekatan taktik nyeleneh-nya harus mengulang keajaiban bersama Sheffield United untuk bertahan lebih lama di divisi tertinggi. Potter sang duta “British tiki-taka” harus mampu membuktikan apakah pelatih muda mampu berbicara banyak kali ini.

Pun dengan “Deano” Smith yang punya tugas berat mempertahankan Villa di tempat paling layak buat mereka. Keberhasilannya membuat Brentford menjadi tim yang stabil di Championship akan menjadi modal berharga bagi Villa, yang juga tim idolanya semenjak kecil, untuk memperoleh stabilitas di divisi teratas dalam musim-musim berikutnya.

Di luar hal itu semua, ketiganya adalah sebenar-benarnya pahlawan Premier League musim ini. Karena kalau gagal, bersiaplah melihat muka-muka lama yang akan kembali pegang kendali.

Bukan begitu, Steve Bruce?