Kebangkitan AS Monaco dan Filosofi Football Manager

Foto: Twitter AS Monaco

Kembali memanggil Leonardo Jardim ke Stade Louis II setelah Thierry Henry gagal angkat performa AS Monaco, Pangeran Albert kedua kini bisa bernafas lega. Menang lawan Lille di pekan ke-29 Ligue 1 2018/2019, Les Monegasques unggul 10 poin dari penghuni zona merah, Stade Malherbe Caen.

Kembali menangani Radamel Falcao dan kawan-kawan pada pekan ke-23, Jardim belum pernah kalah di Ligue 1. Total empat kemenangan dan tiga hasil imbang diraihnya sejak kembali menggantikan Henry. Kekalahan melawan EA Guingamp di semi-final Coupe de France hanyalah menjadi berkah bagi pelatih asal Portugal tersebut.

“Saya senang dengan sikap para pemain. Mereka menunjukkan kebersamaan yang kuat. Saat ini kami banyak kehilangan pemain karena cedera, tapi hal AS Monaco harus tetap berjuang. Tujuan utama kami adalah bertahan di liga,” kata Jardim setelah tersingkir dari Coupe de France.

Kolektivitas Monaco akhirnya membuahkan hasil di pertandingan melawan Toulouse (2/2). Untuk pertama kalinya selama musim 2018/2019, Les Monegasques akhirnya berhasil meraih tiga poin di kandang.

“Kami semua sadar Monaco sudah lama tak meraih kemenangan di kandang. Itu mengapa kami sangat senang. Kami ingin meraih kemenangan sebanyak mungkin di laga tersisa,” ungkap mantan nakhoda Olympiacos berkepala plontos itu.

Perlahan tapi pasti, AS Monaco memperbaiki posisi mereka. Sedikit-sedikit, lama-kelamaan menjadi bukit. Jardim berhasil membuat Monaco meraih 15 dari 21 poin yang tersedia pada tujuh pertandingan. Seakan-akan keputusan Monaco mendepak dirinya pada Oktober 2018 menjadi sebuah kesalahan besar.

Baca juga: Thierry Henry, Dia yang Membuat AS Monaco Jauh Lebih Buruk

Bukan Salah Jardim atau Henry

Foto: Evening Standard

Penurunan performa yang dialami Monaco di awal kampanye 2018/2019 awalnya bisa dilihat sebagai kesalahan Jardim. Ia gagal memanfaatkan talenta-talenta muda Monaco. Berbeda dengan saat masih dibela Kylian Mbappe.

Namun, Jardim sebenarnya tidak bisa berbuat banyak dengan skuat AS Monaco di musim panas 2018. Kehilangan Fabinho dan Thomas Lemar yang menjadi tulang punggung Les Monegasques selama 2017/2018 tentu berat baginya.

Apalagi pengganti yang disediakan memiliki level di bawah kedua pemain tersebut. Baik itu Jean-Eudes Aholou, Judilson ‘Pele’ Gomes, atau Willem Geubbels gagal memberi efek yang sama dengan Fabinho dan Lemar.

AS Monaco mengalami pergeseran paham di awal musim 2018/2019. Mereka bukan lagi klub yang bisa menghamburkan uang dan memiliki pemain-pemain muda dengan jam terbang cukup. Mereka fokus menjalankan klub sebagai sarana dagang.

“Saat kami menjual Mbappe. Semua tahu bahwa Monaco mengalami perubahan filosofi. Semua sadar bahwa kami hanya akan jadi kesebelasan yang mendistribusikan talenta ke tim lain,” kata mantan wakil presiden Monaco, Vadim Vasilyev.

Filosofi inilah yang merepotkan tugas Jardim dan Henry di Monaco. Pasalnya, mereka tahu setiap pertandingan hanya seperti pameran untuk lelang pemain. Kondisi Henry lebih parah lagi. Sejak pertama datang, ekspektasi besar menyelimuti Henry. Apalagi setelah Zinedine Zidane meraih kesuksesan di Real Madrid.

Padahal tantangan yang dihadapi Henry berbeda dengan Zidane. Monaco tidak dibentuk untuk menantang Paris Saint-Germain (PSG) dan jadi juara.

Henry seperti harus melatih tim dari permainan ‘Football Manager’. Tergila-gila dengan pemain muda yang memiliki harga murah. Berharap mereka bisa tampil bagus agar bisa dijual dengan harga tinggi di kemudian hari.

Untungnya, Vasilyev dianggap sebagai biang kerok kegagalan dan dipecat oleh Presiden Monaco Dmitry Rybolovlev. “Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Vasilyev. Tapi kesalahan musim lalu menghasilkan performa terburuk di tujuh tahun terakhir. Saatnya perubahan,” kata Rybolovlev.

Baca juga: Ultras Monaco 1994: Garis Keras di Tanah Para Jutawan

Kesulitan Menghapus Dosa

Foto: Sport Express

Demi memperbaiki kesalahan Vasilyev dan ambisinya pada pemain muda, Januari 2019 Monaco mengubah pendekatan di bursa transfer. Naldo, Fabregas, dan William Vainqueur yang sudah berpengalaman didatangkan. Itu memudahkan Jardim di periode keduanya.

Akan tetapi, Jardim akan tetap kesulitan jika diminta menjadi pesaing PSG. Kondisi saat ini tak memungkinkan Monaco untuk menjadi kesebelasan seperti periode 2013-2018. Dalam periode lima tahun itupun, Monaco sudah pernah mengalami perubahan filosofi.

Awalnya mereka menjadi kesebelasan yang ingin ‘membeli prestasi’. Memboyong nama-nama tenar seperti Falcao, James Rodriguez, dan Joao Moutinho. Namun, hal itu memberi dampak negatif kepada keuangan klub.

Akhirnya mereka mengubah filosofi dan fokus ke pembinaan pemain muda. Mbappe, Lemar, Bernardo Silva, semua memperlihatkan hasil positif. Sialnya, filosofi itu diubah Vasilyev. Pemain-pemain berkualitas dilego ke berbagai klub, menjadi sumber utama pendapatan.

Agar kembali ke masa-masa Mbappe, AS Monaco membutuhkan sosok direktur teknis handal. Namun, Luis Campos hengkang ke Lille. Michael Emenalo yang menggantikan Campos juga didepak sebelum Vasilyev. Padahal tanpa sosok direktur teknik, sulit untuk membuat pemain-pemain akademi selaras dengan gaya main tim senior.

Rybolovlev memang ingin mengubah Monaco. Mengembalikan mereka ke papan atas liga. Tapi, ia harus menerima kenyataan. Untuk sementara, Les Monegasques akan jadi seperti keinginan Vasilyev.

Pada 2019/2020, aliran dana mereka berkurang karena tidak tampil di kompetisi antar klub Eropa. Sementara pemain-pemain seperti Aleksandr Golovin yang baru mereka datangkan pada musim panas 2018 sudah diincar kesebelasan lain.

Jardim sendiri tidak menjamin bahwa Monaco bisa mempertahankan pemain-pemainnya di Stade Louis II. “Tentu beberapa pemain akan pergi dari Monaco. Saat ini saya tidak dapat berbicara banyak, namun kami memang akan mengurangi pemain dan mendatangkan satu atau dua nama baru,” katanya pada akhir Januari 2019.

Semuanya membutuhkan waktu. Hal terpenting bagi Monaco dan Jardim di 2018/2019 adalah lolos dari degradasi. Setidaknya hingga pekan ke-29 peluang agar itu jadi kenyataan telah terbuka lebar.