Akhir dari Gonggongan Huddersfield Town

Kekalahan 0-2 dari Crystal Palace pada pekan ke-32 Premier League 2018/2019, menjadi akhir dari perjalanan Huddersfield Town di kompetisi tertinggi negeri Ratu Elizabeth. Baru mengoleksi tiga kemenangan dan hanya meraup 14 poin, sudah cukup membuat mereka semakin terbenam di peringkat terakhir klasemen sementara.

Kepastian Huddersfield turun divisi juga dikarenakan Burnley, tim terakhir yang berada di batas aman, secara mengejutkan menumbangkan Wolverhampton Wanderers di Turf Moor. Kemenangan ini membuat mereka memiliki poin 33 sehingga Huddersfield tidak punya lagi kesempatan untuk menyelamatkan diri karena poin maksimal yang bisa mereka raih adalah 32 jika memenangi enam pertandingan tersisa.

“Kami sebenarnya bermain bagus dalam pertandingan melawan Palace sehingga sangat menyebalkan menerima hasil ini. Akan tetapi, pemain seperti Wilfried Zaha yang akhirnya membuat perbedaan.”

Hasil ini membuat mereka masuk dalam sejarah sebagai tim terburuk di Premier League. Mereka adalah tim ketiga setelah Derby County dan Huddersfield yang terdegradasi di sisa enam laga. Huddersfield hanya lebih baik dari Derby County dari sisi jumlah poin. Pada musim 2007/2008, Derby hanya mengoleksi 11 poin dari 38 pertandingan. Namun dari segi produktivitas gol, mereka sejauh ini adalah tim terburuk dibandingkan The Rams yang bisa membuat 20 gol ketika mereka terdegradasi sedekade lalu.

“Ini sangat menyebalkan karena kami tidak cukup baik untuk bertahan di liga terbaik dunia. Tidak ada yang mau menambah kata degradasi dalam CV mereka. Kami tidak bisa memberikan kualitas yang baik di atas lapangan. Hasil ini sulit diterima. Kami hanya bisa menggunakan sisa pertandingan sebagai persiapan diri untuk menyambut musim depan,” kata Christopher Schindler.

Sisa enam pertandingan yang dimiliki Huddersfield memang harus dimaksimalkan sebaik mungkin. Mereka bahkan bisa menjadi pengganggu tim-tim papan atas apabila mereka sanggup mendaapat poin dari Tottenham Hotspur, Liverpool, dan Manchester United. Meski sudah terdegradasi, namun mereka bisa mengacak konstelasi perebutan peringkat tiga dan empat atau bahkan mengacaukan perburuan gelar juara.

Musim yang Penuh dengan Masalah

Musim ini memang berjalan buruk bagi mereka. Huddersfield tidak pernah meraih kemenangan dan hanya meraih tiga poin dalam 10 pertandingan pertamanya. Dua dari tiga kemenangan yang diraih pun terjadi pada bulan November yaitu pada pekan ke-11 melawan Fulham dan pekan ke-13 ketika secara mengejutkan mengalahkan Wolverhampton Wanderers di Molineux.

Setelah kemenangan tersebut, Huddersfield hanya meraih satu poin saja dalam 13 pertandingan. Hal ini berimbas dengan dipecatnya David Wagner dari kursi kepelatihan. Padahal Wagner adalah orang yang membawa tim ini naik ke Premier League dua musim lalu. Jan Siewert kemudian masuk dikarenakan memiliki filosofi permainan yang bisa membuat peringkat Huddersfield naik dari papan bawah.

Akan tetapi, masuknya Siewert belum membawa perubahan signifikan. Kemenangan ketiga baru diraih pada pekan ke-28 dan lagi-lagi Wolves yang menjadi korban. Namun setelahnya, empat kekalahan beruntun diraih hingga kekalahan melawan Palace memastikan mereka terdegradasi pekan lalu.

Salah satu masalah pelik mereka adalah lini depan yang kurang tajam. Dalam dua musim berturut-turut, mereka selalu mendapat label sebagai tim dengan produktivitas gol paling sedikit. Sejak promosi pada musim lalu, mereka telah gagal membuat gol dalam 54,3% pertandingan mereka. Selain itu, sebanyak 17 dari 32 pertandingan mereka musim ini diakhiri dengan tanpa gol. Masuknya Siewert pada pertengahan musim pun tidak terlalu membantu karena mereka tetap tidak bisa mencetak gol dalam enam dari sembilan pertandingan mereka bersama eks pelatih Borussia Dortmund II tersebut.

Padahal mereka memiliki beberapa pemain berkualitas di lini depan. Steve Mounie baru membuat dua gol musim ini. Padahal ia adalah tumpuan lini depan Huddersfield karena direkrut dengan memecahkan rekor transfer klub. Hal ini tentu jauh jika dibandingkan musim lalu ketika pemain asal Benin ini mencetak sembilan gol dan menjadi top skor klub.

Lini belakang juga menjadi catatan minor mereka. Musim ini, mereka sudah kebobolan 59 gol bersanding dengan Burnley dan Cardiff City. Catatan ini sudah melebihi angka kebobolan mereka musim lalu yang 58 kali kemasukan dari 38 pertandingan.

Transfer yang Tidak Bekerja dengan Baik

Setelah memastikan diri promosi, Huddersfield membuat sebuah kejutan dengan melakukan transfer besar-besaran versi mereka. Mereka merekrut Steve Mounie, mempermanenkan Aaron Mooy dari Manchester City, serta membeli beberapa pemain yang kemudian menjadi pilar utama macam Mathias Jorgensen, Tom Ince, dan Elias Kachunga.

Meski dengan keuangan pas-pasan, mereka berusaha sebisa mungkin mensejajarkan diri dengan tim-tim Premier League lainnya yang juga mengandalkan kekuatan finansial. Hasilnya bisa dilihat ketika mereka secara mengejutkan mengalahkan Crystal Palace pada pekan pertama. Kejutan lain kemudian mereka buat ketika mengalahkan Manchester United dan menahan imbang Chelsea yang memastikan diri mereka bertahan. Bahkan David Wagner memenangi gelar manajer terbaik bulan Agustus.

Belanja kembali dilakukan Huddersfield musim panas ini. 11 pemain masuk ke dalam skuad baik itu yang dipermanenkan statusnya dari pinjaman atau yang direkrut dengan biaya transfer. Terence Kongolo, Ramadhan Sobhi, Erik Durm, Juninho Bacuna, dan Adama Diakhaby, adalah nama-nama yang kualitasnya cukup bagus untuk tim papan bawah. Akan tetapi, hanya Kongolo saja yang bisa menembus tim utama.

***

Huddersfield mempunyai julukan berupa The Terriers. Kata ‘terrier’ tersebut merujuk kepada salah satu jenis anjing yang suka menyalak dan agresif meski tubuhnya sangat kecil. Filosofi ini yang ditekankan oleh Wagner ketika membawa Huddersfield promosi ke Premier League musim lalu.

“Terrier adalah anjing kecil yang tidak kenal takut. Kami selalu bersaing dengan anjing terbesar, karena kami kecil dan cepat. Kami tidak pernah menyerah. Anjing kecil yang selalu bermain dengan semangat yang begitu tinggi,” kata Wagner kepada Guardian tahun lalu.

Filosofi ini berhasil dijalankan dengan baik pada musim lalu. Akan tetapi, gonggongan mereka tidak lagi terdengar keras pada musim ini. Si anjing kecil itu justru tampil lesu dan tidak bergairah seperti sebelumnya. Jika anjing terrier memiliki usia harapan hidup hingga 10-12 tahun, maka terrier yang berwujud Huddersfield Town ini memilih mempersingkat waktu hidupnya di Premier League menjadi dua tahun saja.

Baca juga: Huddersfield Town, Bertahan di Premier League dengan Filosofi Anjing Terrier