Politik yang Tak Bisa Dilepaskan dari Sepakbola

Sejak Sheffield FC menjadi klub sepakbola pertama, olahraga yang satu ini memiliki penggemar yang tersebar di seluruh dunia. Alasan ini yang menjadikan sepakbola sebagai primadona bagi banyak kepentingan. Baik untuk mencari kepentingan ekonomi, kampanye sosial atau pergerakan lain. Namun di antara kepentingan tersebut, politik dan sepakbola adalah dua hal yang tidak akan pernah terpisahkan.

Baca juga: Sejarah Kesebelasan Pertama di Dunia

Sepakbola bukanlah sebuah olahraga superior. Menurut Nytimes.com dalam Mixing the Unmixable: Soccer and Politics, FIFA sebagai lembaga tertinggi sepakbola pun, tidak pernah lepas dari kegiatan politik.

Setelah terbongkarnya isu pembelian suara untuk membuat Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010 lalu, FIFA kini melakukan investigasi internal tentang kemungkinan korupsi besar-besaran dan praktik politik para anggotanya, terkait pemilihan Piala Dunia 2018 di Rusia dan 2022 di Qatar. Padahal, politik dalam sepakbola melanggar statuta pertama yang dibuat oleh FIFA sendiri.

Sepakbola mulai berubah wajahnya di era 1990-an. Kala itu, sepakbola mulai bergerak ke arah industri dengan mengincar pasar yang lebih luas. Hal ini seiring dengan berkembangnya tv berlangganan di Asia dan Afrika.

Berkembangnya sepakbola seiring dengan kolapsnya Uni Soviet sebagai kekuatan komunis utama di dunia. Saat itu, Tony Blair pun menjadi Perdana Menteri Inggris Raya. Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, membentuk poros baru untuk meningkatkan kekuatan politik mereka dengan slogan New Democrat-New Labour politics.

Di hari yang sama ketika Manchester United meraih kemenangan dramatis atas Bayern Munich di final Liga Champions 1999, Kaneslir Jerman, Gerhard Schröder, Perdana Menteri Belanda, Wim Kok, dan Perdana Menteri Italia, Massimo D’Alema, berdiskusi bersama Blair dan Clinton, untuk memperkuat politik sayap kiri mereka. Mereka pun membentuk gerakan ekonomi liberal dengan orientasi keuntungan finansial dengan kewajiban menarik investor.

Kebijakan ini dimulai di Inggris di mana setiap kesebelasan harus berbadan hukum dan mendorong untuk menjadi PLC (Public Limited Company). Kebijakan ini bertujuan memperluas pasar investasi klub sepakbola di bursa saham.

Sejak aturan Bosman pada 1995, agen sepakbola turut merasakan keuntungannya, yang melahirkan nama Jorge Mendes dan Mino Raiola. Kekuatan keduanya disebut-sebut bahkan mencapai Gedung Putih. Sepakbola pun kini dianggap sebagai komoditas yang secara finansial amat menggiurkan. Pada akhirnya sepakbola juga menghadirkan inflasi harga pemain yang terbilang tidak masuk akal.

Namun untuk menarik minat dari investor, sepakbola harus memiliki kestabilan dan seolah “murni” dari segala kegiatan politik. FIFA yang menyadari hal tersebut membuat aturan untuk memberikan hukuman bagi siapa saja yang membawa pesan politis ataupun yang tidak berhubungan dengan sepakbola. Termasuk di antaranya menghilangkan Perang Sipil di Spanyol antara Catalan dan Madrid di el Classico, perseteruan kelas pekerja dan borjuis ketika Olympique Marseille menghadapi PSG, atau hantu dari kolonialisme ketika Prancis bertemu Aljazair, atau Portugal bertemu Brasil. Semua harus terlihat “murni” sepakbola dan pertandingan antar dua tim yang memperebutkan sebuah kemenangan, tanpa embel-embel politik.

Ketika Celtic musim lalu berhadapan dengan klub Isreal, Hapoel Be’er Sheva, suporter Cletic membentangkan bendera Palestina sebagai wujud protes akan kekejaman Israel. UEFA menjatuhkan denda sebesar £8.600, karena supporter Celtic dituduh ofensif dan provokatif, dan tidak menjunjung nilai luhur dalam sepakbola.

Celtic melakukannya lagi beberapa minggu yang lalu ketika Donald Trump meresmikan secara sepihak Jerusalem sebagai Ibukota Israel. Suporter Celtic tidak tinggal diam dan kembali membentangkan bendera Palestina ketika menghadapi Hearts di ajang Liga Skotlandia.

Ada pula suporter Basel yang ketika menghadapi Schalke 04 melakukan aksi protes dengan mengibarkan banner yang menyindir Gazprom yang dianggap merusak lingkungan dan menyumbang dampak besar dari lelehnya es di kutub utara. UEFA tidak tinggal diam dan melakukan investigasi mendalam atas aksi tersebut. Bukan rahasia lagi kalau Gazprom sendiri telah bermitra dengan UEFA sejak lama.

Bergeser ke Asia, China memulai pergerakan besar-besarannya ketika 2004 lalu Chinese Super League resmi dibentuk. China sadar sepakbola mereka kurang berkembang, namun China merupakan negara dengan banyak Investor, maka jadilah hingga kini sepakbola China secara finansial bahkan menyaingi kekuatan finansial klub Eropa.

Pergerakan “Against Modern Football” diawali karena suporter mulai gerah dengan pergerakan politik dan ekonomi yang sudah menggerogoti sepakbola. Ini membikin sepakbola kehilangan hasratnya dari untuk meraih kemenangan menjadi sekadar komoditas pasar atau alat politik.

Contohnya adalah Hapoel Katamon Jerusalem, klub yang didirikan beberapa suporter Beitar Jerusalem karena gerah dengan diskriminasi yang dilakukan penduduk Yahudi kepada ras Arab-Yahudi di Israel. Against Modern Football ingin sepakbola menjadi olahraga yang murni dan bisa dinikmati tanpa adanya kepentingan lain.

Baca juga: Kesebelasan paling rasis sedunia, Beitar Jerusallem

Komersialisme sepakbola memang sangat menguntungkan saat ini. Tapi IMF pernah menerbitkan artikel, bahwa keuntungan klub sepakbola akan mencapai titik di mana keuntungan akan lebih kecil dibanding modal.

Artikel ini cukup mengerikan karena kita membayangkan ketika klub besar mengalami kebangkrutan karena kesehatan finansial yang buruk, atau kepentingan yang tidak lagi membutuhkan klub sepakbola.

Mengutip kata-kata filsuf dan suporter sepakbola garis keras asal Prancis, Jacques Derrida, “Beyond the touchline, there is nothing.” Mengindikasikan bahwa sepakbola adalah kehidupan itu sendiri. Sepakbola membawa banyak perbedaan baik kelas, kualitas, unsur kesenian, dan sosial masyarakat, dan mestinya jauh dari politik. Namun saat ini sepakbola dan politik merupakan dua hal yang masih akan saling membutuhkan satu sama lain, hingga entah kapan.