Maurizio Sarri Hanya Sebatas Mourinho Versi Menyerang

FOto: Mirror.co.uk

Ketika Maurizio Sarri ditunjuk Chelsea sebagai nakhoda baru mereka menggantikan Antonio Conte, optimisme datang. The Blues yang dalam beberapa tahun terakhir disebut sebagai kesebelasan dengan sepakbola negatif karena permainan bertahan Jose Mourinho dan Antonio Conte kedatangan ahli sepakbola menyerang.

Predikat Sarri sebagai pelatih dengan filosofi menyerang sudah terlihat di Napoli. Bersama kesebelasan kebanggaan Kota Naples itu, Sarri sukses mengancam status Juventus sebagai penguasa Serie-A. Meski pada akhirnya ia gagal mengantarkan Marek Hamsik dan kawan-kawan menjadi juara, Napoli tetap dikenal sebagai kesebelasan paling atraktif di dunia.

Permainan menyerang Sarri yang memanfaatkan segala lini dan menguasai aliran bola berhasil memaksimalkan talenta-talenta terbuang seperti Jose Callejon dan Dries Mertens.

Callejon sebelumnya hanya bisa berkontribusi dalam sembilan hingga 16 gol di La Liga, berhasil terlibat dalam 25 gol Napoli pada 2017/2018. Mertens yang hanya diberikan 98 penampilan selama era Rafael Benitez, bersinar dengan Sarri. Ia terlibat dalam 135 laga dan berkontribusi dalam 113 gol.

Selain itu, Sarri juga berhasil mengangkat nama Jorginho, Faouzi Ghoulam, Elsaid Hysaj, dan Kalidou Koulibaly di Napoli. Khusus untuk Hysaj merupakan mantan pemain asuhannya di Empoli yang ia boyong ke Napoli.

Koulibaly sebelumnya bermain di Belgia dengan KRC Genk dan tidak ada kesebelasan dari Serie-A yang mencium talentanya selain Napoli. Selain Napoli bek Senegal itu diminati oleh AS Monaco dan Manchester United. Napoli yang serius memberikan penawaran. Hal serupa dialami Ghoulam dan Jorginho.

Talenta mereka sudah menjadi incaran berbagai kesebelasan top Eropa sebelum mendarat di Napoli. Ghoulam pindah ke Napoli pada bursa transfer musim dingin 2014 sempat diincar Manchester United dan AC Milan ketika masih bermain untuk Saint-Etienne. Sedangkan Jorginho merupakan talenta muda Hellas Verona yang diperebutkan Arsenal dan Chelsea. Keduanya mendarat di Napoli dan sisanya adalah sejarah.

Sebelum Sarri datang, Napoli sudah melakukan transformasi. Mereka serius mengincar status capolista -pemimpin klasemen/juara- sejak 2013/14. Saat itu Rafael mengangkut tiga talenta dari Real Madrid, Callejon, Gonzalo Higuain, dan Raul Albiol. Namun mereka hanya berhasil meraih peringkat tiga di akhir musim.

Rafa Benitez gagal mempertahankan posisi tiga besar pada musim berikutnya, Napoli duduk di peringkat lima klasemen akhir, dan Maurizio Sarri akhirnya ditunjuk sebagai pengganti.

Bersama Sarri, Napoli mencatat sejarah. Tiga musim paling produktif mereka sepanjang sejarah klub berlangsung selama era Sarri. 2016/2017 menjadi musim paling subur mereka dengan 94 gol di Serie-A. Sementara di musim terakhirnya bersama Napoli (2017/18), produktivitas Napoli menurun jadi 77 gol tapi mereka mencatat poin terbanyak dalam sejarah klub di Serie-A (91).

Dengan catatan tersebut, tentu Sarri tidak terlihat seperti Jose Mourinho. The Special One merupakan manajer paling dekoratif yang dimiliki Chelsea sejauh ini. Namun dirinya juga dikenal sebagai sosok yang mengemari permainan defensif. Kata ‘sepakbola negatif’ atau ‘parkir bis’ bahkan melekat pada citra dirinya. Sementara Sarri tak bisa melihat permainan defensif.

“Jika anak-anak asuh saya bertahan dan setelah 30 menit baru melakukan serangan balik, lebih baik kembali ke bank karena hal itu tidak menyenangkan,” ungkap Sarri. Sialnya, ada satu yang membuat Sarri terlihat seperti Jose Mourinho.

Foto: Metro

Dampak Jorginho

Sistem permainan Sarri dikenal dengan istilah ‘Sarriball’. Secara sederhana, ‘Sarriball’ adalah gaya bermain yang mengandalkan oper-operan tempo tinggi, fleksibelitas pemain, tekanan kepada lawan, dan ekspoitasi celah pertahanan.

Untuk memuluskan gaya permainan ini, Sarri memboyong Jorginho dari Napoli ke Chelsea. Gelandang berpaspor Italia dan Brasil itu merupakan pengatur tempo Napoli arahan Sarri yang dikenal begitu atraktif. Chelsea juga hanya memiliki satu pemain yang bisa memberi kualitas seperti Jorginho di lapangan, Cesc Fabregas.

Kehadiran Jorginho langsung menggeser Fabregas ke bangku cadangan. Sosok yang hampir membela Manchester City jika bukan karena kehadiran di Stamford Bridge langsung dipercaya jadi jendral lapangan tengah. Namun hal ini harus dibayar mahal oleh the Blues.

Jorginho berdiri tepat di jatung lapangan, posisi yang sebelumnya ditempati oleh N’Golo Kante. Sarri kemudian harus mengubah fungsi Kante dari perusak serangan, menjadi gelandang oportunis yang mencari celah dan masuk ke dalam pertahanan lawan.

Saat di Napoli, pos tersebut diperankan oleh Hamsik dan masalah langsung muncul. Kante tidak memiliki gaya bermain yang sama dengan Hamsik. Gelandang asal Prancis tersebut adalah pemain yang menghidupkan kembali istilah ‘Makelele Role‘ dengan mobilitasnya di tengah lapangan. Bukan memaksimalkan lubang di area pertahanan dan menusuk lawan seperti Hamsik.

Peran Hamsik sebenarnya bisa diambil Ruben Loftus-Cheek, namun Sarri merasa gelandang Inggris itu masih butuh waktu untuk memahami filosofi yang ia mau.

Aliran bola Chelsea mengalami masalah karena ‘Sarriball’ belum bisa diterapkan secara penuh oleh nakhoda asal Italia. Keterbatasan pemain yang dia miliki membuat dirinya sampai merasa keberatan saat Fabregas dilepas ke AS Monaco.

Cacat di ‘Sarriball’

Lini belakang Chelsea sebenarnya sudah mirip dengan Napoli. Marcos Alonso dapat mengisi peran Hysaj. Sedangkan Koulibaly diisi oleh David Luiz. Koulibaly dan Hysaj awalnya ingin dibawa Sarri ke Stamford Bridge, tapi Napoli membatasi pembelian Chelsea musim ini. Tak ingin dieksodus, mereka hanya mengizinkan Sarri membawa satu pemain dari Kota Naples pada musim 2018/19. Jorginho menjadi pilihan Sarri.

Lini depan juga menjadi masalah. Pasalnya, salah satu alasan Napoli bisa produktif di Serie-A adalah fleksibelitas juru gedor mereka mengisi semua pos di depan. Mertens, Callejon, dan Arkadiusz Milik tidak memiliki masalah diposisikan di tengah atau sayap.

Bersama Chelsea, Sarri tak memiliki penyerang murni yang bisa diandalkan. Dia sampai meminjam Gonzalo Higuain dari AC Milan pada bursa transfer musim dingin 2019, Alvaro Morata menjadi korban dengan diasingkan ke Atletico Madrid.

Higuain belum tentu menyelseaikan masalah Sarri di lini depan. Melihat penurunan daya ledak Eden Hazard saat diplot sebagai penyerang tengah, juru gedor Chelsea belum bisa bermain di segala posisi layaknya trio Sarri di musim terakhirnya bersama Napoli.

Tentu masih ada waktu untuk Chelsea menikmati ‘Sarriball’ secara penuh di musim-musim berikutnya. Namun Sarri masih harus mendatangkan pemain yang sesuai dengan filosofi permainannya.

Foto: Libertad Digital

Mourinho dan Sarri

Itulah cacat dari ‘Sarriball’. Maurizio Sarri bukan nakhoda yang bisa mengemudikan semua kapal. Dia membutuhkan awak kapal yang sesuai dengan keinginannya agar perjalanan berjalan lancar. Secara tidak langsung, dirinya sama seperti Jose Mourinho.

Selama ini Mourinho dikenal sebagai manajer yang selalu menuntut banyak hal dari klub saat bursa transfer agar mendatangkan pemain sesuai keinginannya. Jika dia tidak bisa mendapatkannya, pemain yang ada diminta mengubah pendekatan sepakbola mereka dan berujung dengan menurunnya performa.

Mourinho dan Sarri memiliki kunci sukses yang sama. Perbedaannya hanya satu:Sarri mengedapankan permainan menyerang dan atraktif.

“Saya sangat marah dengan pendekatan kami hari ini. Saya tidak masalah kalah, tapi tidak dengan cara seperti ini.”, kata Maurizio Sarri setelah Chelsea kalah 0-2 dari Arsenal (20/1).

Ketika itu the Blues menguasai laga dengan lebih dari 60% aliran bola. Tapi mereka hanya berhasil sekali mengancam gawang Arsenal dari 13 percobaan. Sementara Mourinho mementingkan hasil. Seburuk apapun gaya permainan mereka, tak masalah. Hal yang paling penting adalah piala.

“Partai ini mungkin tidak mengesankan, atau menarik untuk penonton netral. Tapi yang terpenting adalah nama kami ada di piala. Orang-orang berkata, Ajax main cantik. Bagi saya, tidak memberikan lawan apa yang mereka inginkan adalah hal yang cantik,” kata Mourinho setelah memenangkan Europa League 2016/2017.